Lamongan, Daerah Asal Pelaku Bom Bali itu Kini Kantong Rekrutmen ISIS

Sekitar 16 warganya telah berangkat ke Timur Tengah untuk gabung ISIS.
Anton Muhajir
2017.03.20
Lamongan
170320-ID-lamongan-620.jpg Seorang warga Lamongan, Jawa Timur, memperlihatkan foto yang dikirim oleh seorang anggota keluarganya yang bergabung dengan ISIS di Suriah, 27 Februari 2017.
Anton Muhajir/BeritaBenar

Sudah dua tahun bapak dua anak warga Lamongan Jawa Timur itu memendam hasrat untuk ‘hijrah’ ke ‘Daulah Islamiyah’ atau Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

Bagi laki-laki 52 tahun itu, ISIS bagaikan magnet yang menariknya untuk datang ke wilayah pusaran konflik tersebut.

Menurutnya, praktik-praktik kekerasan ISIS, seperti memenggal kepala atau memotong tangan mereka yang dianggap bersalah, adalah hal yang memang diajarkan Islam.

“Kalau mau melihat bagaimana syariat Islam benar-benar diterapkan, ya harus ke sana,”ujarnya, “Indonesia tidak maju-maju karena tidak mau menerapkan syariat Islam dengan benar.”

Warga setempat mengatakan, setidaknya 16 penduduk Lamongan, daerah yang cukup makmur dengan hasil pertanian dan perikanan di pantai utara Jawa Timur ini, telah hijrah ke Timur Tengah untuk bergabung dengan ISIS dalam beberapa tahun terakhir.

Paling tidah tujuh orang diantaranya meninggal di sana, menurut anggota keluarga, aparat desa dan laporan media.

Laki-laki Lamongan yang tidak mau dituliskan namanya itu mengatakan ia dan sejumlah temannya telah membuat “kelompok pengajian terbatas” untuk mendiskusikan situasi di Suriah, Irak, dan Indonesia. Mereka mendapatkan informasi tentang ISIS melalui pesan Telegram, aplikasi pengirim pesan, yang juga digunakan untuk saling berkoordinasi.

“Lebih sering hanya tidur-tiduran atau bakar ikan,” ujar laki-laki yang sehari-harinya bekerja sebagai buruh pasar, yang mengakui berangkat ke Timur Tengah kini menjadi sulit.

“Sekarang susah kalau mau hijrah. Semua jalur sudah diketahui. Banyak teman yang ditangkap,” tambahnya.

Daerah lahirnya pelaku Bom Bali

Sebelum dikenal sebagai kantong rekrutmen ISIS, Lamongan telah lama dikaitkan dengan terorisme.

Tiga bersaudara pelaku tragedi bom Bali 1 yang menewaskan 202 orang pada Oktober 2002, berasal dari Lamongan.

Mereka adalah Amrozi dan Ali Ghufron yang telah dieksekusi  pada 2008; dan Ali Imron saat ini menjalani hukuman seumur hidupnya.

Ketiganya adalah anggota Jemaah Islamiyah (JI), jaringan teroris Al Qaeda untuk wilayah Asia Tenggara, kelompok militan yang membentuk tumbuhnya ektrimis di Lamongan, seperti dilaporkan Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC), lembaga think-tank yang berbasis di Jakarta.

Menurut IPAC, jaringan radikal dan ekstrimis di Lamongan telah berurat berakar di wilayah tersebut dan dalam beberapa tahun ini berubah menjadi sentimen pro-ISIS.

“Jejak sebuah jaringan ekstrimis di Lamongan Jawa Timur menggambarkan bagaimana dukungan atas perlawanan jihad lokal telah bertransformasi menjadi dukungan bagi ISIS,” demikian IPAC dalam laporannya yang dipublikasikan April 2015.

“Salah satu pelajaran yang paling penting dari jaringan Lamongan ini adalah bahwa kelompok-kelompok pro-ISIS di Indonesia telah muncul dari jaringan radikal yang sudah ada yang tidak pernah pergi. Mereka mungkin telah berubah, menyesuaikan, bergabung kembali, dan regenerasi tetapi mereka tidak baru,” tambah IPAC.

‘Tidak bisa menolak’

Di bawah undang-undang saat ini, adalah tidak melanggar hukum bagi warga untuk beremigrasi dalam upaya untuk bergabung dengan kelompok-kelompok seperti ISIS. Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada 237 warga negara Indonesia (WNI) dewasa dan 46 anak-anak Indonesia berada di Suriah hingga Agustus 2016

Polisi Lamongan mengatakan mereka tidak memiliki data pasti jumlah penduduk lokal yang telah hijrah ke wilayah ISIS.

“Mereka berangkatnya tidak jelas juga. Mereka berangkatnya lewat Malaysia, dari Malaysia ke Suriah,” kata Suratman, kepala kepolisian Kecamatan Brondong, kepada BeritaBenar.

Menurut seorang pengurus desa di Brondong yang menolak untuk disebutkan namanya, warga memakai dua cara untuk bergabung dengan ISIS di Timur Tengah.

Pertama dengan mengaku sebagai tenaga kerja Indonesia (TKI) saat mencari surat keterangan dari desa.

“Sebagai perangkat desa, kami tidak bisa menolak karena kewajiban kami untuk melayani warga jika ada yang minta surat keterangan,” kata aparat desa tersebut kepada BeritaBenar.

Cara kedua adalah dengan mengaku ingin belajar di luar negeri, metode yang digunakan oleh Wildan Mukhollad, yang tewas di Irak awal Februari 2014.

Kakak laki-laki Wildan mengaku bahwa anggota keluarganya mendukung cita-cita Wildan untuk belajar di luar negeri.

“Kami urunan karena dia mengaku mau belajar ke Mesir,” kata Abdul Latif Al-Haq, mengenai adiknya.

Sebelum pergi ke Mesir, Wildan menuntut ilmu di pondok pesantren al-Islam di Tenggulun, yang didirikan oleh Ali Ghufron dan Amrozi.

Wildan

Wildan adalah anak yang cerdas, kenang sang Ibu, Fadhillah (65), saat diwawancara di rumahnya di Payman, sebuah desa di Kecamatan Solokuro, Lamongan.

Sejak di Madrasah Ibtidaiyah, dia selalu juara kelas. Saat duduk kelas II Madrasah Aliyah-setingkat SMA, di Pondok Pesantren Al-Islam di Tenggulun, Wildan melanjutkan sekolah di Al-Azhar di Kairo, di mana kakak perempuannya lain Ayah, juga menuntut ilmu.

Namun suatu hari pada pertengahan 2012, ia meninggalkan kakaknya tanpa pamit, kenang Fadhillah.

Tiba-tiba saja Wildan berkabar kepada keluarganya kalau ia sudah di Suriah dan bergabung dengan ISIS. Ia berkomunikasi dengan keluarganya melalui Facebook, WhatsApp, dan Telegram, kata kakaknya, Abdul Latif.

“Waktu ada kabar Wildan meninggal, ISIS belum terkenal seperti sekarang. Belum ada yang tahu. Setelah Wildan meninggal, baru muncul nama ISIS di media,” kata Abdul Latif kepada BeritaBenar.

Keluarganya percaya bahwa Wildan berperang melawan diktator Suriah, Presiden Bashar Al- Assad dalam persang saudara di Suriah. Assad telah dituduh melakukan kejahatan perang dalam konflik tersebut, yang melibatkan berbagai kelompok pejuang termasuk kelompok jihad seperti Front al-Nusra dan ISIS.

“Kenapa anak saya ditulis sebagai teroris? Sebagai orangtuanya, saya tidak bisa menerima,” kata Fadhillah.

“Jangan berkata seperti itu. Faktanya dia gabung ISIS. Kita harus akui itu,” kata Abdul Latif kepada Ibunya.

Hingga kini, keluarga Fadhillah belum mendapat berita pasti tentang kematian Wildan. Kabar yang beredar hanya dari teman-temannya.

“Yang membenarkan hanya hati saya sendiri. Kalau sampean dapat kabar dia masih hidup, mohon dikabari,” ujarnya.

Fadhillah menunjukkan video anaknya yang sudah meninggal dunia di Suriah saat ditemui di Lamongan, Jawa Timur, 26 Februari 2017. (Anton Muhajir/BeritaBenar)

Wasius

Keluarga lainnya yang terdiri dari tujuh anggota, sepasang suami istri, dengan lima anak, meninggalkan Lamongan dalam waktu yang berbeda pada tahun 2015.

Keluarga tersebut telah tercerai berai sejak saat itu, demikian kata orang-orang yang mengenal mereka.

Sang suami, Muammal, dan salah satu anak laki-lakinya disandera kelompok Jabhat Al-Nusra, menurut keluarga mereka di Indonesia.

Anak lainnya, Wasius Shodri, dilaporkan tewas di sebuah pertempuran, Zainuddin, si sulung yang alumni Pondok Pesantren Ngruki, Solo, terluka dalam sebuah pertempuran.

Sang istri, Tholiatun, tinggal dengan anak perempuannya, sedangkan seorang anak lagi termasuk dalam salah seorang warga negara Indonesia (WNI) yang dideportasi Pemerintah Turki. Kini, dia tinggal bersama WNI lain yang juga dideportasi dari Turki di Kecamatan Paciran, Lamongan.

Keluarga itu menjual rumah warisan untuk membiayai perjalanan mereka, kata Maghfiroh (27) keponakan Tholiatun.

“Mak Tun (panggilannya kepada Tholiatun) membawa surat tulisan tangan. Isinya saya mengizinkan dia menjual rumah warisan tidak termasuk punya saya,” jelas Maghfiroh.

“Saya tanda tangan saja meskipun cuma kayak surat biasa. Cuma tulisan tangan tanpa materai,” katanya.

Tholiatun menjual rumah itu Rp80 juta.

Maghfiroh sempat berkomunikasi dengan bibinya di Suriah dan mengetahui tentang kematian seorang sepupunya, melalui Telegram.

“Saat tahu mereka di Suriah, saya sangat sedih karena dia satu-satunya bibi saya. Mak Tun sudah saya anggap seperti ibu saya sendiri karena mengasuh saya sejak kecil,” ujar Maghfiroh.

Rizal

Rizal Amin adalah warga Lamongan lainnya yang tewas berperang di bawah bendera ISIS. Dua puluh tahun yang lalu, dia dikenal sebagai pentolan geng anak muda yang paling terkenal saat itu di kecamatan Brondong. Ia juga dikenal sebagai tukang minum dan tawuran.

Namun setelah bisnis mebel ayahnya bangkrut, dia berubah alim. Rizal menjadi sangat agamis. Ia rajin ikut kelompok pengajian dengan anggota terbatas. Tiga tahun yang lalu dia pergi.

“Saya dengar dia bergabung dengan ISIS," kata tetangganya, Heriyanto.

“Dia salah satu warga kami yang sudah meninggal di Suriah karena ikut ISIS,” ujar seorang aparatur desa yang tidak mau disebutkan namanya.

Seorang laki-laki lain berumur 27 tahun yang tinggal di desa yang sama, memiliki kisah serupa dengan Rizal.

Buruh bangunan yang pernah menjadi TKI di Malaysia itu belakangan ini berhenti mabuk-mabukan. Dia tidak hanya menjauh dari teman-teman nongkrongnya, tapi juga makin rajin ke masjid. Obrolannya banyak membahas soal jihad dan ia punya tekad ‘hijrah’ ke Suriah.

“Menunggu siapnya niat maupun dana,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.