Aktivis Lingkungan Protes Ancaman Luhut Keluar dari Perjanjian Paris

Perwakilan asosiasi petani kelapa sawit mendukung Luhut, mengatakan Uni Eropa melakukan kampanye hitam atas sawit Indonesia.
Tia Asmara
2019.03.29
Jakarta
190329_ID_palm._1000.jpg Foto udara yang diambil pada 1 November 2018 ini memperlihatkan perkebunan kelapa sawit ilegal di Taman Nasional Gunung Leuser di Aceh.
AFP

Sejumlah aktivis lingkungan hidup mengecam pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman, Luhut Binsar Panjaitan yang menyebutkan bahwa Pemerintah Indonesia mengancam akan keluar dari Perjanjian Paris.

“Pernyataan tersebut merupakan pernyataan serampangan, tanpa berpikir panjang dan keliru,” kata Manajer Kampanye Keadilan Iklim Eksekutif Nasional Wahana Lingkungan Hidup (WALHI), Yuyun Harmono di Jakarta, Jumat, 29 Maret 2019.

“Presiden Joko Widodo harusnya menegur Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman atas pernyataannya tersebut.”

Sebelumnya, Luhut mengancam akan keluar dari Perjanjian Paris mengikuti langkah Amerika Serikat (AS) yang telah mundur dari kesepakatan tersebut.

Ancaman tersebut sebagai reaksi atas keluarnya delegated act Komisi Eropa terkait penggunaan sawit untuk biofuel.

"Kalau bicara lingkungan, US keluar juga dari climate change. Kita firm karena ini kepentingan nasional, karena rakyat kecil. Presiden Jokowi di Solo bilang firm enggak main-main," kata Luhut, Rabu, 27 Maret 2019.

Menurut Yuyun, masalah lebih penting untuk dipikirkan adalah dampak perubahan iklim yang mengakibatkan penurunan ketersediaan air, perubahan produktivitas tanaman, dan hilangnya keanekaragaman hayati.

“Ini aset yang tidak ternilai. Kalau terganggu bisa berdampak pada kesehatan, kematian, ketahanan pangan, pola migrasi, ekosistem alami dan kesejahteraan ekonomi,” katanya.

Dia menambahkan bahwa perubahan iklim juga menyebabkan cuaca ekstrim dan rentan terhadap bencana, seperti banjir dan longsor.

“Dampak perubahan iklim inilah yang seharusnya menjadi prioritas pemerintah agar memastikan pembangunan tetap memperhatikan perlindungan aspek lingkungan dan sosial, sehingga masyarakat dapat terhindar dari dampak perubahan iklim,” ujar Yuyun.

Ia menilai ancaman keluar dari Perjanjian Paris hanya untuk membela kepentingan korporasi sawit.

Seharusnya, kata dia, penanganan perubahan iklim tidak hanya sekedar komitmen Internasional namun merupakan agenda nasional.

Perjanjian Paris adalah komitmen Indonesia untuk terlibat dalam upaya menanggulangi perubahan iklim.

Hal tersebut disepakati pada COP 21 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC)  di Paris, dimana salah satunya kesepakatan untuk mengurasi emisi gas rumah kaca.

Seperti diketahui, Indonesia berkomitmen menurunkan emisi sebesar 29 persen dengan upaya sendiri dan 41 persen dengan bantuan Internasional tahun 2030.

Perjanjian Paris juga telah diratifikasi melalui UU Nomor 16 Tahun 2016 oleh DPR-RI.

“Artinya pernyataan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman selain bertentangan dengan komitmen Presiden Jokowi, juga melangkahi kewenangan DPR-RI karena pernyataan tersebut tidak atas persetujuan parlemen,” imbuh Yuyun.

Keputusan reaktif

Hal senada disampaikan Manajer Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya yang menyebut ancaman keluar dari Perjanjian Paris adalah keputusan reaktif dari Menko Maritim.

“Ia tidak dapat melihat jernih kepentingan besar dan urgensi penyelamatan hutan dan iklim, karena Beliau sendiri memiliki berbagai bisnis di sektor sawit dan tambang,” katanya.

Menurut Tata, Indonesia adalah negara yang rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti bencana banjir dan longsor yang terjadi hampir di seluruh penjuru negeri.

“Seharusnya pemerintah bekerja mentransformasi tata kelola energi Indonesia, memperbaiki lingkungan kita yang sudah terlalu penuh dengan debu dan polusi dari banyak PLTU batu bara yang mengancam kesehatan warga dan bukan mengutamakan kepentingan bisnisnya,” tegasnya.

Ia mengusulkan alternatif energi terbarukan selain biofuel dari minyak sawit, seperti energi surya dan angin, yang sangat berlimpah namun belum dimanfaatkan sepenuhnya oleh pemerintah.

“Penggunaan energi terbarukan juga akan membuka lapangan kerja baru,” tutup Tata.

Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Annisa Rahmawati menambahkan bahwa biofuel merupakan solusi salah karena jejak karbonnya dari konversi hutan dan gambut ternyata lebih banyak dari bahan bakar fosil.

“Bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk mengakhiri deforestasi, melindungi hutan dan memulai restorasi besar-besaran secara global,” katanya.

Mendukung

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Rino Afrino, mendukung sikap pemerintah yang mengancam Uni Eropa terkait diskriminasi sawit.

"Kami sangat setuju karena sikap Uni Eropa sangat aneh terhadap keputusan ini," katanya.

Menurutnya, permintaan sangat tinggi dari Uni Eropa, tapi terus mendiskriminasi sawit dan melancarkan kampanye hitam terhadap sawit Indonesia.

"Mereka membeli banyak sekali, pertumbuhan pesat tapi terus mendiskriminasi, maunya apa?" ujarya.

Rino menilai ada upaya menurunkan harga CPO oleh Uni Eropa sehingga berupaya merusak situasi pasar.

"Mereka jelek-jelekkan sawit Indonesia sehingga menimbulkan kesan tidak baik, pasar pun ikut turun dan bergerak negatif. Begitu harga turun, yang terdampak pertama kali ya petani," katanya, seraya menyebutkan ada 19 juta petani sawit dan keluarganya hidup mengandalkan CPO.

Menurutnya, penyebab perubahan iklim karena asap kendaraan bermotor dan industri dari negara besar, termasuk Uni Eropa.

"Tidak ada gunanya Indonesia bekerjasama dengan EU jika tidak menghargai Indonesia apalagi merugikan Indonesia. Sawit hanya tumbuh di Indonesia dan tidak di Eropa," pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.