Nelayan Aceh Kembali Selamatkan Ratusan Manusia Perahu di Selat Malaka
2015.05.20

Setelah terombang-ambing enam hari di Selat Malaka antara perairan laut Thailand dan Malaysia karena dilarang merapat di kedua negara tersebut, ratusan manusia perahu muslim etnis Rohingya dan warga Bangladesh kembali diselamatkan para nelayan Aceh, Rabu dinihari, 20 Mei.
“Mereka seperti mayat yang tergeletak di dek kapal. Banyak juga mereka langsung lompat ke laut saat kami mendekat. Segera mereka kami tarik ke dalam perahu kami,” kata Razali Puteh, seorang nelayan yang ikut menyelamatkan pengungsi kepada wartawan lokal.
Sebanyak 433 pengungsi Rohingya yang terusir dari Myanmar dan pencari kerja dari Bangladesh diselamatkan para nelayan Aceh dari sebuah kapal kayu yang telah mati mesinnya.
Di antara mereka, terdapat puluhan perempuan dan anak-anak. Mereka kemudian dibawa dengan belasan perahu nelayan Aceh ke pantai Kuala Geulumpang di Kabupaten Aceh Timur.
Rizal menyatakan ketika ditemukan, kondisi ratusan manusia perahu sangat memprihatinkan. Banyak dari mereka dalam keadaan lemas karena kelaparan dan menderita sakit.
Khairul Nova, seorang anggota SAR Langsa, menyatakan, gelombang pertama sekitar 100 migran, kebanyakan anak-anak dan perempuan, dievakuasi ke daratan, sekitar pukul 2:00 WIB dinihari Selasa, 20 Mei.
Kemudian, belasan perahu nelayan menjemput ratusan manusia perahu dari kapal mereka yang hampir tenggelam.
Seorang tokoh nelayan setempat, Teuku Nyak Idrus, menyebutkan, manusia perahu dalam kondisi lemas karena kekurangan makanan dan dehidrasi karena sudah lama terombang-ambing di laut akibat mesinnya mati.
“Nelayan yang sedang memancing ikan melihat mereka minta tolong. Nelayan Aceh segera menolong mereka dan mengangkut ke daratan,” katanya kepada BeritaBenar.
Begitu manusia perahu dibawa ke darat, ratusan warga nelayan segera memberikan bantuan air mineral dan makanan. Mereka membagi-bagikan pakaian kepada warga Rohingya dan Bangladesh karena saat ditemukan, banyak mereka tak mengenakan baju.
Sempat diancam tembak
Ubaydul Haq, 30 tahun, seorang muslim Rohingya, mengaku dia sudah empat bulan berada di laut.
“Setelah kapten dan anak buahnya melarikan diri sekitar dua minggu lagi, mesin perahu kami mati. Kami sempat terombang-ambing di laut tak tahu arah selama dua pekan,” katanya.
“Tak ada makanan dan minuman. Kami mau masuk Malaysia, tapi dilarang masuk.”
Di atas kapal, awalnya mereka hanya diberikan makan sehari dua kali, pukul 10:00 dan pukul 18:00 dengan sedikit air minum. Tapi sebulan sebelum kapten dan anak buahnya lari dengan speedperahu, mereka hanya diberikan sepotong biskuit dan sedikit air sehari.
Muhammad Salim, 23 tahun, seorang muslim Rohingya yang lain mengatakan bahwa perahu mereka pada 14 Mei lalu, sempat mendekati perairan Thailand dekat Pulau Koh Lipe di Provinsi Satun, dekat perbatasan Malaysia.
“Angkatan Laut Thailand memberi kami makanan dan air. Banyak orang melompat ke laut untuk mengambil makanan yang dilempar dari helikopter,” katanya kepada wartawan lokal beberapa jam setelah dievakuasi oleh nelayan ke Kuala Geulumpang di Aceh Timur.
Perahu kayu yang penuh manusia kemudian digiring ke tengah laut karena Thailand melarang mereka masuk ke negara itu. Saat terkatung-katung di Selat Malaka, kapal itu kepergok Angkatan Laut Malaysia, tapi mereka diusir.
“Mereka bilang kalau kalian tidak segera pergi dalam 10 menit kami akan menembak kalian,” kata Salim, seraya menyatakan bahwa senjata telah diarahkan ke perahu yang ditumpanginya.
Bahas krisis Rohingya
Penyelamatan 433 muslim etnis Rohingya dan Bangladesh oleh nelayan Aceh hanya beberapa jam sebelum Menteri Luar Negeri Malaysia melakukan pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Indonesia dan Thailand untuk membahas krisis manusia perahu yang melanda kawasan Asia Tenggara dalam dua pekan terakhir.
Pertemuan itu, menurut laporan sejumlah kantor berita asing, dilakukan menyusul gencarnya tekanan masyarakat internasional terhadap ketiga negara untuk segera membantu ribuan pengungsi kelaparan di laut setelah dipimpong Angkatan Laut Malaysia dan Thailand.
Panglima TNI sebelumnya juga melarang migran masuk ke Indonesia.
Dalam pernyataan pers yang dikeluarkan seusai pertemuan disebutkan bahwa ketiga negara setuju “untuk menjunjung tinggi tanggung jawab dan kewajiban berdasarkan hukum internasional.”
Tapi pernyataan itu tak menyebutkan apakah Thailand akan ikut bersama Indonesia dan Malaysia menyediakan tempat penampungan sementara bagi ribuan manusia perahu yang diyakini masih terkatung-katung dalam perahu reot di Selat Malaka.