Menlu Meminta Kejelasan Tentang Pemboman di Sanaa

Oleh Paramita Dewiyani
2015.04.22
150422_ID_MENLU_PROTES_SAUDI_700.jpg Beberapa warga sipil terluka dalam serangan udara yang dipimpin oleh Saudi Arabia terbaring di sebuah rumah sakit di kota Sanaa, Yemen pada tanggal 21 April 2015.
AFP

Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi meminta kejelasan kepada Duta Besar Arab Saudi di Indonesia tentang serangan udara yang menyebabkan kerusakan berat Keduataan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sanaa, Ibukota Yaman. NU merespon kejadian ini dengan meminta negara Islam di Asia Tenggara untuk bersatu menjadi mediator.

“Saya meminta penjelasan mengenai apa yang terjadi pada tanggal 20 April kemarin karena sebelumnya, tanggal 26 Maret lalu, pemerintah Indonesia sudah memberikan informasi mengenai detail koordinat posisi KBRI di Sanaa," katanya setelah bertemu dengan Duta Besar Arab Saudi di Jakarta Convention Center (JCC), Selasa tanggal 21 April.

Retno mengatakan bahwa pihaknya sangat kecewa terhadap kejadian ini.

“Keberadaan KBRI di Yaman membawa misi diplomatik dan ini dilindungi," tegas Retno.

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Sanaa rusak berat, dan tiga warga Negara Indonesia luka ringan, setelah koalisi Arab Saudi melancarkan serangan udara tanggal 20 April.

Insiden tersebut merupakan salah satu rangkaian ledakan beruntun setelah serangan udara terhadap gudang amunisi milik militant Houthi di kota Sanaa yang menewaskan 28, setidaknya 300 orang terluka parah, menurut kantor berita AFP.

Koalisi dari sepuluh negara Islam Sunni yang dipimpin oleh Saudi Arabia telah membombardir kelompok Syiah Houthi yang didukung oleh Iran.

Tanggal 21 April Arab Saudi mengumumkan untuk mengakhiri operasi terhadap pemberontak Houthi, tetapi hari berikutnya mereka kembali melancarkan serangan di Yaman selatan, Reuters melaporkan.

Kelompok milisi Houthi, yang telah melancarkan pemberontakan sejak tahun 2004, mengkudeta dan memaksa Presiden Yaman Abd-Rabbu Mansour untuk mengundurkan diri pada bulan Januari 2015.

Negara Islam untuk menjadi mediator konflik di Timur Tengah

Pimpinan Dewan Exekutif Nahdlatul Ulama (NU) Slamet Effendy Yusuf mengatakan bahwa Indonesia harus mampu meyakinkan Pemerintah Saudi bahwa serangan perang antar koalisi hanya akan memperburuk keadaan.

"Perang koalisi Sunni yang dipimpin oleh Saudi Arabia dan koalisi pendukung kelompok Houthi yang dipimpin oleh Iran hanya akan memperburuk keadaan bukan hanya di Yaman tapi juga di negara Islam lainnya,” katanya kepada BeritaBenar di Jakarta tanggal 22 April.

Slamet menyatakan pihak yang paling dirugikan dalam hal ini adalah negara Islam dan umat Islam.

“Dari kejadian ini, pihak yang tidak terlibat konflik seperti Indonesia terkena imbasnya. Kita juga mengalami kerugian yang besar karena harus mengevakuasi warga negara Indonesia (WNI),” katanya lanjut.

Slamet juga mendorong Muslim di Asia Tenggara untuk bersatu menjadi pendamai untuk menengahi konflik di Timur Tengah.

“Kita punya pengaruh yang lebih besar kalau bersatu, Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam bisa menjadi penengah bagi konflik di Timur Tengah,” katanya.

Pakar studi Timur Tengah Hamdan Basyar setuju persatuan antar umat Islam di Asia Tenggara.

“Peran sebagai peace broker tidaklah mudah karena membutuhkan komitmen bahwa kita harus neutral. Tetapi saya kira negara-negara Islam di Asia Tenggara mampu menjalankan peran ini,” kata Hamdan kepada BeritaBenar tanggal 22 April.

“Selama ini kita telah membuktikan bahwa Islam di wilayah ini bisa hidup berdampingan dengan damai,” katanya lanjut.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.