Penghayat Kepercayaan, Aktivis, Tolak Usulan MUI Buat KTP Khusus

MUI menilai diferensiasi KTP penting karena agama dan aliran kepercayaan adalah berbeda, namun pihak lain melihat hal itu diskriminatif.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2018.01.18
Jakarta
180118_ID_MUI_1000.jpg Anak-anak penghayat kepercayaan Sapto Darmo melakukan sujud di Sanggar Candi Busana, Surabaya, Jawa Timur, 17 November 2017.
Yovinus Guntur/BeritaBenar

Penghayat kepercayaan dan Jaringan Islam Anti Diskriminasi menolak usulan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang meminta pemerintah membuat Kartu Tanda Penduduk eletronik (e-KTP) khusus bagi penganut aliran kepercayaan, pasca putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan para penghayat bisa mencantumkan kepercayaannya di kartu identitas.

Aan Anshori, koordinator Jaringan Islam Anti Diskriminasi dan aktivis Gusdurian di Jawa Timur, menyebut usulan MUI itu sebagai “konyol” serta mempertanyakan mengapa MUI tidak bisa berbesar hati untuk menerima agama dan aliran kepercayaan adalah sejajar.

“MUI adalah cermin bagaimana Islam ditampilkan di ruang publik, wajah Islam yang toleran, tapi oleh MUI direduksi menjadi politik Islam yang diskriminatif,” ujar Aan saat dihubungi.

Penolakan juga disampaikan perwakilan penghayat kepercayaan Sapto Darmo di Surabaya, Otto Bambang Wahyudi. Ia menolak usulan MUI tersebut karena dinilainya diskriminatif, membedakan warga negara, serta bentuk pemborosan bagi negara karena harus membuat blangko KTP baru.

“Apa susahnya menuliskan ‘kepercayaan kepada Tuhan YME’ di kolom agama?” ujarnya kepada BeritaBenar.

Otto yang juga menjabat sebagai Ketua Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI) Jawa Timur menambahkan sejak putusan MK, penghayat kepercayaan Sapto Darmo sudah merasakan perubahan positif dan dapat mencantumkan “Kepercayaan kepada Tuhan YME” di kolom agama e-KTP mereka serta tidak mendapatkan masalah saat meminta perubahan tersebut di KTP mereka.

“Bila MUI tidak mau agama dan aliran kepercayaan disejajarkan, mari kita lakukan definisi ulang apa arti dari agama dan kepercayaan,” ujarnya.

Aan menambahkan, pembedaan KTP hampir mirip dengan peraturan yang berlaku di masa Orde Lama ketika ada kode ET atau Eks Tahanan Politik (Tapol) di KTP untuk mantan tahanan politik

“Perbedaan (KTP) ini berpotensi menimbulkan stigmatisasi dan diskriminasi, sehingga masyarakat bisa saling mencurigai,” ujar Aan.

Pernyataan MUI

Keputusan MK pada November 2017 yang mengabulkan gugatan komunitas penghayat kepercayaan untuk dapat mencantumkan keyakinan mereka pada kolom agama di KTP dan Kartu Keluarga (KK) disambut banyak pihak sebagai babak bersejarah pengakuan atas kebebasan beragama di Indonesia.

Sebelumnya para penganut kepercayaan harus mengosongkan kolom agama di kartu identitas mereka, atau harus memilih salah satu dari enam agama yang diakui resmi oleh pemerintah, yaitu Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Buddha, atau Khonghucu.

Jika tidak, mereka akan mendapatkan kesulitan dalam mendapatkan hak-hak dasar mereka, seperti akses jaminan sosial dan pengurusan dokumen kependudukan lain, misalnya pencatatan pernikahan serta akta kelahiran.

Namun MUI menyesalkan putusan MK tersebut, yang dinilai kurang cermat dan “melukai perasaan umat beragama khususnya umat Islam Indonesia” karena menyejajarkan agama dengan aliran kepercayaan, seperti disampaikan Ketua Bidang Hukum MUI, Basri Barmanda, dalam jumpa pers di kantor MUI, Rabu, 17 Januari 2018.

Walaupun mengakui putusan MK adalah final dan mengikat sesuai konstitusi, MUI meminta pemerintah membuat e-KTP yang mencantumkan kolom “Kepercayaan” bagi komunitas penghayat kepercayaan tanpa ada kolom “Agama” seperti yang sudah ada selama ini.

“Adapun untuk warga negara yang memeluk agama dan telah mempunyai KTP eletronik, hendaknya tidak dilakukan perubahan atau penggantian KTP sama sekali,” ujar Basri.

“Pembuatan KTP elektronik untuk warga penghayat kepercayaan dengan kolom khusus adalah solusi terbaik bagi bangsa dan negara dalam melaksanakan putusan MK secara arif dan bijaksana,” kata Basri, yang menambahkan bahwa MUI menghormati perbedaan agama dan kepercayaan setiap warga negara.

Ia mengatakan perbedaan KTP elektronik itu adalah “aspiratif dan bukan diskriminatif” serta juga bukan bentuk pengistimewaan, namun perlakuan negara yang disesuaikan dengan ciri khas dan hak warga negara yang berbeda.

Sekretaris Jenderal MUI Anwar Abbas memberikan analogi perbedaan warna paspor yang berbeda untuk dinas yang berwarna biru, umum yang berwarna hijau dan diplomat yang berwarna hitam.

“Ini adalah solusi,” ujar Anwar, sambil menambahkan bahwa diferensiasi KTP eletronik harus ada karena agama dan aliran kepercayaan adalah dua hal berbeda dan tidak bisa disamakan, antara lain karena agama mempunyai ciri-ciri seperti adanya rasul, kitab, ajaran, serta sistem yang berjalan.

Pemerintah mempertimbangkan

Usul MUI tersebut saat ini sedang dipertimbangkan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).

Direktur Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakrulloh, mengatakan usulan MUI tersebut merupakan satu dari empat alternatif yang diusulkan Kemendagri sebagai respon pemerintah atas putusan MK tersebut.

Zudan mengatakan Kemendagri, Kementerian Agama, dan MUI pernah membahas hal ini menyusul putusan MK itu. Kemendagri sudah melakukan kajian yang menghasilkan empat alternatif, termasuk alternatif seperti diusulkan MUI. Hasil kajian tersebut sudah dilaporkan ke Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan (Kemenko Polhukam).

“Semua sedang digodok di Kemenko Polhukam. Menteri Dalam Negeri sudah menyampaikan kajian tersebut dengan surat resmi ke Menko Polhukam dan sekarang menunggu keputusan lebih lanjut dari Menko,” ujar Zudan kepada BeritaBenar.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.