33 Narapidana Terorisme Bebas Bulan Agustus 2018
2018.08.31
Jakarta
Sebanyak 33 dari total 265 narapidana kasus terorisme akhirnya dapat menghirup udara bebas pada Agustus ini setelah mereka mendapat remisi (pengurangan masa tahanan) peringatan hari kemerdekaan Indonesia ke-73.
“Remisi diberikan kepada narapidana yang telah memenuhi persyaratan administratif dan substantif, khususnya yang berkelakuan baik dan aktif mengikuti pembinaan,” kata Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Sri Puguh Budi Utami di Jakarta, Kamis, 30 Agustus 2018.
Namun, dia enggan menjelaskan lebih detil siapa saja para narapidana terorisme yang bebas tersebut dan kasus yang menjerat mereka.
Sementara itu, direktur Institute Policy Analysis of Conflict (IPAC), Sidney Jones, memperkirakan ada tujuh mantan narapidana yang baru bebas itu perlu diawasi karena “sangat berbahaya.”
Namun, dia menolak menyebutkan identitas mereka.
“Bukan mantan foreign fighters yang berbahaya tapi orang yang tidak pernah berangkat ke Suriah karena mereka punya ideologi kuat dan mungkin frustasi karena tidak bisa jihad di sana,” papar Sidney.
Sri menyebut remisi menjadi harapan bagi narapidana sehingga mereka menyadari akan pentingnya menegakkan integritas selama menjalani masa hukuman.
"Pemberian remisi ini untuk memotivasi agar narapidana memperbaiki diri, menyadari kesalahannya, tidak mengulangi tindak pidana,” katanya kepada BeritaBenar.
Kabag Humas Direktorat Jenderal Permasyarakatan Kemenkumham, Ade Kusmanto merinci terdapat 462 warga binaan teroris terdiri dari 265 narapidana dan 197 tahanan terorisme.
“Mereka tersebar di 113 lapas dan dua rumah tahanan di seluruh Indonesia,” katanya.
Dijelaskan bahwa 88 orang di antaranya merupakan penghuni Lapas Pasir Putih di Nusa Kambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, sementara 143 lagi ialah penghuni Lapas Gunung Sindur di Bogor, Jawa Barat.
“Satu orang satu sel karena mereka termasuk yang beresiko tinggi, ” ujarnya.
Ia menjelaskan pembebasan narapidana terorisme dilakukan setelah memenuhi persyaratan seperti bekerja sama dengan penegak hukum, mengikuti program deradikalisasi dari pihak Lapas dan BNPT serta menyatakan ikrar kesetiaan kepada negara RI.
“Perubahan sikap, sumpah kesetiaan pada RI, ada surat pernyataan tertulis, mengikuti program pembinaan di Lapas, dan memperoleh keterangan dari BNPT bahwa yang bersangkutan mengikuti program deradikalisasi,” katanya.
Dipantau kepolisian
Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen. Pol. Setyo Wasisto, menyebutkan pihaknya akan terus memantau pergerakan setiap narapidana terorisme yang bebas untuk mencegah mereka kembali terjerat kasus serupa.
“Pasti dipantau mereka oleh Densus 88 dan BNPT,” ujarnya saat dihubungi.
Namun demikian Deputi Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Mayjen TNI Abdul Rahman Kadir, mengakui pihaknya memiliki keterbatasan.
“Kita tidak bisa berbuat banyak karena walau bagaimanapun status mereka sudah bebas, jadi masyarakat umum, namun tetap kami pantau,” katanya.
Caranya, ujar dia, dengan cara menggandeng semua pihak di daerah asal seperti pemda melalui pembinaan masyarakat dengan program deradikalisasi.
“Mereka diberikan wawasan kebangsaan, wawasan keagamaan, kewirausahaan,” kata Abdul Rahman.
Program tersebut bisa diikuti baik mantan narapidana terorisme maupun keluarganya atau jaringan sekitar.
“Yang ikut, yang mau saja karena kami tidak bisa memaksa. Biasanya yang tak mau ikut yang ideologisnya masih keras. Untuk mereka memang sulit diubah. Jangankan setelah bebas, sewaktu di dalam penjara saja tidak mau,” jelasnya.
Ia memperkirakan sekitar 50 persen dari sekitar 600 eks narapidana teroris (yang telah bebas) yang mau mengikuti program deradikalisasi dari pemerintah.
Jika ditambah keluarganya, kata dia, ada sekitar 800 mantan anggota jaringan teroris yang dibina, termasuk anggota keluarganya yang tersebar di berbagai daerah.
Melebihi kapasitas
Sidney Jones menyatakan dari hasil penelitian yang dilakukan lembaganya, terdapat 144 narapidana teroris telah atau akan bebas dalam periode Januari 2017 hingga December 2019.
Dari jumlah itu, 70 orang telah bebas dari Januari 2017 – Agustus 2018.
Dalam kurun waktu sama, jelasnya, 400 tersangka teroris ditahan, termasuk 280 orang yang ditangkap antara Mei hingga Agustus 2018.
“Sistem lembaga permasyarakatan sepertinya terbebani dan melampaui kapasitas dimana lebih banyak yang masuk penjara dibandingkan keluar,” katanya.
Sidney menyatakan Indonesia sedang memperbaiki sistem penjara dengan pengamanan maksimum, tapi belum selesai dibangun.
“Tersangka teroris sekarang ditahan di Polda sesuai lokasi mereka melakukan tindakan terorisme karena di Jakarta jelas tidak ada lagi seperti Mako Brimob,” ujarnya.
Menurut dia, pemerintah perlu melakukan pengawasan dan program pembinaan bagi narapidana terorisme dari ditangkap sampai ke pengadilan sehingga kerusuhan seperti terjadi di Mako Brimob pada Mei lalu, tidak terjadi lagi.
“Biasanya belum ada program apapun selama mereka ditahan sebelum ke pengadilan. Kejadian di Mako Brimob, ada yang menjadi radikal selama beberapa minggu ditahan dengan yang paling keras (radikal),” kata Sidney.