Nelayan Cina Tinggalkan ZEE Indonesia Pasca Kunjungan Presiden

Pejabat kedua negara mengklaim masalah investasi Cina di Indonesia tak terpengaruh konflik Natuna.
Ronna Nirmala
2020.01.09
Jakarta
200109_ID_Natuna_1000.jpg Dalam foto yang dirilis oleh Istana Kepresidenan RI ini, Presiden Joko “Jokowi” Widodo (kedua dari kanan) didampingi kepala TNI Marsekal Hadi Tjahjanto (ketiga dari kiri) dan pejabat lainnya mengunjungi markas militer Indonesia di Kepulauan Natuna, Provinsi Kepulauan Riau, 8 Januari 2020.
Istana Kepresidenan/AFP

Tentara Nasional Indonesia memastikan kapal-kapal nelayan Cina telah keluar dari perairan Natuna setelah diduga menangkap ikan secara ilegal di perairan itu yang menyebabkan terjadinya ketegangan antara Jakarta dan Beijing.

Hasil pengintaian udara oleh TNI Angkatan Udara menunjukkan kapal nelayan dan penjaga laut China telah meninggalkan Zone Ekonomi Eksklusif (ZEE) sejak Rabu, kata Kepala Pusat Penerangan TNI Mayjen TNI Sisriadi.

“Saya sudah mendapatkan laporan dari kapal coast guard kita yang ada di situ bahwa kapal nelayan Cina sudah meninggalkan ZEE. Sudah terkonfirmasi,” kata Sisriadi melalui sambungan telepon dengan BenarNews, Kamis.

Sehari sebelumnya Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengunjungi Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, dan meninjau KRI Usman Harun 359 dan KRI Karel Stasuit Tubun 356 di Pangkalan Angkatan Laut Terpadu Selat Lampa, serta bertemu dengan ratusan nelayan di Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT).

Jokowi mengakui kunjungannya dilakukan sekaligus untuk memastikan penegakan hukum atas hak berdaulat di ZEE. “Kenapa di sini hadir Bakamla dan Angkatan Laut? Untuk memastikan penegakan hukum yang ada di sini,” kata Jokowi, dikutip dari rilis resmi Sekretariat Presiden RI.

Sisriadi mengaitkan kunjungan Jokowi dengan hengkangnya kapal-kapal nelayan Cina dari ZEE. “Menurut saya langkah Presiden itu bagus, menunjukkan bahwa kita bisa tegas. Nelayan-nelayan itu kelihatan sekali takut sama Pak Presiden,” kata Sisriadi.

Ketegangan di perairan Natuna bermula dari dugaan adanya penangkapan ikan dengan pukat harimau oleh kapal-kapal nelayan yang dijaga kapal penjaga pantai Cina. Beijing menyebut wilayah ZEE Indonesia telah menjadi tempat nelayan mereka menangkap ikan secara turun-temurun.

Kementerian Luar Negeri Indonesia telah mengeluarkan nota protes diplomatik dan memanggil Duta Besar Cina untuk Indonesia. Dalam pernyataan pers tahunan, Rabu (8/1/2020), Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi juga menyinggung bahwa Indonesia akan terus menolak klaim wilayah RI oleh negara lain yang tidak diakui oleh hukum internasional.

"Secara khusus, saya ingin menekankan satu prinsip terkait kedaulatan dan hak berdaulat di perairan Indonesia. Bahwa klaim apapun, oleh pihak manapun, harus dilakukan sesuai dengan hukum internasional, termasuk UNCLOS 1982," tukasnya. UNCLOS adalah Konvensi Hukum Laut PBB.

Investasi China diklaim tak terpengaruh

Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, memastikan hubungan ekonomi yang terjalin antara Indonesia dengan Cina dalam kondisi baik-baik saja meski terjadi ketegangan di perairan Natuna.

Gak ada tuh, baik-baik saja. Kan kakak-beradik juga suka bergesekan. Diplomasi itu panjang kisahnya,” kata Luhut di hadapan sejumlah wartawan di Gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Rabu.

Luhut memastikan, Indonesia maupun Cina tidak pernah akan menukar kedaulatan masing-masing negara dengan investasi dan urusan ekonomi lainnya, sebab keduanya adalah hal yang berbeda. Maka dari itu, semua rencana bisnis Cina di Indonesia akan tetap berlanjut, salah satunya pembangunan pabrik baterai litium di kawasan Morowali, Sulawesi Tengah.

“Sekarang semua ongoing. Setelah AMDAL-nya selesai, US$ 1,2 miliar atau bahkan US $1,5 miliar dari Cina masuk. Besar itu,” tukasnya.

Duta Besar Cina untuk Indonesia Xiao Qian memastikan hubungan negaranya dengan Indonesia tetap berjalan baik.

“Kami punya hubungan yang sangat baik di banyak area, tapi teman baik kadang punya perspektif yang berbeda,” kata Xian, dikutip dari Antara, Rabu.

Dikutip dari Kementerian Perindustrian, beberapa proyek besar yang sedang berjalan dan disokong dana dari Cina antara lain proyek kereta cepat Jakarta-Bandung. Pada April 2017, PT Kereta Cepat Indonesia-Cina (KCIC) menandatangani kontrak kerja sama Engineering, Procurement, and Construction (EPC) dengan High Speed Railway Construction Consortium (HSRCC) dengan nilai US$ 4,7 miliar.

Selain kereta cepat, investasi Cina yang masuk ke Indonesia dengan nilai cukup signifikan adalah Kawasan Industri Morowali. Dua perusahaan asal Cina, Tsingshan Group dan Delong Group menandatangani nota kesepahaman pembangunan pabrik carbon steel dengan PT Morowali Industrial Park untuk kapasitas 3,5 juta ton per tahun dengan nilai US$ 980 juta.

Bukan hanya itu, Tsingshan Group dengan Bintang Delapan Group dan PT Indonesia Morowali Industrial Park juga bekerja sama membangun pembangkit listrik di kawasan tersebut dengan kapasitas 700 MegaWatt bernilai US$ 650 juta.

Cina yang rugi

Kepala Departemen Ekonomi Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, mengatakan investasi yang ditanamkan Cina terbilang masif, begitu pula ekspor mereka di Indonesia. Sehingga, menurutnya, jika konflik Natuna berkepanjangan, justru Cina yang kemungkinan rugi.

“Sehingga kita bisa katakan, kalau terjadi apa-apa, kerugian paling banyak bisa ditanggung Cina,” kata Yose kepada BeritaBenar, Kamis.

Data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) menunjukkan, nilai penanaman modal langsung (foreign direct investment/FDI) Cina di Indonesia sepanjang 2019 mencapai US$ 3,3 miliar, naik dari posisi 2018 yang hanya US $2,3 miliar.

Sektor yang paling diminati Cina di Indonesia antara lain infrastruktur, smelter, perangkat elektronik, dan manufaktur. BKPM mencatat, sejak 2014 hingga kuartal III 2019, investasi Cina adalah yang terbesar ketiga di Indonesia setelah Singapura dan Jepang.

Dari segi perdagangan, Cina memang meraup untung yang besar dari Indonesia. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan, sejak tahun 2013, neraca perdagangan Indonesia terhadap Cina selalu defisit. Per Agustus 2019, nilai defisit dagang Indonesia dengan Cina mencapai US$ 11 miliar.

Yose juga optimistis, Indonesia memiliki posisi yang kuat dalam konflik yang terjadi dengan Cina saat ini. Oleh karenanya, dirinya turut meminta publik tidak berspekulasi tentang posisi Indonesia yang inferior karena banyak menerima pinjaman dari Cina.

“Kalau Cina memberikan utang, maka mereka akan lebih berhati-hati dengan Indonesia. Kalau ada konflik terbuka, Indonesia punya kewenangan untuk terminate semua hubungan,” ujarnya.

Data statistik utang luar negeri Indonesia (SULNI) yang dirilis Bank Indonesia per Agustus 2019, posisi utang Indonesia terhadap Cina mencapai US$ 16,99 miliar atau setara 239,55 triliun rupiah, keempat terbesar setelah Singapura (US$ 66,46 miliar), Jepang (US$ 29,36 miliar), dan AS (US $22,54 miliar).

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.