Korban Pelecehan Seksual Berharap Bantuan Keadilan dari Jokowi

SAFEnet menyatakan Nuril adalah korban pasal karet Undang-undang ITE, yang kerap memakan korban masyarakat lemah.
Rina Chadijah
2018.11.15
Jakarta
181115_ID_Nuril.jpg Furqan Ermansyah (kanan), pendamping advokasi dari SAFEnet melakukan foto bersama dengan Baiq Nuril Maqnun di Mataram, Nusa Tenggara Barat, 15 November 2018.
Dok. Pribadi

Baiq Nuril Maqnun (40), mantan pegawai honorer di SMAN 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat (NTB), yang divonis penjara oleh Mahkamah Agung (MA) karena dituduh merekam dan menyebar percakapan mesum kepala sekolah di SMA itu, berharap Presiden Joko “Jokowi” Widodo membantu memberikan keadilan kepadanya.

“Kami sangat berharap uluran tangan pemerintah, terutama dari Bapak Presiden Jokowi agar bisa mengubah keputusan MA. kami berharap keadilan ditegakkan,” kata Lalu Isnaini, suami Nuril, saat dihubungi BeritaBenar, Kamis, 15 November 2018.

MA pada 26 September 2018 lalu memutuskan Nuril bersalah melakukan pidana seperti diatur dalam Pasal 27 (1) UU ITE, serta menjatuhkan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp500 juta subsider tiga bulan kurungan.

Vonis ini menjadi viral di media sosial dalam dua hari terakhir setelah Nuril dan anaknya, Rafi (7) menulis surat kepada Jokowi.

“Saya minta keadilan. Saya mohon kepada Bapak Presiden bebaskan saya dari jeratan hukum yang sedang saya alami. Saya tidak bersalah. Saya minta keadilan yang seadil-adilnya,” tulis Nuril.

Sedangkan surat Rafi berbunyi, “Kepada Bapak Jokowi. Jangan suruh Ibu saya ‘sekolah’ lagi.”

Sekolah yang dimaksud di sini bukanlah sekolah yang sebenarnya. Ketika Nuril menjadi tersangka pada tahun 2017, ia sempat ditahan polisi. Pada saat ditahan itu, Nuril mengaku kepada anaknya bahwa ia mau sekolah, demikian disampaikan pengacara Nuril, Joko Jumadi, seperti dikutip di detik.com.

Kepada sejumlah awak media yang videonya viral, Nuril menyatakan tak bersalah karena putusan Pengadilan Negeri Mataram, dia telah dibebaskan.

“Saya memang benar-benar korban pelecehan seksual dan ini memang hukuman yang tidak sangat adil bagi saya. Saya berharap saya tidak ditahan,” ujarnya.

Menurut Isnaini, kasus menimpa istrinya bermula pada pertengahan 2012 saat istrinya masih berstatus pegawai honorer SMAN 7 Mataram.

Suatu ketika Nuril ditelepon kepala sekolah berinsial M, yang bercerita soal pengalaman seksualnya dengan bendahara sekolah – atasan Nuril.

“M juga kerap kali menelpon dan menggoda, serta melontarkan rayuan-rayuan bernada pelecehan,” papar Isnaini.

Karena sudah tak tahan lagi, tambahnya, suatu kali Nuril merekam rayuan cabul M.

Nuril sempat bercerita apa yang dialaminya pada Imam Mudawin, rekan kerjanya di sekolah itu, dan mengaku merekam pembicaraan.

Imam kemudian meminta rekaman itu pada Nuril, yang lalu menyerahkan teleponnya pada Imam.

Imam lantas menyebarkan rekaman percakapan mesum itu ke sejumlah orang, termasuk pejabat Dinas Pemuda dan Olahraga Mataram.

Karena merasa namanya tercemar, M melaporkan Nuril ke polisi dengan tuduhan melanggar Undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).

Kontraknya sebagai tenaga honorer diputus oleh M.

Tidak terbukti

Pengadilan Negeri Mataram kala itu menyatakan Nuril tak terbukti mentransmisi konten bermuatan pelanggaran kesusilaan.

Namun, jaksa mengajukan banding hingga kasasi ke MA, yang kemudian memutuskan Nuril bersalah.

Sementara, M tidak pernah mendapatkan sanksi dari instansinya maupun proses hukum atas kasus pelecehan.

Bahkan, dia mendapat promosi jabatan sebagai Kepala Bidang Dinas Pemuda dan Olahraga (Dispora) Kota Mataram.

Isnaini mengatakan istrinya, yang selama ini hanya menjadi ibu rumah tangga, sangat terpukul begitu tahu putusan MA.

“Ia kerap menangis dan terpukul sekali karena harus menjalani hukuman penjara dan membayar denda Rp500 Juta,” katanya.

“Kami sudah berupaya melupakan masalah itu. Kami tidak punya uang untuk membayar denda. Saya hanya pekerja lepas di perusahaan Telkomunikasi, anak kami tiga orang.”

Kasus Nuril mendapat perhatian masyarakat. Selain menyesalkan putusan MA, publik juga menggelar penggalangan dana lewat laman Kitabisa.com.

Hingga Kamis malam, donasi untuk Nuril telah terkumpul lebih dari 159 juta dari Rp.550 juta yang ditargetkan.

Usulkan amnesti

Anggara, Direktur Institute for Criminal Justice Reform (IJCR) menyarankan keluarga Nuril menempuh jalur hukum lanjutan yakni Peninjauan Kembali (PK) dengan mencari bukti baru.

Dia meminta Presiden menggunakan haknya berdasarkan konstitusi yaitu memberikan amnesti kepada Nuril.

Namun selama ini amnesti hanya diberikan kepada kasus kejahatan politik.

Meski begitu Anggara mengatakan, secara regulasi karena tidak ditemukan ketentuan turunan lain, maka atas nama kemanusiaan Presiden dapat menggunakannya.

“Pemberian amnesti kepada Ibu Nuril akan menunjukkan upaya untuk memperkokoh perlindungan terhadap hak korban ataupun korban kekerasan seksual dalam kasus ini,” katanya dalam keterangan tertulisnya.

Tetapi, anggota Komisi III DPR, Nasir Djamil berpendapat terlalu jauh jika Presiden harus memberikan amnesti untuk Nuril.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera ini menyarankan keluarga menempuh upaya hukum lanjutan.

“Putusan MA itu tidak mencerminkan keadilan. Seharusnya hakim MA merujuk kepada putusan tingkat pertama,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Nasir berjanji akan mempertanyakan hal ini kepada Jaksa Agung dalam rapat kosultasi yang digelar dalam waktu dekat.

“Ini harus dikoreksi. Karena kasus ini, pandangan orang terhadap peradilan menjadi buruk dan tidak konsisten,” katanya.

Ajukan PK

Joko Jumadi mengatakan, pihaknya akan segera mengajukan PK terhadap putusan MA tersebut.

“Ibu Nuril tidak bersalah dan hal itu sudah dinyatakan oleh pengadilan negeri. Karena itu kami segera mendaftarkan upaya hukum peninjauan kembali,” katanya saat dihubungi.

Menurut Joko, kliennya telah menerima salinan putusan kasasi MA dan pihaknya sedang mempersiapkan berkas untuk upaya hukum lanjutan itu.

Selain mengajukan PK, tim pengacara juga akan mengajukan permohonan penundaan eksekusi.

“Ibu Nuril saat ini menjadi panitia Pilkades di desanya. Jadi kami meminta Mahkamah Agung menunda eksekusi terhadap Ibu Nuril,” katanya.

Damar Juniarto, Koordinator Regional Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyatakan Nuril adalah korban pasal karet dalam Undang-undang ITE, yang selama ini kerap memakan korban masyarakat lemah.

“Penggunaan aturan ini meningkat dari tahun ke tahun,” katanya.

Ada 245 laporan kasus UU ITE di Indonesia sejak 2008. Tahun 2016, jumlah kasus yang dilaporkan dengan menggunakan Undang-undang ITE mencapai 54 kasus, dan 2017 dengan total 32 kasus dilaporkan. Sementara hingga Oktober 2018, terdapat dua kasus.

Tapi mayoritas kasus UU ITE yang dilaporkan berakhir di kepolisian yaitu 47,35 persen atau 116 dari 245 kasus karena kurangnya bukti sehingga kasus tidak dilanjutkan.

“Kami berharap aparat penegak hukum lebih teliti memproses laporan menggunakan Undang-undang ITE karena banyak digunakan sebagai alat membungkam seseorang,” pungkas Damar.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.