Polisi Tangkap Aktivis Pro-Kemerdekaan Terkait Kerusuhan Papua 2019

Aktivis hak asasi mengecam penangkapan Victor Yeimo, yang disebut hanya membuat konflik memanas.
Tria Dianti
2021.05.10
Jakarta
Polisi Tangkap Aktivis Pro-Kemerdekaan Terkait Kerusuhan Papua 2019 Warga berkumpul di depan bangunan yang dibakar dalam unjuk rasa menentang rasisme terhadap warga Papua, di Wamena, Papua, 23 September 2019.
AP

Petugas keamanan Indonesia telah menangkap seorang aktivis pro-kemerdekaan Papua, Victor Yeimo, dengan tuduhan makar terkait kerusuhan 2019 lalu, kata kepolisian Senin (10/5).

Yeimo, ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB), ditangkap Minggu setelah menjadi buronan sejak 2019 karena diduga melakukan tindakan makar dan penghasutan yang menimbulkan keonaran di masyarakat, kata M. Iqbal Alqudusy kepala Humas Nemangkawi, kesatuan tugas TNI-Polri yang diterjunkan untuk operasi memberantas kelompok separatis di Papua.

“Ya benar, Satgas Nemangkawi menangkap Victor Yeimo, buron kasus kerusuhan di Papua tahun 2019 lalu Minggu kemarin di Jayapura, Papua pukul 19.15 WIT,” ujar Iqbal kepada BenarNews.

“Ia disangkakan atas kejahatan terhadap keamanan negara atau makar dan atau menyiarkan suatu berita atau mengeluarkan pemberitahuan yang dapat menimbulkan keonaran di kalangan masyarakat dan atau menyiarkan kabar yang tidak pasti atau kabar yang berlebihan atau tidak lengkap,” paparnya.

KNPB bukanlah kelompok bersenjata melainkan organisasi sipil Papua yang memperjuangkan referendum dengan opsi kemerdekaan untuk Papua. 

Yeimo, yang saat ini dikenal sebagai juru bicara internasional KNPB, terancam hukuman 12 tahun jika terbukti bersalah dalam kasus makar.

Ini bukan pertama kalinya Yeimo berhadapan dengan hukum. Pada 2009, ia ditangkap dan dihukum setahun penjara karena memimpin unjuk rasa menuntut referendum penentuan nasib sendiri bagi warga Papua.

Sedikitnya 40 orang tewas dan puluhan lainnya terluka dalam kerusuhan di Papua dan Papua Barat pada Agustus – September 2019 yang dipicu oleh perlakuan rasis dari aparat dan sejumlah ormas lokal terhadap mahasiswa Papua di asrama mereka di Surabaya pada 17 Agustus tahun itu.

Yeimo ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan keterangan saksi yang menyebutnya sebagai pimpinan demo yang berorasi mengenai Papua merdeka saat itu, kata Iqbal.

Tanggal 19 Agustus 2019, Yeimo melakukan pidato di depan kantor gubernur Papua dengan meneriakkan “Papua Merdeka,” kata Kapolda Papua Irjen Mathius Fakhiri.

“Pada 29 Agustus 2019 Yeimo menjadi aktor di belakang layar untuk pergerakan massa pada demo yang berujung anarkis dan merusak fasilitas umum,” katanya.

Kapolda Fakhiri juga menyatakan Yeimo sempat melarikan diri ke Papua Nugini beberapa saat setelah terjadi aksi kerusuhan 2019 lalu.

“Yeimo mengaku kembali ke Jayapura sejak September 2020,” ujar Fakhiri seperti dikutip Suara.com

Tahun lalu, sedikitnya 13 aktivis dan pelajar Papua dihukum karena menaikkan Bintang Kejora, bendera kelompok separatis, dalam unjuk rasa pada 2019 menuntut referendum sebagai protes secara nasional atas perlakuan rasis yang diterima warga Papua. Mereka dihukum antara sembilan hingga 11 bulan penjara dengan dakwaan makar.

Buru Veronica Koman

Polisi juga mengatakan mereka masih memburu aktivis dan pengacara hak asasi manusia Veronica Koman, yang saat ini berada di Australia setelah dikenakan status buronan dalam kasus penyebaran berita bohong terkait perlakuan terhadap warga Papua di Surabaya tahun 2019.

“Yang bersangkutan adalah salah satu DPO (daftar pencarian orang) Polda Jatim,” kata Iqbal.

“Artinya ada laporan polisinya ada bukti pendukungnya yang dianggap Polri cukup untuk menerbitkan DPO,” ujarnya.

Ia mengatakan sampai saat ini pihaknya belum bisa menangkap Koman karena statusnya berada di Australia.

Yeimo diketahui pernah pergi bersama Koman ke gedung PBB di Jenewa untuk mendapatkan dukungan. Keduanya berbicara tentang hak berpendapat masyarakat Papua dan menentukan nasib sendiri.

Menanggapi penangkapan Yeimo, Koman menulis di Twitter. “Padahal ditangkapnya Victor Yeimo justru akan membuat Papua menjadi semakin bergejolak,”

Sewenang-wenang

Akhir bulan lalu, pemerintah menyatakan gerilyawan di Papua sebagai teroris usai serangkaian bentrok yang menewaskan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) untuk daerah Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya dan personel Brimob Bharada Komang Wira Natha. 

Sayap kelompok separatis, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) juga menyatakan bertanggung jawab atas tewasnya dua guru, seorang tukang ojek dan seorang remaja 16 tahun bulan lalu, karena menilai mereka sebagai mata-mata aparat keamanan. 

Merespons penembakan terhadap Danny, Presiden Joko “Jokowi” Widodo memerintahkan Kapolri dan Panglima TNI untuk melakukan pengejaran dan penangkapan terhadap apa yang disebut “kelompok kriminal bersenjata,” atau disingkat KKB

Koordinator LSM KontraS Papua, Sam Awom, menilai penangkapanr Yeimo adalah tindakan sewenang-wenang aparat keamanan sebagai buntut dari label kelompok separatis bersenjata sebagai teroris.

“Kalau dipikir kerusuhan rasisme itu kan sudah selesai, otak kerusuhan sudah disidang dan divonis. Ini seperti situasi polisi yang mencari kesalahan,” kata Awom kepada BenarNews.

“Mereka akan mencari organisasi-organisasi yang terafiliasi, ini sangat rentan penangkapan terhadap orang yang dicurigai melakukan komunikasi-komunikasi dengan OPM (Organisasi Papua Merdeka),” ujarnya.

Menurutnya, kebijakan pemerintah dengan menetapkan OPM sebagai kelompok teroris justru akan meningkatkan eskalasi kekerasan dan menutup ruang demokrasi di Papua.

“Kami aktivis sangat resah terkait ini, karena penetapan teroris itu tidak menyelesaikan persoalan. Justru yang harus dilakukan pemerintah adalah bagaimana membuka ruang sebesar-besarnya antara pemerintah dengan OPM,” ujarnya.

Yeimo memimpin aksi pertama di Jayapura pada September 2019, dan demonstrasi berlangsung sangat damai, ujar Awom.

“Baru di aksi kedua dan seterusnya ada kekerasan terjadi karena diduga ada oknum di sana. Jadi menggunakan Victor sebagai otak kerusuhan saya pikir adalah tuduhan mengada-ada,” ujarnya merujuk pada Yeimo.

Ia menyarankan pemerintah membebaskan tahanan politik di Papua, untuk membangun kepercayaan rakyat Papua terhadap pemerintah.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.

Komentar

Hendrar Pramudyo
2021-05-12 03:24

Tak ada lagi referendum soal status papua. Masalah Papua adlh peninggalan penjajahan belanda . RI yg merdeka 17 Augustus th 1945 dg wilayah seluruh bekas jajahan belanda termasuk papua awalnya tak diakui penjajah belanda.

Th 1949 belanda bersedia menyerahkan kedaulatan seluruh wilayah hindia belanda kpd RI kecuali irian Jaya atau papua.

Masalah Papua Barat kemudian jadi agenda komite dekolonisasi PBB. Saat proses di PBB berlangsung Belanda sempat mendirikan negara Boneka Papua.

Perang utk merebut Irian Jaya atau Papua Barat kemudian disiapkan Indonesia melalui operasi TRIKORA atau tri komando rakyat

Namun setelah tekanan amerika penjajah belanda akhirnya bersedia meninggalkan Papua setelah referendum th 1969 yg dilakukan pemerintah transisi sementara PBB atau UNTEA dimenangkan pro RI. Kemenangan itu kemudian disahkan Sidang Majelis Umum PBB.

Namun organisasi papua merdeka yg didukung belanda menolak hal tsb. Dan memilih memberontak.

Pada tg 17 agustus 2005 kerajaan belanda akhirnya secara resmi mengakui kemerdekaan RI th 1945 termasuk wilayah Irian Jaya atau Papua.

Secara de facto dan de yure OPM sesungguhnya sudah tak memiliki dasar utk terus menuntut merdeka mendirikan negara. Dinegara2 manapun pemberontakan akan ditumpas

Suradali
2021-05-25 06:28

Saya hanya mau bertanya ,apakah opm/kkb ini murni dari rakyat papua atau ada siapa di balik papua,sehingga papua ingin merdeka