Indonesia Tekankan Pentingnya Kerjasama Pemerintah-Masyarakat Tangani Terorisme

Rencana pembentukan badan intelejen kampus untuk mencegah radikalisme menuai berbagai respons.
Ika Inggas & Tria Dianti
2018.06.29
Washington & Jakarta
180629_ID_BNPT_1000.jpg Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen. Pol. Suhardi Alius, berpidato pada KTT Pimpinan Badan Penanggulangan Terorisme Negara-Negara Anggota PBB di Markas Besar PBB di New York, Jumat, 29 Juni 2018.
Dok. BNPT

Indonesia akan mengedepankan pendekatan menyeluruh antara kerjasama pemerintah dan masyarakat dalam penanganan terorisme, demikian disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Komjen. Pol. Suhardi Alius, dalam KTT Pimpinan Badan Penanggulangan Terorisme Negara-Negara Anggota PBB di Markas Besar PBB di New York, Jumat, 29 Juni 2018.

Untuk mewujudkannya, akan ditempuh melalui empat pilar yakni pencegahan, deradikalisasi, penegakan hukum, dan kerja sama internasional, demikian disampaikan Suhardi Alius dalam pernyataan pers yang disampaikan oleh pihak Kedutaan Besar Republik Indonesia di Washington DC kepada BeritaBenar.

KTT dua hari yang berlangsung sejak kemarin itu adalah konferensi pertama yang diselenggarakan Sekretaris Jenderal PBB dengan tujuan untuk membangun kemitraan baru dalam kerja sama multilateral dalam rangka penanggulangan terorisme oleh masyarakat internasional.

Selain pendekatan menyeluruh pemerintah-masyarakat, dalam KTT yang juga dihadiri oleh organisasi regional dan lembaga swadaya masyarakat ini, Kepala BNPT juga menyampaikan pentingnya negara-negara anggota PBB memiliki komunikasi strategis dalam menangani penyalahgunaan internet untuk tujuan terorisme.

Peranan pemuda dalam upaya pencegahan terorisme termasuk upaya kontra radikalisasi juga menjadi penekanan Suhardi, yang selama berada di Markas Besar PBB tersebut juga mengadakan pertemuan bilateral dengan pejabat negara lain seperti Australia, Korea Selatan, Saudi Arabia, dan Fiji.

Badan intelejen kampus

Sementara itu rencana membentuk badan intelijen di kampus guna membendung radikalisme di universitas sebagai salah satu hasil kesepakatan dalam pertemuan antara BNPT dengan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, serta 122 rektor se-Indonesia pada awal pekan ini, menuai berbagai respons.

Sebagian kalangan melihatnya sebagai hal penting, namun ada juga yang menilainya sebagai bentuk pengekangan kebebasan berekspresi dalam kampus.

“Kalau kampus dianggap sebagai tempat berbahaya, kita menjadikan ilmu pengetahuan sebagai sumber ancaman dan disitulah kita akan mengalami kemunduran demokrasi,” kata Ali Wibisono, seorang dosen Program Pascasarjana Kajian Terorisme dan Keamanan Internasional Universitas Indonesia, kepada BeritaBenar, Kamis, 28 Juni 2018.

Dia menambahkan, segala macam ideologi boleh berekspresi di kampus seperti sosialis, kapitalis, komunis, sosialis, feminis, bahkan radikal.

Hal senada dikatakan Presiden Mahasiswa Universitas Gajah Mada (UGM), Obed Kresna Widyapratistha.

“Seharusnya dalam ruang lingkup akademik kita bebas untuk menyampaikan sesuatu, termasuk pendapat politik. Itu tidak boleh mengekang kebebasan akademik mahasiswa dalam beropini, berpikir kritis dan berorganisasi,” katanya saat dihubungi.

“Orang diikuti terus pasti tidak nyaman, mau mengadakan diskusi pasti khawatir intel akan menghubungi atau tekanan lain. Artinya pendapat yang muncul dalam diskusi pun homogen dan tidak beragam,” ujarnya.

Tetapi, dosen Universitas Tarumanegara, Roswita Oktavianti, menyatakan persetujuannya akan pengawasan terhadap para dosen pengajar.

“Karena radikalisme lebih cepat menyebar di kampus. Mahasiswa biasanya cenderung percaya begitu saja dan menelan mentah-mentah yang disampaikan dosen,” katanya.

Bulan BNPT merilis tujuh kampus negeri ternama yang dinilai terpapar paham radikal.

Kampus-kampus tersebut adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Diponegoro (Undip), Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Universitas Airlangga (Unair), dan Universitas Brawijaya (UB).

Peran kampus

Ketua Forum Rektor Indonesia, Dwia Aries Tina Pulubuhu, menjelaskan badan intelijen kampus bergerak di bawah wewenang Kemenristekdikti dengan sepengetahuan rektor di setiap universitas dan memaksimalkan peran mahasiswa.

“Metode program sedang disusun bersama,” ujarnya, menambahkan bahwa informasi adanya jaringan radikal di kampus selama ini didapatkan hanya dari media, “bukan dari BNPT sehingga kami butuh semacam intel-intel di kampus.”

Setiap kampus memiliki Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) sehingga bisa dioptimalkan perannya untuk mendeteksi apakah ada paham radikal atau tidak, tambahnya.

“Nanti mereka bisa melapor ke BNPT jika didapat ada mahasiswa atau civitas akademik terkait jaringan teror atau terpapar terorisme,” kata Dwia, yang juga Rektor Universitas Hasanuddin, Makassar itu.

“Kami memastikan tidak ada satupun kampus yang resisten terhadap program BNPT karena untuk melawan terorisme perlu strategi yang baik,”ujarnya.

Beri ruang

Meski setuju dengan pembentukan badan intelijen kampus, pakar pendidikan Arif Rahman, mengingatkan pemerintah untuk tetap memberikan ruang bagi mahasiswa dalam menyatakan pendapat dan kebebasan berekspresi.

“Mesti diingat Indonesia bangkit dulu juga karena gerakan mahasiswa. Jadi kalau ada isu terorisme, berikan mereka seminar tentang radikalisme, berikan mereka seminar politik agar bisa merespon dengan intelektual mereka. Selama perbincangan ilmiah, tidak apa-apa,” ujarnya.

Kemenristekdikti menindaklanjuti masukan dari pimpinan perguruan tinggi yaitu dengan menyusun pedoman untuk mencegah paham radikal di kampus dan membentuk satgas guna memantau gerakan yang ditengarai sebagai radikalisme.

“Kebebasan akademik jangan sampai mengancam eksistensi kedaulatan berbangsa dan bernegara,” kata Dirjen Pembelajaran dan Kemahasiswaan (Belmawa) Kemenristekdikti, Intan Ahmad dalam pernyataan tertulis.

Menristekdikti Mohamad Nasir menyatakan bahwa pemerintah tidak pernah berupaya membelenggu kebebasan mimbar akademik karena dosen dan mahasiswa bebas untuk mempelajari berbagai disiplin ilmu, teori, maupun aliran pemikiran.

“Namun dalam konteks berbangsa dan bernegara, Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila adalah harga mati serta tidak bisa ditawar lagi,” katanya dalam rilis itu.

Menurut data Kemenristekdikti, ada lebih dari 7.256.142 mahasiswa, 288.025 dosen, dan ratusan ribu tenaga kependidikan di seluruh perguruan tinggi di Indonesia.

Meskipun yang terpapar paham radikal di kampus sangat kecil, menurut Nasir, mereka akan dilakukan pembinaan dan diajak untuk kembali ke ideologi Pancasila.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.