Papua Dibangun Melalui Pendekatan Wilayah Adat

Victor Mambor
2016.06.02
Jayapura
160502_ID_Papua_1000.jpg Dua mobil melintasi jalan yang menghubungkan Tolikara dan Wamena di Papua, 20 April 2016.
Victor Mambor/BeritaBenar

Di tengah maraknya kampanye sebagian rakyat Papua menuntut referendum penentuan nasib penduduk di Bumi Cenderawasih itu, pemerintah pusat kembali mengukuhkan pendekatan pembangunan di wilayah paling timur Indonesia itu melalui potensi wilayah adat, dengan alokasi Rp160 triliun pada tahun ini.

“Ini pendekatan baru untuk membangun Papua secara komprehensif di bidang ekonomi dan infrastruktur,” ujar Leonard VH Tampubolon, Deputi Bidang Ekonomi Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), belum lama ini.

Strategi pembangunan terintegrasi melalui pendekatan wilayah adat itu dibenarkan Kepala Bappeda Provinsi Papua, Mohamad Musaad saat diwawancara BeritaBenar, Selasa, 31 Mei 2016.

“Kami menyebutnya setiap wilayah adat sebagai Kawasan Pembangunan Ekonomi. Ada lima wilayah adat di Papua yaitu Anim Ha, Lapago, Meepago, Mamta dan Saireri. Di Papua Barat ada dua yakni Domberai dan Bomberai,” jelasnya.

Pemerintah Pusat, tambahnya, mengakomodir model pembangunan Papua berbasis kultur atau wilayah adat sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan kedua provinsi itu dengan daerah lain. “Kajian yang disusun untuk strategi ini adalah kesepakatan Pemerintah Provinsi Papua dengan Bappenas,” ujar Musaad.

Berdasarkan pendekatan tersebut, maka pembangunan misalnya di wilayah Domberai yang meliputi Sorong, Raja Ampat, Manokwari dan Bintuni, akan difokuskan pada sektor perikanan dan hasil laut, minyak dan industri berbasis gas, serta pariwisata.

“Kalau di wilayah Lapago yang meliputi Kabupaten Jayawijaya dan pemekarannya, pembangunan difokuskan pada potensi kopi, buah merah, ubi jalar, pariwisata, pertanian babi dan hortikultura,” jelas Tampubolon.

Pemerintah telah menyusun perencanaan 17 proyek strategis infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat senilai 18 triliun lebih. Beberapa proyek infrastruktur seperti pembangunan dermaga, jalan dan pengembangan bandara di dua provinsi paling timur Indonesia itu sudah dikerjakan.

Rentan menyingkirkan masyarakat asli

Ngurah Suryawan, seorang dosen Antropologi di Universitas Negeri Papua, Manokwari, menyatakan bahwa program pembangunan yang hadir secara masif di Papua bisa menyingkirkan masyarakat asli atau adat di lokasi pembangunan secara pelan tapi pasti.

Menurutnya, pembangunan dan investasi yang masuk hingga ke kampung memerlukan tanah untuk gedung yang sering mengabaikan sejarah dan pengetahuan masyarakat lokal.

“Masyarakat asli punya ikatan sejarah dengan tanah, lingkungan, sosial budaya, serta berbagai nilai dan norma yang lahir dan hidup bersama mereka,” ujarnya kepada BeritaBenar.

“Pendekatan budaya atau wilayah adat seharusnya mempertimbangkan aspek relasi manusia dengan tanah, bukan hanya berbasis ekonomi politik saja. Populasi orang asli Papua di lokasi-lokasi pembangunan harus diketahui dengan pasti,” tambah Suryawan.

Mengenai hal itu, Mussad mengakui salah satu tantangan dalam pembangunan infrastruktur ialah pendataan penyebaran permukiman penduduk di Papua, terutama di wilayah pegunungan yang merupakan kawasan perlindungan terhadap orang asli Papua.

“Kami sedikit mengalami kesulitan untuk mendata orang asli Papua. Dulu melalui Sensus Penduduk 2010, pernah dilakukan itu. Tetapi pihak BPS (Biro Pusat Statistik)melakukan melalui pendekatan marga,” katanya.

Pakar politik dan militer Universitas Hasanuddin, Mulyadi mengatakan, pembangunan di Papua tak cukup fisik. Pemerintah, kata dia, seharusnya juga membangun pendekatan psikologi politik dalam menyelesaikan berbagai persoalan di Papua.

"Sekalipun pemerintah mengganti Koteka dengan emas, ancaman akan tetap ada kalau pendekatan pemerintah adalah Indonesia akui Papua bagian dari mereka, bukannya Papua akui Indonesia adalah mereka," ujarnya seperti dikutip dari CNNIndonesia.com.

Mulyadi menekankan, pendekatan kultural menjadi salah satu kunci agar nasionalisme bisa muncul dari warga Papua, dan persoalan psikologi politik dalam diri rakyat Papua seperti merasa dianaktirikan, disepelekan, dan tidak dihargai, dapat dihilangkan.

Masalah tanah

Sementara itu, Yan Piter Yarangga, Ketua Dewan Adat Papua menyatakan pembangunan infrastruktur memang dibutuhkan di Tanah Papua. Tapi dia mengingatkan konflik tanah yang masih terjadi dalam proses pembangunan di Papua harus diselesaikan lebih dulu.

Menurut dia, tanah sudah menjadi komoditas bagi masyarakat adat pemilik hak ulayat dan pemangku kepentingan pembangunan di Papua, baik sektor ekonomi maupun infrastruktur.

“Lalu terjadi pembiaran atas nama pembangunan. Akibatnya tanah bisa menjadi sentral konflik yang mengganggu stabilitas keamanan dan pembangunan,” katanya.

Dalam pandangan Yan Piter, sulit mewujudkan pembangunan ekonomi dan infrastruktur di Papua kalau masalah tanah belum diselesaikan sebab yang punya hak kepemilikannya adalah masyarakat atau komunitas pemilik wilayah adat.

Ia menyebutkan sebagai solusi, Dewan Adat sudah mengeluarkan rumusan manifesto hak-hak dasar masyarakat selaku pemilik ulayat yang menegaskan tanah tidak dapat diperjualbelikan atau diserahkan hak miliknya.

Dalam manifesto itu, tanah hanya boleh dipakai untuk perluasan pembangunan demi kepentingan kesejahteraan pemilik hak ulayat dan masyarakat umum.

“Jika benar strategi pembangunan akan berbasis wilayah adat, pemetaan tanah milik masyarakat adat harus menjadi prioritas agar tidak terjadi konflik di masa mendatang,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.

Komentar

Lorong
2021-02-11 21:56

Kenapa masalah papua tidak selesai