Indonesia, China sepakat danai pembengkakan biaya Rp18 triliun proyek kereta cepat

Pengamat menilai berlanjutnya pembiayaan oleh Indonesia terhadap pembengkakan biaya proyek ini sudah tidak rasional.
Dandy Koswaraputra dan Pizaro Gozali Idrus
2023.02.13
Jakarta
Indonesia, China sepakat danai pembengkakan biaya Rp18 triliun proyek kereta cepat Foto udara ini menunjukkan Kereta Cepat Indonesia-China bergerak di sepanjang jalur khusus di Tegalluar, Jawa Barat, pada 9 November 2022, menjelang inspeksi oleh Presiden Indonesia Joko Widodo dan mitranya dari China Xi Jinping.
[Timur Matahari/AFP]

Indonesia dan China menyepakati nilai pembengkakan biaya sebesar US$1,2 miliar (Rp18,3 triliun) untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung yang didanai Beijing dari sebelumnya $1.4 miliar, kata Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo pada Senin (13/2).

Kartika mengatakan saat ini pemerintah sedang menegosiasikan pinjaman kepada China Development Bank (CDB) untuk mendanai kelebihan biaya tersebut, dan kesepakatan diharapkan rampung dalam satu atau dua minggu.

Pemerintah Indonesia mendanai US$200 juta dari pembengkakan biaya tersebut melalui penyertaan modal, bertentangan dengan janji Presiden Joko “Jokowi” Widodo pada tahun 2015 yang melarang penggunaan dana negara untuk pembangunan proyek.

"Kemarin kami baru dari Beijing, China, di mana kita telah sepakat cost overrun yang disepakati oleh Indonesia dan China sehingga bisa cair segera ke PT KCIC (Kereta Cepat Indonesia-China)," ujar Kartika di hadapan anggota Komisi VI DPR yang disiarkan secara daring.

“Kita sepakat dengan angka cost overrun US$1.2 milyar. Jadi memang ada beberapa item yang ingin mereka lakukan kajian, seperti terkait pajak, biaya clearing frekuensi, dan lain-lain, tapi kita sudah sepakat angka,” ujarnya. 

Kepada BenarNews, Kartika mengatakan bahwa pengurangan jumlah pembengkakan disebabkan oleh antara lain “efisiensi di beberapa item biaya.”

Indonesia mengajukan pinjaman ke China Development Bank (CBD) sekitar US$550 juta, kata Kartika.

Kartika merinci porsi pinjaman total dari CDB adalah 75 persen dari nilai US$1,2 miliar yaitu sekitar US$ 900 juta, sementara porsi pembiayaan Indonesia 60 persen dari nilai tersebut, sementara sisanya 40 persen dari pihak China.

Indonesia dan China sebelumnya tidak sepakat dengan jumlah pembengkakan biaya, dan Beijing bersikeras bahwa kelebihan biaya harus kurang dari US$1 miliar.

Bulan Oktober lalu Jokowi mengatakan bahwa proyek itu sudah 88 persen selesai.

Rahadian Ratry, GM Corporate Secretary PT KCIC, mengatakan persiapan proyek tersebut berjalan sesuai rencana, dan diharapkan peluncurannya juga sesuai jadwal pada Juni atau Juli.

“Selain finalisasi konstruksi juga persiapan terkait tim operation-nya,” kata Rahadian kepada BenarNews.

KCIC atau juga dikenal sebagai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang merupakan bagian dari Belt and Road Initiative, program pemerintah China senilai US$1 triliun lebih untuk membiayai pembangunan infrastruktur di seluruh dunia - rencananya rampung pada 2019. 

Layanan kereta ini diklaim akan mampu melaju dengan kecepatan 350 kilometer per jam dan akan melayani sebanyak 68 perjalanan setiap hari serta berhenti di lima stasiun, dengan waktu tempuh antara 34-45 menit, dibanding 2,5 jam dengan kereta biasa.

Mulanya, proyek kereta cepat tidak akan menggunakan uang negara (APBN). Namun prakteknya berkata lain. Pada Oktober 2021, Jokowi memutuskan untuk mengizinkan penggunaan APBN untuk membiayai pembengkakan biaya.

Proyek kereta cepat ini sudah mengalami berbagai masalah sejak awal diluncurkan, dari mulai dampak terhadap lingkungan sampai kesalahan konstruksi.

Pada bulan Desember, dua pekerja asal China tewas dan setidaknya empat luka berat ketika rangkaian lokomotif kerja keluar jalur dalam pengerjaan proyek peletakan rel di Bandung Barat, Jawa Barat.

Berdasarkan data Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, proyek KCJB ini melibatkan 12 ribu pekerja, termasuk 2.000 warga negara China.

Menurut pemerintah, warga China dipekerjakan karena keahlian khusus yang tidak dimiliki warga lokal.

Sebelumnya, PT KCIC meminta agar konsesi pengoperasian diperpanjang menjadi 80 tahun, dari asalnya 50 tahun sesuai kesepakatan dengan pemerintah demi memaksimalkan pendapatan.

“Tidak rasional”

Peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Andri Perdana mengatakan berlanjutnya pembiayaan oleh Indonesia terhadap pembengkakan biaya proyek KCIC ini sudah tidak rasional.

Apabila, kata dia, pemerintah Indonesia dahulu mengetahui seberapa besar pembengkakan biaya ini dan konsesi yang harus diberikan oleh Indonesia pada akhirnya dengan nilai seperti sekarang, kita pasti akan mundur dari proyek ini.

“Namun karena kita sudah terlanjur menghabiskan banyak dana dan sumber daya untuk melanjutkan proyek ini, maka Indonesia tetap menurut untuk menyetujui pembengkakan biaya dan akhirnya kembali memberikan PMN (Penyertaan Modal Negara) dari anggaran kita, dan bahkan mempertimbangkan kebijakan yang bertolak belakang seperti meniadakan jurusan Argo Parahyangan,” ujar Andri kepada BenarNews.

Argo Parahyangan adalah layanan kereta regular dari Jakarta ke Bandung.

Menurut Andri pemerintah terus menambah kerugian karena tidak berani untuk menghentikan proyek yang tidak menguntungkan, atau tindakan yang disebut sunk cost fallacy.

Padahal, lanjut dia, jika kita sudah menghadapi pembengkakan biaya yang sudah sangat menyimpang dari awal janji ini, maka pilihan yang tepat adalah merelakan pengorbanan yang sudah terlanjur terealisasikan dan menghentikan proyek tersebut.

“Terlebih lagi, tendensi pemerintah Indonesia yang selalu memberikan bail-out berupa PMN ini memberikan moral hazard bagi pemangku proyek, yang mana mereka menjadi semakin tidak bertanggung jawab karena mengetahui bahwa jika pun terjadi cost overrun, maka pemerintah Indonesia pada akhirnya akan memberikan PMN.”

Pengajar Kebijakan Publik Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat kesepakatan pembengkakan biaya sebesar US$1,2 miliar masih sangat besar meski mengalami penurunan dari US$1.4 miliar.

“Sangat besar karena itu menggunakan APBN yang bisa membantu memperkuat daya beli masyarakat di tengah living cost yang meningkat di tengah pemulihan ekonomi. Apalagi kita belum tahu dampak resesi akan sedalam apa, jadi kita harus punya (dana) buffer dari APBN,” ujar Achmad kepada BenarNews.

Dalam perspektif kebijakan publik, jelas Achmad, ada opportunity cost yang sangat besar dari pembengkakan biaya kereta api cepat. Untuk itu, Kementerian Keuangan dan DPR harus hati-hati dalam menyetujui penggunaan dana negara untuk menutupi kelebihan biaya proyek kereta Indonesia-China ini.

Achmad mengatakan efektivitas kereta api cepat ke depannya juga dipertanyakan karena di satu sisi pemerintah di saat bersamaan menggalakkan mobil listrik. Artinya tujuan proyek kereta api cepat untuk mengurangi mobil pribadi belum tentu bisa terlaksana.

“Jadi nanti kereta api cepat malah bisa tidak ada penumpangannya karena orang lebih menggunakan mobil listrik. Jadi pemerintah bisa rugi dua kali. Harusnya pemerintah dari awal melakukan perencanaan yang matang.”

Nazarudin Latif di Jakarta berkontribusi pada laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.