Tim Investigasi Desak Pemerintah Hentikan Operasi di Nduga

Pemerintah disarankan menyelesaikan masalah Papua melalui dialog, seperti penuntasan konflik bersenjata di Aceh.
Arie Firdaus
2019.03.29
Jakarta
190329_ID_Papua_1000.jpg Polisi memblokade sekelompok pengunjuk rasa yang ingin membubarkan parade yang dilakukan oleh komunitas Papua di Surabaya, Jawa Timur, 1 Desember 2018.
AFP

Tim investigasi independen mendesak pemerintah meninjau ulang operasi perburuan kelompok bersenjata Organisasi Papua Merdeka (OPM) di Kabupaten Nduga, Papua, yang digelar setelah penembakan pekerja pembangunan jembatan pada awal Desember 2018.

Menurut anggota tim investigasi Theo Hasegem, operasi aparat keamanan TNI dan Polri hanya akan memakan korban lebih banyak jika tetap dilanjutkan, baik dari kalangan sipil maupun aparat keamanan.

"Kami menyimpulkan bahwa anggota militer yang dikirimkan ke Papua juga kesulitan di lapangan karena kondisi topografi wilayah setempat,” kata Theo dalam keterangan pers di Kantor Amnesty International Indonesia di Jakarta, Jumat, 29 Maret 2019.

“Kekurangpahaman itu mengakibatkan anggota TNI juga kesulitan mengejar kelompok Egianus Kogeya.”

Egianus merupakan pimpinan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) yang mengaku bertanggung jawab dalam penembakan 19 pekerja pembangunan jembatan.

Tim investigasi, tambahnya, mendesak pemerintah dan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) untuk melakukan evaluasi menyeluruh tentang penempatan aparat keamanan di Nduga.

Menurut Theo, pemerintah sebaiknya mengutamakan pendekatan dialog yang berbasis kemanusiaan dalam menyelesaikan masalah di Papua, layaknya penuntasan konflik di Aceh dengan difasilitasi pihak netral.

"Kita punya pengalaman bagus di Aceh. Jadi kenapa justru harus takut dialog?" ujarnya.

Konflik bersenjata 30 tahun di Aceh berakhir setelah pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) menandatangani perjanjian damai usai melakukan perundingan di Helsinki, Finlandia, 2005.

Perundingan damai itu dilakukan setelah Aceh diterjang tsunami pada 26 Desember 2004 yang menewaskan lebih dari 170.000 orang.

Sebelumnya, beberapa kali kesepakatan perdamaian antara pemerintah dan GAM gagal diimplementasikan di lapangan.

Anggota tim investigasi lain, Raga Kogeya, menilai pengerahan TNI hanya memperburuk situasi dan menekan psikologis warga Nduga.

"Mereka itu sudah traumatis. Mereka bahkan bilang, jika terus begini lebih baik menjadi imigran," katanya.

Pengungsi Nduga

Merujuk data tim investigasi, setidaknya puluhan ribu warga Nduga telah mengungsi ke sejumlah tempat, sejak operasi perburuan terhadap TPNPB diterapkan.

Di Distrik Mapenduma diperkirakan ada 4.276 jiwa. Adapula di Distrik Mugi sebanyak 4.369 jiwa, Distrik Jigi 5.056 jiwa, Distrik Yal 5.021 jiwa, Distrik Mbulmu Yalma 3.775 jiwa, Distrik Kagayem 4.238 jiwa, dan Distrik Nirkuri 2.982 jiwa, Distrik Inikgal 4.001 jiwa, Distrik Mbua 2.021 jiwa, dan Distrik Dal 1.704 jiwa.

"Kondisi tempat pengungsian juga memprihatinkan. Ada ibu-ibu melahirkan di hutan ketika dalam pengungsian. Mereka pun kesulitan mengakses pertolongan medis," tambah Raga.

Serupa pernyataan pendeta Esmon Walilo yang menyebutkan bahwa operasi keamanan telah membuat sekitar 60 gereja tak lagi difungsikan di Nduga lantaran warga berpindah ke pengungsian.

Mereka pun kini dikatakan kesulitan menjalankan peribadatan.

"Ini sebenarnya mudah saja. Tarik pasukan, nanti OPM akan diam sendiri. Menurut gereja begitu," kata Esmon.

"Di Papua itu dasarnya gereja. Kalau ada gereja, pembangunan aman. Karena gereja sudah ada di Papua sejak 1938, jauh sebelum Indonesia merdeka.”

Terkait rekomendasi tim investigasi, BeritaBenar sudah berusaha menghubungi Kepala Pusat Penerangan TNI Brigjen Sisriadi dan juru bicara kepresidenan Johan Budi. Tetapi, keduanya tidak menjawab panggilan.

Tanggapan Amnesty

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, menyatakan temuan tim investigasi itu menunjukkan bahwa pelanggaran hak asasi manusia (HAM) memang terjadi di Nduga sejak perburuan kelompok bersenjata dilakukan aparat keamanan.

"Menunjukkan bahwa banyak warga sipil tewas yang sebenarnya tak ada kaitan dengan politik. Pengungsi banyak anak-anak dan bagaimana mereka kesulitan menjalani hidup," terangnya.

Sepanjang delapan tahun terakhir, lanjut Usman, 95 orang ditemukan meninggal dunia akibat pembunuhan tidak sah di Papua.

Dari jumlah itu, hanya 28 orang yang berkaitan dengan tuntutan kemerdekaan.

"Jadi, temuan investigasi ini harus menjadi perhatian pemerintah. Banyak sekali alasan politik digunakan untuk mengerahkan senjata. Tapi banyak warga sipil menjadi korban, yang sebenarnya tidak ada kaitan dengan politik," ujarnya.

Serupa dengan tim investigasi, Usman pun meminta pemerintah meninjau ulang operasi keamanan di Nduga.

Menurutnya, pendekatan humanis berbasis HAM merupakan pilihan terbaik mengakhiri konflik di Papua.

"Ke depan, pendekatan keamanan harus menjadi pendekatan HAM. Pemerintah harus meninjau ulang operasi, terutama penggunaan senjata api," lanjut Usman.

"Pemerintah juga harus memastikan bahwa mereka yang merusak gereja dan rumah juga harus dimintakan pertanggungjawaban."

Sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada tahun 1969 yang menentukan bergabungnya Papua ke Indonesia, walaupun banyak yang mengecam karena menilai perwakilan Papua saat itu berada di bawah tekanan, Papua selalu diwarnai konflik hingga saat ini.

Konflik terjadi antara kelompok yang menginginkan Papua merdeka dengan aparat keamanan Indonesia.

Organisasi-organisasi perlindungan HAM mengatakan bahwa baik militer Indonesia maupun kelompok separatis, keduanya bertanggung jawab atas pelanggaran HAM di Bumi Cendrawasih itu.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.