Pengungsi Enggan Pulang, Sejumlah Turis Batal ke Bali
2017.10.03
Denpasar
Jauh-jauh Ketut Edi Saputra datang ke Pos Pengamatan Gunung Agung yang jaraknya lebih dari 50 km dari tempatnya mengungsi di Sanur, Denpasar.
Bersama tetangganya, Komang Suardika, ia ingin bertanya langsung pada petugas pengamatan di Desa Rendang, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem.
Mereka bertemu Devy Kamil Syahbana, Kepala Subbidang Mitigasi Gunungapi Wilayah Timur Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Minggu, 1 Oktober 2017.
“Dari mana kita tahu desa saya nanti tidak kena muntahan jika Gunung Agung meletus?” tanya Saputra.
“Sudah ada hitung-hitungannya. Kita menentukan peta kawasan rawan bencana bukan pakai nujum,” jawab Devy.
“Tapi, orangtua kami bilang, desa kami dulu penuh hujan abu saat Gunung Agung meletus,” Suardika menyahut.
Devy, doktor di bidang vulkanologi dan seismologi lulusan Royal Observatory of Belgium itu, menjelaskan bagaimana peta Kawasan Rawan Bencana (KRB) Gunung Agung dibuat yaitu berdasarkan letusan terakhir gunung tersebut pada 1963.
Ahli geologi membuat penelitian mengenai kandungan tanah di sekitar gunungapi tertinggi di Bali itu. Dari situ diperoleh data semburan Agung seperti lava, lahar, dan batuan dari erupsi tahun 1963 dan mencapai wilayah mana saja.
Hasil penelitian PVMBG dibuat Peta KRB oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Peta itulah yang kini menjadi acuan menentukan tiga tingkat KRB Gunung Agung – merah, merah muda, dan kuning.
KRB merah adalah wilayah paling dekat puncak gunung setinggi 3.124 meter di atas permukaan laut (mdpl). Menurut PVMBG, daerah ini paling rentan terkena lontaran batu pijar dan hujan batu lebat, yang berada pada radius 6 km dari puncak gunung sehingga harus dikosongkan sebagai bentuk mitigasi.
KRB merah muda, dengan radius 9 km, merupakan wilayah kedua yang rentan terkena dampak langsung letusan. Adapun KRB kuning, seluas 12 km, merupakan bagian terluar yang relatif lebih aman.
Kelebihan pengungsi
Sejak 22 September ketika status Gunung Agung menjadi ‘awas’, yang merupakan status paling rawan dalam tingkat aktivitas gunungapi sebelum erupsi, warga dari desa-desa di dalam KRB pun mengungsi, termasuk Saputra yang berasal dari Desa Menanga. Menurut Peta KRB, desa ini masuk wilayah kuning alias tidak terkena dampak langsung.
Jumlah pengungsi telah lebih dari 144.000 pada Jumat, 29 September 2017, dari 51 desa. Padahal, menurut Gubernur Bali I Made Mangku Pastika, warga yang harus mengungsi kurang dari separuhnya, sekitar 70.000 dari 28 desa.
Makanya, saat rapat koordinasi di Pos Komando Penanggulangan Bencana Gunung Agung di Tanah Ampo, Karangasem, Jumat pekan lalu, Pastika menyarankan warga dari luar yang masuk KRB agar pulang ke desanya.
“Tidak ada alasan bagi pengungsi dari desa aman untuk mengungsi. Harus dikembalikan ke desanya masing-masing,” kata Pastika kepada wartawan.
Anjuran itu disambut negatif sebagian pengungsi.
“Kalau memang dia berani, suruh saja Pastika tinggal di desa kami. Biar tahu bagaimana takutnya warga tinggal di sana,” kata Suardika.
Dia menambahkan, makin seringnya terjadi gempa di desanya menjadi penyebab warga mengungsi.
Devy menjawab ketakutan tersebut.
“Untuk saat ini, cara terbaik adalah percaya saja pada pemerintah. Ikuti saja apa yang disarankan,” katanya.
Dalam cuitan twitter kepala BNPB, Sutopo Purwo Nugroho pada Selasa malam, 3 Oktober 2017, mengatakan, "Sekitar 3.000 pengungsi telah kembali ke rumahnya. Pengungsi yang berasal dari 50 desa aman dari Gunung Agung boleh pulang ke rumahnya."
Sejumlah warga mengamati Gunung Agung dari Desa Rendang, Karangasem, Bali, 28 September 2017. (Anton Muhajir/BeritaBenar)
Pembatalan kunjungan
Status Gunung Agung juga mulai berdampak pada pariwisata di Bali.
Menurut Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali, Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati, jumlah turis ke Bali diperkirakan turun hingga 20 persen saat ini akibat status Gunung Agung.
“Paling banyak dari China karena memang saat ini mereka penyumbang turis terbanyak di Bali,” kata Tjok Ace, panggilan akrabnya. Namun, dia tidak merincikan detil angka karena belum ada.
Ia menambahkan, Oktober memang bukan waktu puncak (peak season) wisata di Bali. Keterisian kamar (okupansi) pada Oktober biasanya sekitar 65 persen.
“Turun 20 persen dari 65 persen. Jadi okupansi saat ini ya sekitar 45 persen,” lanjutnya.
Hingga kini belum ada satu pun negara yang mengeluarkan larangan bepergian (travel warning) terkait status Gunung Agung.
“Masih sebatas travel advisory, itu pun bukan ke Bali tapi agar tidak beraktivitas di sekitar Gunun Agung,” imbuhnya.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang Januari-Agustus tahun ini, turis asing ke Bali mencapai 4 juta orang, naik 25,4 persen dibandingkan periode sama tahun lalu yaitu 3,9 juta. Turis China merupakan yang terbanyak dengan 1,05 juta (58,69 persen) orang. Australia di urutan kedua dengan 743.860 turis.
Secara umum, menurut Tjok Ace, pariwisata di Bali masih stabil meskipun mulai terjadi beberapa pembatalan terutama di sektor meeting, incentive, convention, and exhibition (MICE).
“Untuk turis individu relatif masih stabil,” jelasnya.
Tjok Ace menambahkan pusat-pusat pariwisata seperti Nusa Dua, Sanur, dan Kuta jauh dari Gunung Agung. Karena itu tidak berpengaruh secara langsung. Lokasi paling terkena dampak adalah kawasan wisata Karangasem, terutama di Tulamben dan Amed yang terkenal dengan wisata menyelamnya yang kini seperti daerah mati.
Sejak Agung naik statusnya menjadi awas, semua aktivitas pariwisata berhenti total.
“Kami tak mau ambil risiko. Tulamben memang masuk wilayah merah, karena itu harus ditutup,” pungkas Tjok Ace.