‘Kapten Bram’, Penyeludup Manusia Divonis 6 Tahun Penjara

Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.03.16
Jakarta
170316_ID_Smuggle_620.jpg Abraham Louhenapessy alias ‘Kapten Bram’ mendengarkan putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, 16 Maret 2017.
AFP

Pengadilan Negeri Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur, Kamis, 16 Maret 2017, memvonis terdakwa kasus penyelundupan manusia, Abraham Louhenapessy alias Kapten Bram, dengan hukuman enam tahun penjara dan denda Rp500 juta.

Dalam sidang yang diketuai Hakim Hiras Sitanggang dan beranggotakan Hakim Rosihan Lutfi dan Hakim Abdi Rahmansyah, majelis hakim menyatakan, Abraham bersalah telah melanggar pasal yang didakwakan terhadapnya, yaitu Pasal 120 ayat 1 Undang Undang No. 6 tentang Keimigrasian tahun 2011 menyangkut penyelundupan manusia.

“Menjatuhkan hukuman enam tahun penjara karena terdakwa terbukti telah melakukan penyeludupan manusia,” kata Hiras saat membacakan amar putusan.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Alexander Sele mengatakan bahwa denda Rp500 juta dapat digantikan dengan enam bulan penjara bila terdakwa tak dapat membayarnya. Abraham juga diharuskan membayar biaya perkara sebesar Rp2.000 rupiah.

Menurut Alexander, alasan yang memberatkan Kapten Bram karena sebelumnya pernah melakukan pelanggaran hukum dan ditahan untuk kasus yang sama.

Bram pernah ditangkap Mei 2007 dan Oktober 2009 karena berusaha menyelundupkan 83 dan 225 imigran gelap ke Australia, tapi dibebaskan karena saat itu Indonesia belum punya undang-undang yang mempidanakan penyelundup manusia.

Indonesia baru dapat mempidanakan penyelundupan manusia setelah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian diundangkan pada 5 Mei 2011.

Proses persidangan akan berlanjut di tahap banding bila JPU atau terdakwa mengajukan banding atas vonis tersebut. Kedua pihak punya waktu seminggu untuk menyatakan sikapnya dan bila tidak ada upaya banding maka vonisnya dinyatakan final.

Vonis ini lebih ringan dari tuntutan JPU Kejaksaan Negeri Rote Ndao agar Bram dihukum sembilan tahun penjara dalam persidangan, 2 Maret 2017 lalu.

“Itu kewenangan hakim,” ujar Alexander melalui telepon kepada BeritaBenar.

“Kami dari JPU belum ada tanggapan, kami masih pikir-pikir dulu.”

Yesaya Dae Pani, kuasa hukum Abraham mengaku kliennya masih mempertimbangkan apakah akan mengajukan banding atau menerima vonis tersebut.

“Masih ada waktu tujuh hari untuk ajukan banding,” ujar Yesaya kepada BeritaBenar.

‘Seharusnya banding’

Muhammad Hafiz, salah satu ketua jaringan masyarakat sipil sukarela Suaka, beranggota individu dan organisasi yang bekerja bagi perlindungan hak-hak para pencari suaka dan pengungsi di Indonesia, mengatakan JPU seharusnya mengajukan banding.

“JPU harus yakin dengan tuntutannya, kecuali kasus ini dianggap tidak penting dan tidak dilihat perlunya membongkar lebih dalam jaringan penyelundupan manusia,” ujar Hafiz kepada BeritaBenar.

Vonis terhadap Abraham, yang dikenal sebagai pemain lama penyelundupan manusia dan terkait setidaknya dalam dua kasus pelayaran ilegal membawa para imigran gelap ke Australia, sama dengan hukuman terhadap Mansur, yang berperan sebagai perekrut anak buah kapal atas permintaan Kapten Bram.

Delapan terdakwa lain, termasuk seorang warga negara Sri Lanka yang jadi koordinator jaringan penyelundupan manusia bernama Vishvanathan Thinesh Kumar alias Kugan, sudah divonis.

Kugan dihukum lima tahun enam bulan dan denda Rp500 juta pada 25 Februari 2016. Terdakwa lain, Yohanis Humiang, juga sudah divonis lima tahun delapan bulan penjara pada 14 Januari 2016.

Menurut Hafiz, samanya vonis Abraham dan Mansur serta tidak terlalu bedanya dengan hukuman terdakwa lain, yang tak mempunyai peran besar dalam kasus penyelundupan manusia ini, tidak mengarah pada keadilan.

“Padahal Abraham terlibat aktif dalam jaringan,” ujar Hafiz, sementara terdakwa lain berperan sebagai anak buah kapal yang bukan aktor utama operasi penyelundupan manusia.

Hafiz mengatakan kalau hukuman untuk Abraham memang diringankan, seharusnya hal itu berbanding lurus dengan kerjasamanya untuk membantu aparat penegak hukum membongkar jaringan penyelundupan manusia.

“Bila Abraham dibilang sebagai pelaku utama, hukumannya terlalu rendah dan tidak beda jauh dengan kaki tangannya yang anak buah kapal,” ujar Hafiz.

Sidang terdakwa kasus penyelundupan manusia ke Selandia Baru ini berlangsung selama tujuh kali mulai 1 Februari 2016, setelah kasusnya didaftarkan di PN Rote Ndao pada 25 Januari 2016.

Dengan dihukumnya Abraham, Alexander mengatakan semua terdakwa yang ditahan dalam kasus ini sudah divonis, sementara ada seorang pelaku lagi masuk daftar pencarian orang yang bernama Suresh.

Abraham ditangkap polisi di sebuah perumahan di Kalideres, Jakarta Barat, pada 23 September 2016 setelah sebelumnya buron.

Menurut polisi, kasus ini berawal ketika Suresh dan jaringannya memberangkatkan 54 warga Sri Lanka, 10 warga Bangladesh dan seorang warga Myanmar pada Mei 2015 dari Tegal, Jawa Tengah.

Kumar menyediakan dana Rp1,6 miliar untuk membeli dua kapal motor yang digunakan untuk menyeberang ke Selandia Baru, tapi mereka dicegat petugas perbatasan dan angkatan laut Australia saat memasuki perairan negara Kangguru itu.

Kedua kapal ini lalu digiring kembali ke perairan Indonesia hingga akhirnya terdampar di Pulau Lanu, Kabupaten Rote Ndao, pada 31 Mei 2015.

Penggiringan kedua kapal tersebut sempat membuat hubungan Jakarta dan Canberra memanas setelah awak kapal mengaku dibayar angkatan laut Australia lebih dari 30 ribu dolar Amerika.

Pemerintah Australia yang saat itu dipimpin Perdana Menteri Tony Abbott tidak pernah membantah klaim pembayaran tersebut.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.