Mendorong Perempuan Lebih Banyak di Parlemen
2017.11.21
Jakarta

Pemerintah berkomitmen meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen, tetapi faktor budaya masih menjadi tantangan untuk memenuhi kuota 30 persen.
Menteri Dalam Negeri, Tjahjo Kumulo menyatakan, budaya patriarki yang masih kental di tengah masyarakat menjadi tantangan eksternal dalam upaya meningkatkan jumlah anggota legislatif perempuan.
“Kendala kultural yang cenderung patriarkis, perempuan (dianggap) lebih cocok sebagai tiyang wingking (pemain belakang) yang mengikuti laki-laki,” kata Tjahjo dalam seminar ‘Meningkatkan Representasi Politik Perempuan di Parlemen RI’ di Jakarta, Jumat pekan lalu.
“Stigma masyarakat bahwa politik adalah dunia laki-laki,” tambahnya.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi dari Indonesia (Perludem), Titi Anggraini menyatakan, dukungan partai politik pada calon perempuan baru sebatas membantu melengkapi syarat administrasi, yang kemudian dibiarkan bergerak sendiri.
“Jangankan memberi dukungan modal dan logistik kampanye, membekali pengetahuan dan ketrampilan berkampanye saja tidak dilakukan partai,” katanya kepada BeritaBenar, Selasa, 21 November 2017.
“Akibatnya kandidat perempuan berkampanye sekadar meniru calon lain yang belum tentu efektif. Kampanye tanpa strategi tentu saja sulit mendulang suara meski didukung dana yang cukup.”
Anggota DPR RI, Irma Suryani Chaniago, melihat keterwakilan perempuan sangat penting di parlemen, terutama saat pengambilan keputusan terkait isu-isu perempuan dan anak.
“Perempuan harus dijadikan mitra,” tutur legislator perempuan dari Partai Nasdem itu kepada BeritaBenar.
Dia mengakui bahwa keterwakilan perempuan di DPR RI tidak pernah memenuhi kuota 30 persen dari jumlah kursi seperti diamanatkan undang-undang.
Periode 2014-2019, anggota DPR perempuan berjumlah 97 orang atau 17,32 persen dari total 560 orang, turun dibanding periode 2009-2014 yang 100 orang atau 17,86 persen kuota kursi.
Angka itu jauh tertinggal dibandingkan Norwegia dan Selandia Baru yang perempuannya di parlemen mencapai 41 persen, sementara Amerika Serikat sebanyak 28 persen.
‘Budaya diskriminasi’
Tjahjo menyebutkan, pemerintah komit meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan di parlemen pada Pemilu 2019 untuk menyukseskan pembangunan nasional.
Caranya dengan meningkatkan kualitas dan kualifikasi perempuan dalam dunia politik, karena ada kesan rasa kurang percaya diri untuk bersaing dengan laki-laki, katanya.
Selain itu “sikap aktor politik laki-laki under estimate terhadap perempuan. Birokrasi perempuan yang didominasi laki-laki. Sikap media massa yang kurang advokatif akan potensi politik perempuan,” bebernya.
Kebijakan kuota 30 persen kursi perempuan yang sudah diberlakukan dalam dua Pemilu sebelumnya ternyata belum mampu mendorong secara signifikan keterwakilan mereka di parlemen.
“Minimnya keterwakilan perempuan tidak terlepas dari budaya-budaya diskrimitif yang masih berlangsung di masyarakat terhadap perempuan,” jelas Ketua Komisi Nasional Perempuan, Azriana saat diminta tanggapannya.
“Ada hambatan budaya patriarkinya, ada hambatan dalam keluarga. Misalnya anggapan perempuan tidak bisa dipercaya, perempuan tidak bisa tegas, tidak cepat mengambil kebijakan, itu masih ada.”
Faktor budaya, menurut pengamat politik Adi Prayitno, bukan satu-satunya penghalang sulitnya perempuan jadi anggota parlemen. Mahalnya ongkos politik dan kualitas calon juga sangat mempengaruhi.
“Daya saing politisi perempuan itu memang masih jauh di bawah daya saing politisi laki-laki,” ujar Adi, yang dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Jakarta Jakarta itu.
“Kisa cek sekarang, striker-striker di parpol nyaris tak ada perempuan, hampir semuanya laki-laki.”
Irma menyebut, pandangan sebagian besar masyarakat dalam politik belum sepenuhnya terbuka, terutama terkait keterlibatan perempuan.
“Masih ada ketakutan di pihak laki-laki untuk bersaing dengan perempuan. Mereka berpikir kalau kalah, mereka malu,” kata mantan aktivis buruh ini.
Irma mengakui tidak ada perlakuan diskriminasi bagi legislator perempuan di parlemen yang didominasi laki-laki, tetapi hal itu banyak terjadi di masyarakat dan partai politik.
“Partai politik masih melakukan diskriminasi walaupun tidak secara terang-terangan,” ujarnya.
Dia menyontohkan saat penempatan calon anggota legislatif pada Pemilu, jarang sekali perempuan ditempatkan pada posisi nomor urut 1.
“Partai politik memang tidak memiliki keseriusan mengorbit politisi-politisi perempuan sejak dini,” tambah Adi.
Direktur Eksekutif Voxpol Center Reseach and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago juga memandang partai politik cenderung merekrut perempuan sebatas agar tak digugurkan sebagai peserta pemilu.
“Partai politik terkesan memaksakan perempuan yang belum siap jadi wakil rakyat,” ujar Pangi.
Titi dari Perludem menambahkan bahwa calon perempuan juga tak menyiapkan strategi mengamankan perolehan suara, sehingga sangat mungkin “dicuri” oleh calon lain dalam proses penghitungan suara.
Makanya, Azriana menyarankan partai politik menciptakan mekanisme khusus untuk memastikan lebih banyak caleg perempuan bisa masuk parlemen.
Mendagri Tjahjo juga meminta partai politik proaktif mendorong agar kuota 30 persen kursi perempuan di parlemen bisa terpenuhi pada Pemilu 2019.
Parpol, menurut Adi, harus mempersiapkan kader perempuan secara matang sejak dini untuk dicalonkan dalam pemilu.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Susana Yambise mengaku bahwa pihaknya sedang menyiapkan rancangan agar jumlah perempuan yang lolos ke parlemen pada Pemilu 2019 lebih banyak.
“Grand design sengaja disiapkan sedini mungkin agar minat politik perempuan lebih siap menjadi calon legislatif pusat dan daerah,” katanya seperti dikutip dari CNN Indonesia.
Selain kebijakan, pemerintah juga perlu memberikan edukasi “supaya masyarakat dapat mengubah cara pandangannya terhadap perempuan,” kata Azriana.