Kewenangan Pembubaran Ormas Kini pada Lembaga Pemberi Izin

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan memprotes disahkannya Perppu itu karena “indikasi buruk atas semangat perlindungan kebebasan-kebebasan fundamental”.
Ismira Lutfia Tisnadibrata
2017.07.12
Jakarta
170712_ID_Perppu_1000.jpg Seorang aktivis Hizbut Tahir Indonesia (HTI) memegang spanduk bertuliskan “Khilafah” saat berlangsung unjuk rasa damai memprotes serangan Israel terhadap Palestina di Palu, Sulawesi Tengah, Juni 2014.
Keisyah Aprilia/BeritaBenar

Kewenangan membubarkan organisasi kemasyarakatan (ormas) dipegang pemerintah melalui lembaga yang mengeluarkan izin operasi atau yang menetapkan sebagai badan hukum. Sebelumnya, kewenangan ini dipegang lembaga yudikatif.

Ini adalah satu perubahan signifikan dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan (UU Ormas), yang diumumkan Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Wiranto, dalam jumpa pers di kantornya, Rabu, 12 Juli 2017.

Menurutnya, UU Ormas secara substantif dan prosedur hukum tak lagi memadai sebagai sarana untuk mencegah meluasnya ideologi yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, karena “tidak terwadahinya asas hukum administrasi contrario actus” bahwa lembaga yang mengeluarkan izin atau memberi pengesahan seharusnya punya wewenang untuk mencabut atau membatalkannya.

Perppu ini juga menghapus 18 ayat dalam UU Ormas yang mengatur proses pembubaran ormas mulai dari pemberian surat peringatan secara bertahap, pemberian surat larangan berkegiatan, hingga mengambil langkah hukum melalui pengadilan.

Wiranto mengimbau masyarakat tetap tenang dan menerima Perppu ini dengan pertimbangan jernih, bijak, dan matang karena aturan itu tak bermaksud untuk membatasi kebebasan ormas, bukan tindak kesewenang-wenangan tapi untuk merawat persatuan, kesatuan, dan ekisistensi bangsa.

“Perlu digarisbawahi bahwa Perppu ini tidak bermaksud untuk mendiskreditkan ormas Islam tapi ini diarahkan untuk kebaikan,” ujar Wiranto, “ini untuk keselamatan bangsa.”

Menurut data pemerintah, saat ini ada 344.039 ormas di Indonesia dalam berbagai bidang yang harusnya dibina untuk berkontribusi positif pada negara.

Namun, Wiranto mengatakan bahwa dalam kenyataannya saat ini masih terdapat kegiatan-kegiatan ormas yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945, yang tentu merupakan ancaman terhadap eksistensi bangsa dengan telah menimbulkan konflik di masyarakat.

Minta dicabut

Ormas yang terancam dibubarkan dengan terbitnya Perppu ini adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang aktivitasnya dianggap pemerintah bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945 karena berdakwah untuk mendirikan kekhalifahan Islam yang akan menggantikan sistem negara demokrasi yang dipraktikkan di Indonesia.

Lembaga advokasi hak asasi manusia, Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyatakan protes keras atas disahkannya Perppu tersebut karena itu menjadi “indikasi buruk atas semangat perlindungan kebebasan-kebebasan fundamental yang sebenarnya dapat dikelola secara dinamis menggunakan alat uji dan fungsi penegakan hukum.”

Koordinator KontraS, Yati Andriyani, dalam pernyataannya mengatakan pemerintah telah menafsirkan secara ambigu bahwa ada hak asasi manusia (HAM) yang dapat diderogasi, dalam “situasi genting yang mengancam kehidupan dan keberadaan negara”, sejauh itu dalam koridor Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR).

Dalam penjelasannya, Pemerintah menggunakan ICCPR sebagai salah satu rujukan bahwa situasi yang ada sekarang sudah tepat menggambarkan situasi genting sehingga Perppu layak dikeluarkan.

“Kami tidak melihat operasionalisasi dari situasi ‘kegentingan yang memaksa’ itu,” ujar Yati, sambil menambahkan tidak mampu untuk membedakan pembatasan hak dengan situasi kedaruratan.

Daniel Yusmic P. Foekh, dosen pada Fakultas Hukum Universitas Katholik Atma Jaya Jakarta, yang melakukan penelitian tentang Perppu, mengatakan situasi genting dan darurat adalah subyektivitas presiden bila mengacu pada keputusan Mahkamah Konstitusi No 13 Tahun 2009 yang menjadi referensi pemerintah untuk mengeluarkan Perppu Ormas ini.

Peraturan ini menguatkan kewenangan presiden untuk mengeluarkan Perppu namun melemahkan fungsi DPR sebagai pengawas.

“DPR hanya bisa menerima atau menolak Perppu itu tanpa bisa mengusulkan perubahan,” ujar Daniel kepada BeritaBenar.

Bila DPR menolak, Daniel mengatakan pemerintah dapat mengambil jalan lain dengan mengusulkan Rancangan UU yang substansinya sama dengan Perppu yang ditolak, untuk dibahas dan nantinya disahkan sebagai UU baru.

KontraS meminta Presiden Joko “Jokowi” Widodo untuk segera membatalkan Perppu dan DPR agar membahas dan menolak Perppu tersebut.

“Pemerintah harus bertanggung jawab atas segala kemungkinan ekses buruk yang mungkin saja terjadi karena lahirnya kebijakan jalan pintas melalui Perppu ini, termasuk memastikan bahwa Perppu ini tidak berdampak pada semakin mengentalnya polarisasi masyarakat di akar rumput,” ujar Yati.

Ketua Setara Institute, Hendardi, menilai bahwa langkah ini adalah jalan konstitusional bagi pemerintah untuk mengambil tindakan bila pemerintah melihat tidak ada dasar hukum yang dianggap memadai.

Dia menambahkan pembubaran ormas seperti HTI, yang menurutnya “dianggap telah mengusik kohesi sosial umat dan mengancam sendi-sendi bernegara”, dimungkinkan walau dengan syarat-syarat ketat dan harus dilakukan berdasarkan undang-undang, namun mekanismenya harus tetap melalui pertimbangan Mahkamah Agung dan tetap menyediakan mekanisme keberatan melalui badan peradilan.

“Karena dalam konstruksi negara hukum demokratis setiap kerja dan produk organ negara harus bisa divalidasi dan periksa oleh organ negara lain, sebagai manifestasi kontrol dan keseimbangan,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.