Organisasi Pers Kecam Tindakan Polisi Menarik Peredaran Majalah Lentera
2015.10.19
Jakarta
Kepolisian Resor Salatiga di Jawa Tengah mendapat kecaman setelah Jumat lalu memerintahkan penarikan dan pembakaran ratusan eksemplar majalah yang memuat laporan utama tentang kasus pembunuhan korban yang disangkakan sebagai simpatisan PKI tahun 1965.
Dewan Pers menilai selain melanggar kebebasan pers, tindakan polisi itu juga memberangus kebebasan akademik. Sementara Aliasi Jurnalis Independen mempertanyakan alasan penarikan yang berubah-ubah.
Majalah Lentera diterbitkan oleh mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga. Edisi itu mengemas laporan tersebut setelah menggelar investigasi jurnalistik dengan fokus tragedi berdarah ’65 di Salatiga.
Redaksi pers mahasiswa UKSW mengatakan, pihaknya diperintahkan menarik peredaran majalah berjumlah 500 eksemplar yang sudah diterbitkan pada tanggal 9 Oktober itu setelah mendapat tanggapan negatif dari walikota, kepolisian dan pihak militer.
Namun sebuah tim yang dibentuk Aliansi Jurnalis Independen di Semarang Jawa Tengah menyatakan liputan Lentera telah memenuhi kaidan-kaidah jurnalistik dan dapat dipertanggungjawabkan. AJI menganggap perintah polisi untuk menarik peredaran dan kemudian membakar majalah itu dianggap berlebihan.
“Jika ada pihak yang berkeberatan atas liputan Lembaga Pers Mahasiswa Lentera maka bisa dilakukan dialog dan diskusi. Kalau pun ada yang berkeberatan, ya sampaikan saja ralat dan hak jawab, bukan ditarik,” kata Ketua AJI Jawa Tengah, Mohammad Rofiuddin, kepada BeritaBenar, Senin.
Rofiuddin menambahkan tindakan menarik dan membakar majalah tidak mencerminkan situasi teknologi dewasa ini yang memungkinkan media menyebarkan liputan lewat jalur virtual.
Menyoal izin
Kepolisian Salatiga mengaku perintah untuk menarik dan membakar majalah dikeluarkan setelah pihaknya menerima keberatan sejumlah kalangan yang mempersoalkan isi edisi Lentera tentang kasus 1965 tersebut.
Anehnya, kata pihak redaksi Lentera, saat awak Lentera diinterogasi, polisi tidak secara langsung mempersoalkan isi liputan.
“Mereka menyoal izin peredaran majalah sampai pembayaran pajak iklan yang kebetulan kami muat,” kata Bima Satria Putra, Pemimpin Redaksi Lentera ketika dihubungi BeritaBenar lewat sambungan telepon.
Bima dan dua awak Lentera lain akhirnya memilih menerima perintah aparat untuk mengumpulkan majalah yang sudah terlanjur diedarkan itu.
Menurut Bima Rektorat UKSW malah turut mendukung penarikan majalah dengan alasan “mengembalikan situasi kondusif di kampus dan Salatiga”.
Iklan Majalah Lentera edisi 9 Oktober 2015 memuat sampul majalah dengan laporan utama investigasi tragedi 1965 di Salatiga dan gambar palu arit. (Dok. Majalah Lentera)
Belakangan perintah pembakaran diubah menjadi penarikan kembali majalah untuk diambil oleh manajemen kampus.
Tabu soal tragedi 1965
Kepada BeritaBenar Dewan Pers, yang juga menerima laporan terkait insiden pemberitaan Lentera, menganggap tindakan polisi itu bukan hanya terkait kebebasan pers.
“Ini bukan cuma soal kebebasan pers tapi juga penegakan kebebasan akademik. Ini liputan mahasiswa, dibuat di dalam institusi kampus yang menerapkan prinsip akademik,” kritik anggota Dewan Pers, Stanley Adiprasetyo.
Stanley menilai munculnya reaksi atas penerbitan Lentera tak lepas dari perdebatan terakhir seputar korban ’65. Sejalan dengan rekomendasi Komnas HAM sejak 2012, sejumlah kalangan mendesak pemerintah menyelesaikan kasus 1965 dengan permintaan maaf dan rekonsiliasi.
“Yang kita lihat sekarang justru konsolidasi sikap-sikap sebaliknya. Tiap kali muncul upaya menjernihkan tragedi ’65 malah selalu dicap munculnya kebangkitan PKI baru.”
Aparat keamanan ‘terdepan tolak rekonsiliasi’
Aparat keamanan, terutama TNI, BIN dan kemudian Polri, menurut Stanley kerap kali berada di barisan depan isu menolak rekonsiliasi dengan berbagai cara, termasuk menekan arus pemberitaan media terkait kasus ’65.
Sebelumnya, di sejumlah kota di Indonesia, pemutaran film Jagal dan Senyap karya sutradara Joshua Oppenheimer sempat mendapat tentangan karena dianggap menjelekkan nama sejumlah tokoh dan organisasi yang terlibat dalam pengganyangan massa yang dituding antek PKI.
Stanley memperkirakan arus penentangan dan pembredelan seperti terjadi pada kasus Lentera akan terjadi lagi bila pemerintahan Presiden Joko Widodo -- yang pada saat kampanye berjanji akan menuntaskan kasus-kasus HAM di masa lalu -- tetap tidak bersikap.
“Selama pemerintah Indonesia memilih untuk mendiamkan kasus ’65 dan menghindari penuntasannya. Padahal jelas salah satu mandat Presiden Jokowi adalah menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM berat termasuk penghilangan paksa dan kasus ‘65”.
Tetapi untuk sementara ini, rupanya tekanan terhadap pers mahasiswa untuk tak mempersoalkan lagi kasus 1965 cukup berhasil.
Dalam kasus Lentera, sang pimpinan redaksi Bima Putra Satria mengatakan tak lagi memikirkan untuk mengangkat tema ‘65.
“Sekarang yang penting cari aman saja dulu,” jawabnya.
Namun di sisi lain, pelarangan peredaran majalah kampus ini juga mendapat sorotan dari pers nasional dan mengundang minat lebih banyak pembaca.
Pada hari Senin versi digital edisi majalah itu sudah diedarkan oleh berbagai kalangan di internet dan banyak netizen yang mengunduh dan memberikan dukungan.