PLTU Investasi Cina Picu Keraguan Komitmen Indonesia akan Energi Bersih

PLN berargumen batu bara jauh lebih murah serta dengan sistem teknologi baru penggunaannya bisa ditekan hingga nyaris separuhnya.
Ronna Nirmala
2020.01.24
Jakarta
200124_ID_Coal_plant_1000.jpg Orang-orang memancing ikan sementara sebuah kapal tongkang yang memuat batubara melintas di pantai Banda Aceh, 19 Januari 2020.
AFP

Komitmen pemerintah Indonesia untuk mengembangkan pembangkit listrik dengan sumber energi ramah lingkungan dipertanyakan aktivis dan pakar lingkungan dengan diresmikannya pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) yang didanai Cina di provinsi Banten baru-baru ini.

PLTU Jawa 7 Unit 1 yang dibangun perusahaan listrik milik negara Tiongkok, China Shenhua Energy Company Limited (CSECL), di Serang resmi beroperasi secara komersial pada 16 Desember 2019, empat bulan lebih cepat dari target April 2020. Sementara, PLTU Jawa Unit 2 direncanakan mulai beroperasi pada 2021.

Dengan kapasitas 2x1.000 MegaWatt (MW), PLTU berbahan bakar batu bara ini diklaim sebagai PLTU terbesar di Indonesia. Dari dua unit tersebut, PLTU Jawa 7 diproyeksi membutuhkan 7 juta ton batu bara setiap tahunnya.

Besarnya kebutuhan batu bara tersebut dianggap berseberangan dengan target pemerintah untuk menjadikan energi terbarukan mencakup 23 persen dari bauran energi utama pada 2025 yang dimuat dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).

“Kalau kita lihat, program 35.000 MW itu hampir 80 persennya pakai batu bara. Ternyata komitmen Paris Agreement yang juga diteken Indonesia masih jauh dari harapan. Ini menjadi kritikan tersendiri,” kata Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan, kepada BenarNewas, Jumat (24/1/2020).

Ia mengacu pada program pembangunan pembangkit listrik dengan kapasitas total 35.000 MW yang dicanangkan President Joko Widodo pada periode pertama masa pemerintahannya.

“EBT [energi baru dan terbarukan] ini memang masih anak tiri, belum jadi prioritas,” kata Mamit.

Untuk memenuhi target RUEN, setiap tahun sejak 2020, kapasitas pembangkit listrik dengan energi terbarukan ditargetkan sebesar 4-5 GigaWatt (GW). Sementara, menurut laporan Indonesia Clean Energy Outlook 2020, sepanjang 2015-2019, kapasitas pembangkit energi terbarukan hanya bertambah 1,6 GW atau 11 persen dari total kapasitas terpasang sebesar 15,5 GW.

Begitu pula dengan realisasi investasinya. Sejak 2015, realisasi target investasi tahunan terus mengalami koreksi. Dari target investasi yang dipatok sebesar US$ 1,8 miliar pada 2019, yang tercapai hanya US$ 1,5 miliar.

Jika ditotal, kapasitas pembangkit listrik EBT pada tahun 2019 mencapai 10.843 MW dengan tambahan kapasitas 376 MW dari tahun 2018. Capaian tersebut mayoritasnya disokong oleh Pembangkit Listrik Panas Bumi di Lumut Balai (Sumatra Selatan) sebesar 55 MW, Sorik Marapi (Sumatra Utara) sebesar 42,3 MW, dan Muara Laboh (Sumatra Barat) 85 MW.

Sementara, PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) Persero memprediksi tambahan kapasitas pembangkit listrik tenaga batu bara (PLTU) pada tahun 2020 bisa mencapai 5.500 MW. Tambahan kapasitas itu turut dikontribusi dari produksi PLTU Jawa 7 Unit 1 sebesar 1.000 MW.

Wakil Presiden Humas PLN Dwi Suryo Abdullah mengakui bahwa investor sektor energi sampai saat ini masih lebih tertarik pada pembangkit listrik tenaga batu bara. Selain harga yang jauh lebih murah, jaminan balik modalnya juga lebih pasti.

“Kita bicara target pemenuhan listrik saja. Di Pulau Jawa ini pengguna listriknya besar, jangan sampai defisit lagi. Makanya, kita mengejar rencana pembangunan pembangkit listrik dengan mengikuti pertumbuhan ekonominya juga,” kata Dwi Suryo, kepada BenarNews, Jumat.

Demi interkoneksi

Kepala Biro Komunikasi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Agung Pribadi mengklaim kehadiran PLTU Jawa 7 Unit 1 memberi kontribusi yang cukup signifikan terhadap pasokan listrik di Jawa-Bali. Dengan begitu, sistem interkoneksi Jawa-Bali melalui jaringan Suralaya-Balaraja 500 kV akan lebih kuat.

“Jawa-Bali kita tahu pertumbuhan ekonominya cukup pesat. Dengan adanya tambahan pasokan listrik dari PLTU Jawa 7, pasokan industri akan lebih terjamin,” kata Agung lewat pesan singkat.

Proyek PLTU Jawa 7 Unit 1 dibangun dengan skema patungan antara CSECL dengan anak usaha PLN, PT Pembangkit Jawa Bali (PJB), pada 13 Januari 2016. Kedua perusahaan membentuk konsorsium dengan nama PT Shenhua Guohua Pembangkitan Jawa Bali (PT SGPJB).

CSECL merupakan salah satu perusahaan pelat merah asal Tiongkok yang bergerak dalam bidang pengembangan listrik. Dalam konsorsium ini, CSECL menguasai 70 persen saham, sisanya dimiliki PJB.

Nilai investasi yang digelontorkan dalam proyek ini mencapai US$ 1,8 miliar (setara dengan 24,43 triliun rupiah--asumsi kurs 14.000 rupiah per US$ 1), melalui pinjaman dari China Development Bank.

BenarNews sudah mengirimkan permintaan konfirmasi dari CSECL namun tak kunjung mendapatkan respons.

Wakil Hubungan Masyarakat PLN Dwi Suryo berargumen, penggunaan batu bara untuk produksi PLTU Jawa 7 Unit 1 akan jauh lebih hemat dari sistem konvensional karena menggunakan teknologi boiler ultra super critical (USC). Dengan teknologi tersebut, penggunaan batu bara diklaim bisa ditekan hingga nyaris separuh dari kebutuhan teknologi konvensional.

“Untuk PLTU Suralaya misalnya, itu masih pakai teknologi lama, kebutuhan batu baranya bisa mencapai 0,6 sampai 0,7 kilogram per kWh. Dengan USC, kebutuhan batu bara bisa di bawah 0,5 kilogram. Jadi meski masih pakai batu bara, kita tetap pertimbangkan sisi kuantitas penggunaannya,” kata Dwi Suryo.

Persoalan komitmen

Anggota Komisi VI DPR I Nyoman Parta menuding Kementerian ESDM tidak serius dalam mengembangkan pembangkit listrik dengan energi terbarukan. Padahal, menurut Nyoman, banyak investor yang tertarik mengembangkan energi panas bumi (geothermal) di Indonesia.

“Ini soal kebiasaan saja, ibaratnya biasa bangun jam 10.00 pagi, disuruh bangun jam 05.00, ya memang kalang kabut jadinya,” kata Nyoman seperti dikutip Bisnis Indonesia.

Dwi Suryo mengatakan komitmen untuk mengembangkan energi terbarukan akan tetap berjalan beriringan dengan pengembangan yang ada saat ini.

“Paling penting, untuk mendapatkan investasi kita tetap harus melihat peluang. Biaya pokok produksi EBT itu paling tinggi, belum lagi produksinya belum semaksimal batu bara. Misal untuk surya itu produksinya hanya bisa dipakai 2-3 jam sehari, sisanya tetap harus dipenuhi dengan baterai misalnya,” kata Dwi Suryo.

Laporan IESR menyebut, pada 2020, sejumlah investor bakal mencermati langkah pemerintah untuk memperbaiki iklim investasi energi terbarukan. Sebab pada dasarnya perubahan kebijakan dan regulasi yang menghambat perkembangan EBT selama tiga tahun terakhir ini sudah ditunggu oleh para pelaku usaha.

Laporan tersebut turut menyoroti, prospek pengembangan EBT pada tahun 2020 sangat bergantung pada komitmen politik dari Presiden.

“Pemerintah harus melihat bahwa 2020 adalah tahun untuk memulihkan kepercayaan investor dan tahun untuk memperkokoh fondasi transformasi energi yang berkelanjutan di Indonesia,” sebut laporan tersebut.

Akhir Desember 2019, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan pemerintah dalam waktu dekat bakal menggunakan skema feed in tariff (FiT) untuk formula harga yang baru. Arifin berencana, nantinya, skema pembelian harga beli dari pembangkit listrik EBT berdasarkan jenis energi.

Kebijakan tersebut bakal dituangkan dalam Peraturan Presiden yang saat ini masih diproses oleh Kementerian Sekretariat Negara.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.