Polda Papua dalami kematian perempuan yang dituding mata-mata oleh kelompok separatis
2023.08.30
Jakarta
Kepolisian Daerah Papua pada Rabu (30/8) menyatakan akan mendalami kematian perempuan yang diklaim kelompok separatis bersenjata sebagai mata-mata pemerintah, namun aparat keamanan mengatakan ia adalah seorang aktivis sosial.
Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB), sayap militer kelompok separatis Organisasi Papua Merdeka, mengklaim telah menembak mati Michelle Kurisi Ndoga di Desa Kimbim, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan pada Senin (28/8).
“Kami telah melakukan penyelidikan yang teliti untuk mengungkap kebenaran dari informasi ini," kata Juru Bicara Kepolisian Daerah (Polda) Papua, Komisaris Besar Ignatius Benny Ady Prabowo dalam keterangan tertulis diterima BenarNews.
“Kami mengajak seluruh masyarakat di Papua dan masyarakat luas untuk tidak terprovokasi propaganda oleh berita yang belum terbukti kebenarannya.”
Juru Bicara TPNPB Sebby Sambom mengaku bahwa Michelle dieksekusi oleh Batalyon Egisu Komando Daerah Pertahanan (Kodap) III Nduga Darakma setelah ditangkap dalam perjalanan menuju Kwijawagi guna mengumpulkan data pengungsi Nduga, di Provinsi Papua Pegunungan.
“Pembunuhan dilakukan setelah interogasi… Intelijen TPNPB mempunyai data dan mengikuti perjalanan Ibu Michelle,” kata Sebby kepada BenarNews, seraya menunjukkan sejumlah foto perempuan yang diduga Michelle yang berdiri bersebelahan dengan sejumlah pejabat polisi sebagai klaim bahwa dia mata-mata Jakarta.
Dalam foto-foto tersebut, perempuan itu tampak berdiri di sebelah mantan Kapolda Papua Boy Rafli Amar dan mantan Kepala Kepolisian Resor Manokwari Ajun Komisaris Besar Parasian Herman Gultom.
Sebby menambahkan pembunuhan terhadap Michelle ini sekaligus juga peringatan kepada warga asli Papua agar tidak menjadi mata-mata Jakarta.
“Kamu orang Papua menjadi mata-mata, akan kami bersihkan. Kami tidak akan pilih-pilih, laki-laki atau perempuan,” ujar Sambom.
Dikutip dari Okezone, Kepala Penerangan Komando Daerah Militer (Kapendam) XVII Cenderawasih Letnan Kolonel Infanteri Johanis Parinussa menambahkan, Michelle merupakan aktivis sosial yang mengurusi pengungsi dan bukan seorang mata-mata.
“Michelle Kurisi Ndoga murni masyarakat sipil yang ingin membantu para pengungsi di Nduga,” kata Johanis, sembari menambahkan bahwa militer Indonesia tidak pernah menggunakan orang asli Papua sebagai mata-mata.
Kepada BenarNews, sejumlah aktivis Papua mengaku pernah mendengar nama Michelle, tapi tidak mengetahui sepak terjangnya.
Aktivis hak asasi manusia Latifah Anum Siregar, misalnya, mengaku pernah mendengar nama Michelle saat rangkaian demonstrasi terjadi di Papua pada 2019, namun tidak pernah terlibat dalam aksi yang sama.
Begitu pula aktivis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay, yang mengatakan belum pernah bersinggungan secara langsung.
“Saya pernah mendengar nama dia, tapi tidak terlalu jelas kegiatannya. Tidak pernah berinteraksi langsung. Saya tidak tahu apa dia pro-Jakarta atau sebaliknya,” kata Emanuel.
BenarNews berusaha mengontak keluarga Michele namun belum berhasil hingga berita ini diturunkan.
Michelle menjadi orang ketiga yang meninggal dunia dalam sepekan terakhir di tangan kelompok separatis usai dituduh sebagai mata-mata oleh kelompok yang ingin merdeka dari Indonesia itu.
Pada Minggu (27/8), dua orang yang tengah menambang emas di Kampung Kawe, Kabupaten Pegunungan Bintang, Papua Pegunungan, dibunuh TPNPB dengan alasan mereka adalah aparat keamanan.
Sebuah lembaga hak asasi Human Rights Monitor yang berbasis di Jerman pada pertengahan bulan ini melaporkan sebanyak 19 aparat keamanan Indonesia dan delapan anggota kelompok separatis tewas dalam pertempuran bersenjata sepanjang 2022 di Papua.
Laporan itu juga menyebutkan jumlah warga sipil di Papua yang tewas meningkat dari tahun 2021 sebanyak 28 orang menjadi 43 pada 2022 akibat pertempuran antara pasukan keamanan Indonesia dan TPNPB.
Terkait angka kematian yang terus bertambah dari semua pihak, Emanuel mendesak Pemerintah Indonesia untuk segera membuka diskusi dengan kelompok separatis demi mencapai perdamaian.
“Harus ada ruang diskusi. Kalau tidak, korban akan terus berjatuhan,” pungkasnya.
Konflik antara TNI/Polri dan kelompok separatis bersenjata terus mewarnai Papua sejak pasukan Indonesia mengambil alih wilayah itu dari kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1963.
Pada tahun 1969, di bawah pengawasan PBB, Indonesia mengadakan referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua, yang hanya diwakili oleh sekitar 1.000 orang. Hasil dari Pepera itu menjadikan Papua bagian dari Republik Indonesia hingga saat ini.