Polisi klaim ungkap jaringan penyelundupan imigran Rohingya ke Aceh
2023.12.15
Jakarta
Kepolisian Daerah (Polda) Aceh pada Jumat (15/12) mengatakan pihaknya telah membongkar kasus penyelundupan imigran Rohingya, menyusul penangkapan 11 pengungsi yang diduga sebagai penyelundup manusia perahu tersebut.
“Penyelundupan warga Bangladesh atau Rohingya ini dikoordinasi oleh koordinator utama, yaitu petugas keamanan tempat pengungsian di Bangladesh, beserta kapten kapal,” kata kepala bidang hubungan masyarakat Polda Aceh Komisaris Besar Polisi Joko Krisdiyanto dalam keterangan tertulis.
Kepolisian Resor Kota (Polresta) Banda Aceh sehari sebelumnya mengumumkan bahwa polisi telah menangkap 11 orang yang diduga terlibat penyelundupan pengungsi Rohingya baik ke Indonesia maupun negara-negara lain.
"Sudah sebelas orang yang kita amankan. Mereka masih diperiksa penyidik, masih berstatus saksi," ujar kepala satuan reserse dan kriminal Polresta Banda Aceh, Komisaris Polisi Fadillah Aditya Pratama, Kamis (14/12) malam.
"Memang diduga kuat mereka adalah pelaku tindak pidana penyelundupan manusia," kata Fadillah.
Menurut Fadillah, penyelidikan berawal dari dua warga Rohingya yang sengaja memisahkan diri dari rombongan saat baru mendarat di Krueng Raya, Aceh Besar, kemarin.
Mereka, kata Fadillah, berada di pemukiman warga dan hendak mencari makanan dan minuman. Tak berselang lama keduanya pun diamankan.
"Dari situlah kita amankan, ternyata mereka membawa telepon genggam. Dalam telepon itu ditemukan sebuah rekaman video seperti transaksi (menyerahkan sejumlah uang)," ungkapnya.
"Kita gali kembali, kita dalami dan periksa saksi-saksi hingga keseluruhan yang diamankan berjumlah sebelas orang," ucapnya.
"Kita juga masih mendalami keterlibatan orang lokal dalam kasus ini. Dari keterangan saksi-saksi, memang diduga kuat ada pengendali dan penerima uang dari setiap orang yang ingin keluar dari Bangladesh dan menaiki kapal," jelasnya.
Fadillah menjelaskan bahwa sebelas orang Rohingya yang saat ini ditahan di markas Polresta Banda Aceh ini tak memegang kartu UNHCR – badan PBB untuk urusan pengungsi.
Joko mengatakan para pengungsi Rohingya membayar Rp3 juta hingga Rp15 juta untuk bisa diantar dengan perahu ke Indonesia.
Bahkan, salah seorang pengungsi mengaku membayar Rp50 juta hingga Rp66 juta per orang untuk menaiki kapal dari Bangladesh ke Indonesia.
Kemudian, kata Joko, setelah uang terkumpul, koordinator yang terdiri dari kapten kapal, nakhoda, dan operator mesin membeli kapal, bahan bakar, dan makanan untuk bekal selama pelayaran.
Setelah dipotong biaya operasional, tambahnya, keuntungannya dibagi untuk kapten kapal, nakhoda, operator mesin serta koordinator utama yang berada di pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh.
Joko mengatakan sebelum berangkat para pengungsi terlebih dahulu dicatat negara tujuannya, apakah ke Indonesia, Malaysia, atau Thailand.
“Kapalnya juga disesuaikan dengan negara tujuan. Namun, karena ketatnya penjagaan perairan Thailand dan Malaysia, mereka umumnya mengalihkan tujuan ke Indonesia,” kata Joko.
Ada orang Indonesia yang membantu mengeluarkan para imigran Rohingya dari kamp atau tempat penampungan di Aceh untuk kemudian pergi ke Malaysia, kata Joko.
Sejak 2017, lebih dari sejuta warga Rohingya meninggalkan rumah mereka ketika militer Myanmar melakukan pembantaian terhadap mereka.
PBB mengatakan tindakan militer itu "contoh nyata dari pembersihan etnis".
Pekan lalu, Presiden Joko “Jokowi” Widodo mengatakan pemerintah akan menindak tegas para pelaku perdagangan manusia yang terlibat dalam gelombang kedatangan pengungsi Rohingya.
Pernyataan Jokowi menyusul maraknya narasi yang menggambarkan pengungsi Rohingya secara negatif di media sosial sehingga memicu antipati masyarakat terhadap kelompok minoritas Muslim yang jadi korban persekusi di Myanmar.
Sebelumnya, Kementerian Luar Negeri mengatakan bahwa penyelundup dan penjahat pelaku perdagangan manusia telah memanfaatkan kebaikan hati rakyat Aceh dengan mengambil keuntungan finansial dari para pengungsi.
Joko dari Polda Aceh menyampaikan bahwa terhitung dari Oktober 2015 hingga pertengahan Desember tahun ini, polisi telah menangani 23 kasus terkait penyelundupan imigran Rohingya.
Dari 23 kasus yang ditangani tersebut, kata dia, polisi telah menetapkan 42 orang sebagai tersangka, sementara tiga orang masih buron. Para tersangka itu terdiri dari dua warga negara Bangladesh, 13 Rohingya, dan 27 orang Indonesia, kata Joko.
Para pelaku tersebut diduga terlibat penyelundupan manusia dan terancam hukuman maksimal 15 tahun penjara.
Kedepankan kemanusiaan
Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan di Aceh Azharul Husna mengatakan pemberitaan terkait penyelundupan bisa menambah stigma pengungsi.
“Kami khawatir pemberitaan yang ramai terkait penyelundupan ini dilegitimasi oleh para pihak untuk menolak Rohingya,” kata Husna kepada BenarNews.
Husna meminta masyarakat Aceh berhati-hati terhadap jaringan penyelundupan manusia. ”Karena di beberapa kasus itu masyarakat lokal jadi kaki tangannya.”
Pengamat Rohingya dari Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh, Teuku Zulkhairi, mengatakan semua pihak harus pertama-tama mengedepankan sisi kemanusiaan dalam isu Rohingya ini.
“Oke, mereka diselundupkan dan saya pun percaya bahwa mereka diselundupkan. Lalu di mana pihak-pihak terkait untuk memproses para penyelundup ini?” kata Teuku kepada BenarNews.
Teuku mengatakan semua pihak harus dapat memisahkan antara penyelundup dan para pengungsi Rohingya, yang kebanyakan adalah perempuan dan anak-anak.
“Jadi penyelundup kita harapkan agar bisa diberantas oleh pihak keamanan, oleh pihak-pihak terkait, harus diutus tuntas siapa penyelundup itu dan membawa mereka ke muka hukum,” kata Teuku.
Dia menambahkan bahwa sangat tidak etis dan tidak berperikemanusiaan kalau mereka dibuat terlunta-lunta.
“Mari kita lihat mereka dalam pandangan kemanusiaan, ada anak-anak di sana, ada perempuan-perempuan lemah, orang-orang tua,” tegas dia.
“Mereka mengungsi ke Bangladesh. Jangan mengira di Bangladesh mereka sudah hidup enak. Kalau sudah hidup enak di Bangladesh, pasti mereka tidak akan mau naik perahu.”
Uzair Thamrin di Banda Aceh berkontribusi pada laporan ini.