Polisi Tangkap Otak Pembunuhan 2 Aktivis Lingkungan di Sumut

Eksekutor disebut dijanjikan uang senilai Rp40 juta untuk menghabisi nyawa Maraden dan Martua.
Arie Firdaus
2019.11.08
Jakarta
191108_ID_Palm_Oil1_1000.jpg Dalam foto tertanggal 29 April 2016 ini, terlihat seorang pekerja memanen kelapa sawit di Desa Suka Dame di Deliserdang, Sumatra Utara.
AFP

Polisi telah menangkap seorang pria yang diduga otak pembunuhan Maraden Sianipar (55) dan Martua Parasian Siregar alias Sanjay (48), dua aktivis yang semasa hidupnya giat melakukan advokasi bagi warga di Kabupaten Labuhanbatu, Sumatra Utara (Sumut) dalam berhadapan dengan perusahaan sawit.

Terduga pelaku yang berada di belakang kematian keduanya adalah laki-laki usia 40 tahun berinisial WP yang diketahui terkait dengan perkebunan PT Sei Ali Berombang/Koperasi Serba Usaha (KSU) Amelia.

WP memerintahkan para eksekutor untuk menghabisi kedua korban "karena sering cekcok dengan para penggarap grup Maraden Sianipar," kata Kepala Kepolisian Daerah Sumut Inspektur Jenderal Agus Andrianto menjabarkan motif pembunuhan, dalam keterangan pers di Mapolda setempat, Jumat, 8 November 2019.

WP ditangkap aparat kepolisian di kediamannya di Kompleks Perumahaan CBD, Kelurahan Suka Damai, Kecamatan Medan Polonia, Medan, Sumut, Kamis sekitar pukul 14.00 WIB.

Sebelumnya polisi juga telah melakukan serangkaian penangkapan terhadap empat pelaku lapangan.

Dua orang ditangkap, Selasa dini hari lalu di Panai Hilir, Labuhanbatu, yaitu VS (49) dan SH (50).

Lalu, pada Rabu malam sekitar pukul 19.30 WIB, polisi menangkap DS (40) di rumah saudaranya di Desa Janji, Kecamatan Parlilitan, Kabupaten Humbang Hasundutan, disusul JK di rumah kos di jalan Jamin Ginting, Kabanjahe, tiga jam setelahnya.

"Para pelaku ini diancam hukuman mati atau penjara seumur hidup sesuai tindak pidana dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain, sebagaimana dimaksud Pasal 340 KUHP subsider 338 KUHP," lanjut Agus Andrianto.

Meski telah menangkap lima tersangka – termasuk otak pembunuhan, Agus menyebut masih ada tiga terduga pelaku lain yang kini masih buron, yaitu JS (20), RP (20), dan HS (38).

Juru bicara Kepolisian Daerah Sumut Komisaris Besar Tatan Dirsan Atmaja menambahkan, para pelaku bersedia menghabisi nyawa kedua korban setelah diiming-imingi uang Rp40 juta.

"Tersangka WP tidak mengakui, tapi itu tidak penting karena berdasarkan bukti dan pemeriksaan pelaku lain, ia yang menginstruksikan," kata Tatan saat dihubungi.

Kronologis pembunuhan

Selain sebagai aktivis lingkungan, kedua korban adalah juga jurnalis lepas yang banyak meliput isu perselisihan antara perusahaan minyak sawit dan warga di Panai Hilir, Labuhanbatu, demikian pernyataan Reporters Without Borders (RSF), awal minggu ini, yang menyerukan dituntaskannya kasus pembunuhan keduanya.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Sumut Komisaris Besar Andi Rian dalam jumpa pers itu menjelaskan bahwa konflik lahan berujung pembunuhan itu bermula setelah PT KSU Amelia mengelola lahan sawit di Desa Wonosari seluas 720 hektare pada 2005.

Setelah tiga tahun, lahan itu dieksekusi pemerintah karena termasuk kawasan hutan. Namun lantaran sudah terlanjur ditanami sawit, PT KSU Amelia merasa masih berhak atas lahan dan tetap mengelolanya.

"Lalu ada sekelompok masyarakat yang dikoordinir korban melakukan panen dan menanam di lahan sawit yang ditanam KSU Amelia. Inilah awal mula pembunuhan," kata Andi Rian, yang mengatakan sebelumnya tersangka WP juga telah pernah merencanakan pembunuhan untuk orang lain, namun gagal.

Barulah pada 29 Oktober 2019, aksi banal itu dilaksanakan ketika Maraden dan Martua yang semasa hidupnya kerap mendampingi masyarakat yang berselisih paham dengan perusahaan sawit, mendatangi perkebunan milik KSU Amelia dan ditemui lima pelaku.

"Ketika itu terjadi cekcok, berujung pembunuhan," pungkas Andi Rian.

Latar belakang kasus

Maraden dan Martua ditemukan tak bernyawa dengan luka benda tajam di sekujur tubuh di lahan sawit milik PT Sei Alih Berombang/KSU Amelia di Dusun VI Desa Wonosari, Panai Hilir, Labuhanbatu, pada akhir Oktober lalu.

Jasad Maraden ditemukan di parit yang membentang di belakang gudang kontainer perkebuhan pada 30 Oktober sekitar pukul 16.00 WIB.

Adapun jasad Maratua didapati di semak-semak berjarak 200 meter dari jasad Maraden pada keesokannya, sekitar pukul 10.30 WIB.

Terungkapnya pembunuhan ini berawal dari laporan rekan korban bernama Burhan Nasution ke polisi, sehari sebelumnya. Burhan yang meminjamkan sepeda motornya kepada korban merasa khawatir lantaran kedua korban tak kembali.

Setelah ditelusuri, kedua korban kemudian didapati dalam kondisi meninggal dunia.

Kematian Maraden dan Martua merupakan kasus terbaru yang menimpa pegiat lingkungan hidup di Sumut.

Pada awal bulan lalu, aktivis Walhi Golfrid Siregar juga meninggal dunia beberapa hari setelah ditemukan terkapar dalam kondisi kritis di sebuah jalan layang di Medan.

Meski sejumlah pegiat hak asasi manusia mencurigai kematian Golfrid terkait kegiatannya dalam menolak pembangunan pembangkit listrik Batang Toru yang dinilai berdampak buruk pada lingkungan, kepolisian belakangan berkesimpulan kasus itu murni karena kecelakaan lalu lintas tunggal.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.