Polri Siap Bantu Filipina Bebaskan WNI yang Disandera Abu Sayyaf

Angota DPR imbau pemerintah untuk tidak penuhi permintaan uang tebusan karena itu sama dengan memperkuat Abu Sayyaf.
Tia Asmara
2019.02.25
Jakarta
190225_ID_AbuSayyaf_1000.jpg Menteri Luar Negeri Retno Marsudi berjalan melalui para anak buah kapal berkewarga negaraan Indonesia yang bebas setelah sempat disandera oleh kelompok militan bersenjata Abu Sayyaf, dalam acara serah terima ke keluarga mereka di Jakarta, 2 Mei 2016.
AFP

Kepolisian Republik Indonesia (Polri) menyatakan siap membantu Filipina dalam upaya membebaskan dua warga negara Indonesia (WNI) yang disandera kelompok bersenjata Abu Sayyaf di selatan negara itu.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo mengatakan pihaknya telah menyiapkan personel terbaiknya untuk menyelamatkan kedua WNI tersebut.

Kedua WNI itu adalah Hariadin dan Heri Ardiasyah dari Sulawesi Tenggara, diculik dan disandera Abu Sayyaf saat mencari ikan di perairan Sandakan, Sabah, Malaysia, pada 5 Desember 2018.

"Kami sudah siapkan dari Densus, Brimob, Intel, Reskrim apabila nanti dibutuhkan oleh Kemlu (Kementerian Luar Negeri RI) untuk tugas diplomasi," ujarnya kepada BeritaBenar, Senin, 25 Februari 2019.

Tim tersebut, tambahnya, memiliki pengalaman, kompetensi dan mengetahui kondisi situasi yang ada di Filipina karena telah berperan dalam upaya pembebasan sandera sebelumnya.

"Ya. Selama ini Senior Liason Officer (SLO) dan pihak Kedutaan Besar RI (KBRI) di Filipina terus menjalin komunikasi dengan otoritas setempat," kata Dedi.

Dia menambahkan bahwa tim itu bukan diterjunkan ke lapangan untuk ikut berperang dan menyelamatkan sandera, tapi akan diperbantukan dalam hal negosiasi dan bekerja sama dengan pihak otoritas Filipina.

"Karena itu wilayah hukum dan kedaulatan negara lain yang harus dihargai dan dihormati, maka kami hanya membantu Kemlu dan Satgasnya dalam upaya negosiasi dan diplomasi," ujarnya.

Saat ini, kata dia, Polri menunggu keputusan dari Kemlu sebagai pihak terdepan dalam upaya penyelamatan.

"Sangat tergantung kebutuhan di lapangan dan tentu atas izin otoritas setempat karena kita menghormati kedaulatan negara lain," katanya.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir mengatakan terus berkordinasi dengan berbagai pihak untuk membebaskan para sandera.

"Kemlu terus berkomunikasi dan berkoordinasi dengan berbagai  pihak di Malaysia dan. Kami juga terus berbagi perkembangan kepada keluarga korban," katanya.

Kemlu mencatat penculikan terhadap Hariadin dan Heri Ardiasyah merupakan kasus kesebelas WNI yang diculik kelompok bersenjata di perairan Sabah.

Berdasarkan catatan pemerintah Indonesia, sejak 2016, sebanyak 36 WNI disandera di selatan Filipina. Sebanyak 34 di antaranya sudah bebas.

Strategi komprehensif

Anggota DPR Komisi 1, Sukamta mengatakan pemerintah harus lebih tegas dalam memperkuat strategi komprehensif yang sudah ada baik secara jangka pendek ataupun panjang karena penyanderaan berulang terjadi.

"Indonesia harus lebih gereget. Jangan sampai memenuhi permintaan penyandera berupa tebusan uang Rp10 miliar, karena ini sama saja memberi amunisi untuk mereka," katanya dalam pernyataan tertulis.

Ia menjelaskan pendekatan komprehensif jangka pendek yang bisa dilakukan antara lain dengan memperkuat operasi militer bersama secara reguler yang melibatkan tentara gabungan trilateral Indonesia-Filipina-Malaysia.

"TNI dan Polri memiliki pasukan elite yang mumpuni untuk membebaskan sandera. Ini yang kita berdayakan," ujarnya.

Selain itu, untuk jangka panjangnya, Indonesia juga harus perkuat kerjasama trilateral ketiga negara Indonesia - Malaysia dan Filipina tentang keamanan maritim.

"Perkuat second track diplomacy yang dilakukan lewat pemerintah dan juga parlemen antara tiga negara. Tujuannya kestabilan kawasan," katanya.

Sebagai sesama anggota ASEAN, menurutnya Indonesia perlu mendorong dan memberi masukan pada Pemerintah Filipina agar bisa menyelesaikan konflik dengan Abu Sayyaf yang sudah berkepanjangan.

"Mungkin keberhasilan Indonesia meredam konflik dengan GAM di Aceh bisa dijadikan benchmark," katanya.

Hal senada disampaikan anggota DPR Komisi 1, Syarif Hasan, yang menyatakan meskipun keselamatan menjadi hal yang utama, tapi soal permintaan tebusan tidak bisa ditawar lagi.

"Jangan menyerah soal tebusan, berulang karena mereka tujuannya memang tebusan, jika mau tidak berulang jangan berikan tebusan," katanya.

Dia menambahkan Indonesia juga perlu memperkuat perbatasan dengan kerjasama lintas negara.

"Pertukaran data informasi dengan Filipina dan kerjasama dengan komunitas setempat untuk perundingan harus dimaksimalkan," pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.