PP Ditandatangani, Korban Bom Masa Lalu akan Dapatkan Kompensasi

Untuk mendapatkan kompensasi, mereka harus mengajukan permohonan paling lambat 22 Juni 2021.
Tia Asmara
2020.07.21
Jakarta
200721_ID_Terror_1000.jpg Dalam foto tertanggal 25 Mei 2017 ini, Presiden Joko Widodo menjenguk seorang polisi yang terluka akibat bom bunuh diri di sebuah stasiun bus di Kampung Melayu, Jakarta, yang menewaskan tiga orang polisi lainnya.
Istana Kepresidenan RI via AFP

Korban bom masa lalu akan mendapatkan kompensasi dari pemerintah setelah Presiden Joko Widodo menandatangani peraturan pemerintah tentang pemberian kompensasi, restitusi, dan bantuan terhadap korban terorisme masa lalu, kata Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Selasa (21/7).

Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2020 tentang kompensasi ditandatangani oleh Jokowi pada tanggal 7 Juli ini, demikian Wakil Kepala LPSK Edwin Partogi.

Peraturan ini merupakan turunan PP Nomor 7 tahun 2018 yang sebelumnya tidak mengatur pembagian korban kompensasi di masa lalu yang diakibatkan dari tindak pidana terorisme yang terjadi sebelum PP tersebut dibentuk. Sebelumnya korban aksi teror yang terjadi sebelum 2018 tidak mendapatkan kompensasi. Adapun jika ada yang mendapat, itu bersifat ad hock.

“Korban tindak pidana terorisme masa lalu berhak mendapatkan kompensasi, bantuan medis atau rehabilitasi psikososial dan psikologis,” demikian bunyi pasal 44B dari PP 35/2020 yang salinannya didapatkan BenarNews.

Beberapa yang termasuk korban bom masa lalu diantaranya korban bom Bali I dan II, Bom Kampung Melayu, Bom Sibolga, Bom di Kedubes Australia, Bom JW Marriot dan lainnya.

Tenggat waktu 22 Juni 2021

Untuk mendapatkan kompensasi, korban terorisme harus mengajukan permohonan paling lambat 22 Juni 2021 atau tiga tahun sejak diterbitkannya UU No.5 tahun 2018 tentang tindak pidana terorisme.

“22 Juni permohonan terakhir. Jika lewat waktu dari tanggal tersebut maka dianggap tidak mengajukan dan hangus haknya,” ujar Edwin saat dihubungi BenarNews.

Edwin memperkirakan ada sekitar total 800 sampai 1000 korban masa lalu yang masih terkendala prosedur, 215 diantaranya merupakan korban yang sudah dilindungi LPSK dan mendapat bantuan kesehatan, psikososial, dan psikologis.

Selama 2017 hingga 2019, LPSK yang merupakan lembaga pemerintah yang langsung bertanggung jawab terhadap presiden, telah menyalurkan Rp4,3 miliar kepada 50 orang korban bom seperti korban bom Samarinda, korban bom Medan, korban bom Pekanbaru, Thamrin dan Kampung Melayu yang telah diputuskan melalui pengadilan.

“Untuk korban masa lalu belum banyak karena sebagian besar tidak terdata karena banyak dari mereka yang ingin melupakan kejadian tersebut, seperti peristiwa bom Bali sepanjang tidak di BAP maka dia tidak akan tercatat sebagai korban di proses penyidikan, polisi juga tidak ada kewajiban untuk mencatat korban,” ujar Edwin.

Selain itu, bukti rekam medis sudah tidak terdokumentasikan karena data dari rumah sakit hilang, tambah Edwin.

Surat penetapan korban tindak pidana terorisme masa lalu akan dinilai dan dikeluarkan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT)

Edwin mengatakan LPSK akan melakukan penilaian untuk menentukan derajat luka bagi pemenuhan hak kompensasi korban masa lalu.

“Ada skema luka ringan, luka berat, dan meninggal dunia. Kami akan melakukan koordinasi dengan Menteri Keuangan untuk mendapatkan persetujuan skema kompensasi. Setelah itu akan dilakukan pembayaran kompensasi,” ujar dia.

Pelaksanaan pemberian kompensasi akan dilakukan paling lama 30 hari terhitung sejak ditetapkannya keputusan oleh LPSK.

Martir negara

Menanggapi hal tersebut, pakar dari kelompok korban aksi terorisme, Aliansi Damai Indonesia (AIDA), Hasibullah Sastrawi, menyambut baik keputusan pemerintah untuk mengeluarkan PP 35/2020 karena korban ini merupakan martir negara yang tidak kenal dengan pelaku terorisme tapi kemudian tiba-tiba menjadi korban.

“Penanganan korban sangat penting karena menjadi indikator negara dalam menggambarkan counter terorisme, bagaimana tingkat keseriusan pemerintah terutama dalam hal terorisme yang berulang,” ujar dia.

Ia mengingatkan kalau ancaman terorisme itu akan selalu ada sehingga penting untuk membangun perdamaian antara korban dan luka psikologis yang dialami.

“Jangan sampai kekerasan dibalas dengan kekerasan. Kita memang harus terus mendorong pemerintah untuk memperbaiki management penanggulangan terorisme ini berjalan aktif sebagaimana penanganan terhadap korbannya,” ujar dia.

Ia menekankan korban persoalan utama untuk diperhatikan selain juga dalam hal pencegahan, misalnya dalam menjaga hak asasi manusia (HAM) dalam penindakan penanganan terorisme, image akan semakin baik apabila penanganan korban juga baik.

“Jangan sampai korban tidak mendapatkan haknya sebagai haknya,” ujarnya

Disambut baik

Ketua Yayasan Penyintas Indonesia (YPI), Cipto Wibowo, mengatakan penandatanganan PP ini menjadi angin segar bagi para korban yang selama ini sudah menanggung luka baik fisik maupun psikologis.

“Mungkin kompensasi terlihat material, namun kompensasi menjadi simbol keadilan negara terhadap korban yang puluhan tahun menanggung musibah,” ujar Cipto yang merupakan korban Bom Kedutaan Besar Australia 2004.

Selama belasan tahun, ujar dia, para korban telah melalui berbagai macam hal yang tidak terduga. Tak jarang, keadaan mereka sulit kembali untuk menjadi normal.

“Korban dalam hal ini berharap kompensasi terealisasi agar mereka setidaknya merasa diperhatikan. Proses mereka sebagai survivor itu sulit,” ujar dia.

Hal senada disampaikan, Keluarga korban Bom Bali I, Ni Luh Erniati. Sejak suaminya Gede Badrana menjadi salah satu dari 202 korban tewas dalam Bom Bali 1 pada 2002, ia harus berjuang untuk menghidupi anak-anaknya karena tak ada lagi yang membiayai anaknya sekolah pada saat itu.

Saat itu, Badrawan berprofesi sebagai kepala pelayan Sari Club, pub terpopuler di Kuta yang menjadi sasaran serangan teror bom oleh Jemaah Islamiyah.

Single parent itu sulit. Saya bersyukur itu peraturan bisa segera ditandatangani karena sudah kami tunggu-tunggu sejak lama. Setelah ini semoga bisa terealisasi untuk bisa mendapatkan kompensasi. Setidaknya ada perhatian dari pemerintah yang selama ini belum ada,” kata dia.

Korban bom kedubes Australia, Nanda Olivia Daniel menganggap kompensasi menjadi bonus dalam proses dirinya untuk sembuh dan bangkit.

“Saya sudah tidak mengharapkan apapun, tapi ternyata memiliki hak itu sangat bersyukur karena betapa dulu korban bom merasa sangat dirugikan baik material dan psikologis. Dari yang normal menjadi cacat, keadaan tidak bisa normal lagi.”

“Materinya hanya bonus tapi perhatian dari pemerintah yang sangat berarti bagi kami korban bom,” ujarnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.