‘Bekerja Untuk Perdamaian Adalah Tanggung Jawab’

Ika Inggas
2016.04.22
Washington DC
160422_ID_Firman-1000.jpg Zulfirman Rahyantel saat menerima Emerging Young Leaders Awards dari perwakilan Departemen Luar Negeri AS di Washington DC, 20 April 2016.
(Dok. Zulfirman Rahyantel)

Ketika memasuki kampusnya di Universitas Pattimura Ambon tahun 2011, ia terpacu berbuat sesuatu, ketika melihat segregasi antara penduduk Kristen dan Muslim masih kental terlihat, akibat konflik agama di Maluku yang pecah tahun 1999.

Dengan rekan-rekannya, ia menginisiasi berbagai kegiatan untuk membuka ruang dialog antar sesama. Sebuah usaha yang penuh tantangan, terutama di daerah pasca konflik yang telah menewaskan ribuan orang.

Namun usahanya tidak sia-sia, rasa persaudaraan itu kini mulai terajut dan atas penghargaan usahanya, pemerintah Amerika memilihnya sebagai salah satu dari 10 pemimpin muda harapan dunia tahun 2016.

“Penghargaan ini sebenarnya untuk semua anak muda yang telah bekerja, dan saya diberikan kesempatan oleh Tuhan lewat pemerintah Amerika untuk menerima (penghargaan) ini,” demikian kata Zulfirman Rahyantel, 23, kepada BeritaBenar mengenai penghargaan Emerging Young Leaders (EYL) yang diterimanya pada 20 April 2016 di Washington DC.

“Ini adalah amanah kepada saya untuk terus menginspirasi yang lain dan terus bekerja. Bekerja untuk perdamaian adalah tanggung jawab.”

Zulfirman Rahyantel bersama sembilan penerima penghargaan lainnya berfoto dengan perwakilan dari Departemen Luar Negeri AS, Washington DC, 20 April 2016 (Dok. Indolingua Interpreting)

Dari Kampus ke Komunitas

“Tahun 2011, saya masuk kampus, kampus itu dalam keadaan terbakar, terjadi demonstrasi anarkis, saya berpikir waktu itu bahwa kalau mau bangun perdamaian di Maluku maka saya harus membangunnya dari kampus,” kata pemuda Maluku dari keluarga Muslim ini kepada BeritaBenar di Washington DC, sehari setelah ia menerima penghargaan EYL.


 

 

 

Bersama rekan-rekannya, ia aktif sebagai volunteer di Inspiring Development (Indev) sebuah organisasi yang bekerja untuk dialog perdamaian yang diinisiasi oleh Julia Novrita, Muhammad Korebim dan Lusi Pelow, yang diakuinya sebagai para mentornya. Bekerjasama dengan lembaga pengabdian masyarakat Universitas Pattimura lalu terbentuklah komunitas Non Violence Study Circle. Para mahasiswa dan pemuda baik Muslim dan Kristen yang tadinya saling bersitegang, dirangkul dalam berbagai training manajemen konflik, yang menjadi cikal bakal konsep perdamaian ‘dari kampus ke komunitas’.

Salah satu kegiatan Non Violence Study Circle (Dok. Zulfirman Rahyantel)

Hilangkan prasangka

Menurut Firman, demikian ia biasa dipanggil, salah satu hal penting sebagai seorang peace maker adalah kemauan untuk meninggalkan prasangka. “Saya harus akui, bahwa meninggalkan prasangka itu harus butuh waktu panjang,” ujarnya.

Proses itu ia alami ketika ia berpartisipasi dalam Indonesia Interfaith Youth Pilgrimage dimana ia bersama sejumlah anak muda dari berbagai provinsi di Indonesia berkumpul untuk saling mempelajari agama dan berkunjung ke tempat ibadah masing-masing.

“Saya tinggal di keluarga Kristen di Salatiga. Kami berdiskusi dan berbicara dari hati ke hati. Dari situ persepsi saya terhadap Kristen mulai berubah dan saya mulai meyakini bahwa semua agama itu mengajarkan tentang kedamaian,” jelasnya mengenai pengalamannya berziarah ke Jawa Tengah dan Yogya sebagai bagian dari program itu.

Isu bersama

Dalam membangun perdamaian, ia dan rekan-rekannya juga melakukannya melalui aktivitas yang menjadi kepedulian bersama. Bersama masyarakat, mereka menggagas kegiatan “Save Ambon Bay for Marine Tourism.” Untuk para mahasiswa, mereka menggelar festival musik kampus.

(Dok. Zulfirman Rahyantel)

“Jadi yang kami ingin sampaikan adalah membangun perdamaian itu adalah melalui isu-isu bersama. Karena disitu kami ingin memberikan ruang-ruang pertemuan, membuka dialog antara masyarakat yang hidup dari segregasi ini. Karena semakin banyak mereka bertemu, semakin baik untuk menghilangkan prasangka antara sesama.”

English Club yang digelar kelompok ini misalnya, tidak cuma untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris semata. Namun juga untuk mempererat pesertanya yang terdiri dari Muslim dan Kristen. Caranya dengan tempat belajar yang selalu berpindah. “Hari ini di tempat teman Islam, besok di tempat orang Kristen, tujuannya cuman satu yaitu membangun trust,” papar Firman.

Kegiatan seperti ini berhasil. Indonesian Non Violence Study Circle kini ada di delapan kota pasca konflik, selain di Ambon, juga di Ternate, Poso, Banda Aceh, Kupang, Manokwari, Makassar, dan Majene.

Dari hedon, kafir hingga sulitnya mencari sukarelawan

Tentu saja, ia mengalami banyak tantangan. Ada yang menyebutnya penggagas hedonisme, karena sering menggelar festival musik, atau ada yang menganggapnya liberal atau kafir.

“Karena saya belajar agama, masuk ke luar tempat-tempat ibadah dan ada yang bilang ke saya kayak begitu (kafir). Tetapi bagi saya Islam itu sebagai rahmatan lil 'alamin, dan yang harus dilakukan adalah seperti itu,” katanya.

Namun yang menurutnya paling menantang adalah susahnya mendapatkan relawan. Budaya yang terbangun di generasi muda untuk berpikir pragmatis, mungkin menjadi penyebab juga, katanya. “Anak muda melakukan apa harus dapat duit.”

Jangan takut bermimpi

Firman yang lulus dari Fakultas Pertanian Universitas Pattimura, mengatakan tadinya ia ingin langsung melanjutkan S2 nya. Namun program yang diikutinya di Amerika ini yang membekalinya dengan berbagai keterampilan untuk diterapkan, membuatnya berpikiran lain.

“Penghargaan ini membuat saya merasa bahwa saya harus balik ke daerah dan mempersiapkan lagi anak muda Indonesia,” katanya.

“Minimal teman-teman dari desa. Saya ingin bertemu mereka, dan mengatakan bahwa bermimpi itu tidak bisa dibatasai oleh garis teritori, dan kalau ada mitos bahwa kita anak desa terus tidak bisa bermimpi besar, itu adalah salah,” kata pemuda kelahiran Kwaos, sebuah desa di Pulau Seram, yang memerlukan waktu satu-dua hari perjalanan dari Ambon dengan menggunakan jalan darat atau laut ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.