Bangladesh, Malaysia Melacak Upaya Rekrutmen Pemberontak Rohingya di Myanmar

Juru bicara Front Pembela Islam mengatakan setidaknya ada 10.000 anggotanya siap menjadi relawan untuk Rohingya.
Jesmin Papri
2017.09.19
Cox’s Bazar, Bangladesh
170918-BD-camp-1000.jpg Seorang anggota Penjaga Perbatasan Bangladesh berjaga-jaga dekat kamp penampungan sementara untuk pengungsi Rohingya di distrik Bandarban, Bangladesh, 12 Sep 2017.
Jesmin Papri/BeritaBenar

Pihak berwenang di Bangladesh mengatakan bahwa kelompok-kelompok militan di Malaysia dan Bangladesh merekrut pejuang-pejuang untuk bergabung dengan pemberontak di negara bagian Rakhine di Myanmar. Hal ini terjadi seiring meningkatnya kemarahan komunitas internasional akan kekerasan terhadap kelompok minoritas Muslim di Myanmar, yang menurut PBB sudah setara pembersihan etnis.

Kepala kepolisian Malaysia, Irjen. Pol. Mohamad Fuzi Harun mengatakan di Kuala Lumpur bahwa ada sekelompok warga Malaysia yang sudah “berada di Myanmar untuk perang melawan penindasan terhadap Rohingya di sana”.

“Pihak intelijen juga mendeteksi bahwa ada satu kelompok di Malaysia yang saat ini mencoba masuk Myanmar untuk bergabung di pertempuran tersebut. Lembaga kontraterorisme sedang menentukan berapa jumlah mereka di sana dan yang masih ada di sini,” ujar Harun kepada BeritaBenar, Senin, 18 September 2017.

“Jihadis-jihadis ini direkrut oleh mereka yang ada di Malaysia dan yang sudah ada di Rakhine. Kami meyakini bahwa mereka yang sudah ada di sana masuk melalui Bangladesh dan Thailand,” ujar Harun.

Pasukan anti terorisme polisi nasional Bangladesh belum lama ini melakukan pertemuan darurat untuk membahas cara mencegah pergerakan lintas batas yang dilakukan oleh anggota-anggota kelompok pemberontak Rohingya yang dikenal sebagai Tentara Pembebasan Rohingya Arakan (ARSA), ujar seorang pejabat di pasukan anti terorisme tersebut, yang berbicara kepada BeritaBenar dalam kondisi anonim.

“Anggota-anggota ARSA terus mencoba merekrut anggota baru dari warga Rohingya yang telah mengungsi lama di sini,” ujar pejabat tersebut, merujuk pada 400.000 pengungsi yang ditampung di bagian tenggara Bangladesh. Jumlah tersebut telah meningkat dua kali lipat sejak 25 Agustus, menurut data terakhir dari PBB.

“Kami mendapatkan informasi bahwa mereka telah merekrut 50 anggota,” ujarnya.

“Beberapa militan lokal mencoba memanas-manasi mereka. Tapi kebijakan pemerintah adalah tidak mendukung teroris. Beberapa anggota tim kami telah berada dan bekerja di Cox’s Bazar dan wilayah-wilayah sekitarnya,” ujarnya, merujuk pada kelompok ekstrimis Muslim Bangladesh.

‘Saya akan korbankan nyawa saya’

BeritaBenar juga berbincang dengan seorang pria Rohingya yang mengklaim sebagai anggota ARSA namun belum terjun bertempur dengan kelompok pemberontak tersebut. Dia meninggalkan Rakhine menyusul meningkatnya kekerasan di sana.

“Saya tidak mendapatkan senjata apapun. Saya bukan pemimpin senior al-Yaqin. Saya masih junior,” ujar pria 18 tahun yang mengaku bernama Abdus Shukur, dalam wawancara 14 September di sebuah tenda pengungsi di kecamatan Ukhia di Cox’s Bazar, wilayah tenggara Bangladesh. Dia menyebut ARSA dengan nama lamanya, yaitu Harakah al-Yaqin (“Faith Movement/Pergerakan Keyakinan).”

“Saya akan kembali lagi ke negara saya dan akan berjuang bila perlu. Saya akan korbankan jiwa saya untuk membebaskan tanah kelahiran saya,” ujar Shukur kepada BeritaBenar. Dia menambahkan bahwa dia melarikan diri dari serangan di rumahnya di wilayah Jhulaipara di kota Maungdaw, negara bagian Rakhine.

Sekitar 40 anggota al-Yaqin berasal dari wilayahnya dan kelompok tersebut melakukan perlawanan demi hak-hak kelompok Rohingya, yang tidak diakui sebagai warga negara di Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha, dan menurutnya dipaksa oleh orang-orang Mogh – sebutan untuk warga Buddha setempat - untuk membayar sewa atas tanah yang dimiliki kelompok Rohingya.

“Kami tidak bisa menetap di tanah kami sendiri. Kami tidak bisa kerja, bahkan kami tidak diijinkan untuk pergi dari satu desa ke desa lain. Apa yang Al-Yaqin lakukan adalah demi situasi yang lebih baik bagi kelompok Rohingya. Mereka yang terus berjuang agar kami bisa makan tiga kali dalam sehari,’ ujar Shukur.

Abdus Shukur difoto saat wawancara di kamp darurat pengungsi di Ukhia, Bangladesh, 14 Sep  2017. [Jesmin Papri/BeritaBenar]

Ribuan FPI ingin menjadi relawan

Sementara itu, juru bicara kelompok garis keras Indonesia Front Pembela Islam (FPI), Novel Bamukian, mengatakan kepada BeritaBenar bahwa ada “sekurang-kurangnya 10.000” anggota FPI yang telah menyatakan tekad akan membantu kelompok Rohingya dengan menjadi “relawan kemanusiaan”.

“FPI selalu serius dalam menolong sesama Muslim,”  ujar Novel, sekretaris jendral FPI Jakarta kepada BeritaBenar, sambil menambahkan bahwa beberapa anggota FPI tidak berhasil menembus wilayah Myanmar namun sudah berhasil mencapai Bangladesh.

Wawan Purwanto, juru bicara Badan Intelijen Nasional (BIN) mengatakan kepada Free Malaysia Today bahwa pihaknya tidak mempunyai informasi mengena adanya warga negara Indonesia yang bergabung ARSA, namun akan tetap memantau situasinya.

Ekstrimis dapat eksploitasi situasi: pejabat

ARSA mengklaim mereka melawan pasukan keamanan Myanmar dan milisi Buddha demi membela kelompok minoritas Muslim yang tanpa kewarganegaraan, dan populasi warga sipilnya yang menjadi target dalam pembunuhan, pembakaran desa-desa dan penyiksaan kejam oleh pasukan pemerintah dan milisi setempat, demikian laporan pandangan mata para pengungsi dan riset yang dilakukan oleh organisasi hak asasi manusia internasional.

Siklus kekerasan yang terakhir bermula pada 25 Agustus ketika pemberontak ARSA melancarkan sejumlah serangan terkoordinasi di pos-pos polisi Myanmar di Rakhine.

Otoritas Myanmar juga pernah menyalahkan kelompok tersebut, ketika masih dikenal dengan nama lamanya yaitu Harakah al-Yakin (HaY), atas sejumlah serangan ke pos-pos polisi di Rakhine pada Oktober 2016. Hal ini memicu pembalasan dari pihak militer yang mengakibatkan 87.000 orang Rohingya, menurut perkiraan PBB, melarikan diri ke wilayah selatan Bangladesh pada minggu-minggu berikutnya.

Lebih dari 800.000 pengungsi Rohingya, termasuk mereka yang sudah melarikan diri dari kekerasan yang terjadi sebelumnya di Myanmar, sekarang ditampung di wilayah selatan Bangladesh.

Menurut laporan yang dikeluarkan tahun lalu oleh lembaga kajian International Crisis Group, sebuah komite yang terdiri dari imigran Rohingya yang tinggal di Arab Saudi mengontrol HaY dan mempunyai dan memiliki sejumlah koneksi ke Bangladesh, Pakistan dan kemungkinan India.

Minggu lalu, kelompok teror global al-Qaeda mengumumkan bahwa militan mereka akan membantu Muslim Rohingya membela diri melawan kekerasan kepada kelompok mereka di Rakhine.

Namun pada 14 Sep, ARSA mengeluarkan pernyataan yang menyangkal bahwa mereka mempunyai hubungan dengan al-Qaeda, Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) atau organisasi-organisasi teroris lainnya, walaupun pemerintah Myanmar telah melabeli kelompok pemberontak itu sebagai “ekstremis teroris Bengali.”

Di Dhaka, kepala pasukan anti terorisme Bangladesh, Monirul Islam, memberikan peringatan di akhir pekan lalu bahwa pihaknya “menyadari adanya sejumlah oportunis yang mungkin akan” memanfaatkan krisis keamanan di selatan Bangladesh yang dipicu oleh kekerasan di Rakhine untuk “menghasut kegiatan anti-negara.”

“Kami telah meminta para pengungsi Rohingya untuk tetap berada dalam kamp. Ada kekhawatiran bahwa beberapa orang akan memanipulasi mereka dengan menawarkan bantuan dan menggunakan mereka dalam aktivitas militan,” ujar kepala polisi Bangladesh Irjen A.K.M.  Shahidul Haque dalam jumpa pers.

Sementara itu, setidaknya 20.000 anggota kelompok Muslim garis keras, Hefazat-e-Islami, yang terus melakukan protes kepada Myanmar akan gelombang kekerasan baru terhadap etnis Rohingya, turun ke jalan di ibukota Bangladesh untuk melampiaskan kemarahan mereka.

“Kami akan mengepung Kedutaan Besar Myanmar untuk mengirim pesan kepada pemerintah Myanmar bahwa kami tidak akan mentolerir genosida kepada saudara-saudara Muslim kami di Arakan [Rakhine],” ujar seorang peserta demonstrasi Maolana Saifuddin kepada Agence France-Presse.

Prapti Rahman di Dhaka, N. Nantha di Kuala Lumpur dan Tia Asmara di Jakarta turut berkontribusi dalam laporan ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.