Rencana Revisi PP Tentang Korban Salah Tangkap Disambut Hati-Hati

Arie Firdaus
2015.11.13
Jakarta
nurdinpriyanto-620 Pengamen Nurdin Priyanto, korban salah tangkap, memberikan kesaksian di Mahkamah Konstitusi, 29 Oktober 2014.
Dok. Mahkamah Konstitusi RI

Rencana  pemerintah untuk merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 27 Tahun 1983 tentang ganti rugi korban salah tangkap atau peradilan sesat disambut positif pakar dan praktisi hukum, namun dengan sejumlah catatan.

Ahli hukum dari Universitas Jember, Bayu Dwi Anggono menganggap rencana itu sebagai perbaikan perlindungan hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.

"Soalnya, revisi peraturan yang dianggap melanggar HAM dan melindungi masyarakat selama ini sering dinomorduakan. Kalah prioritas dari aturan terkait politik atau ekonomi," kata Bayu kepada BeritaBenar hari Jumat.

Salah satu poin yang ingin direvisi dalam PP No. 27/ 1983 adalah tentang besaran ganti rugi. Aturan menyebutkan bahwa korban salah tangkap atau peradilan sesat diberikan ganti rugi Rp5 ribu hingga maksimal Rp1 juta.

Sedangkan, jika korban menderita cacat atau meninggal dunia negara memberikan ganti rugi maksimal Rp3 juta.

Angka itu dinilai tak lagi sesuai dengan kondisi perekonomiaan saat ini. Sebab, besaran ganti rugi ditetapkan 32 tahun lalu di era Presiden Soeharto.

Namun Bayu tidak menyebutkan jumlah kompensasi yang menurutnya layak. Ia menyerahkannya kepada Panitia Antar Kementerian (PAK), yang memang bertugas menentukan nominal kompensasi.

"Yang layak dengan kondisi ekonomi saat ini. Biarkan Kementerian Keuangan yang menghitung," ujarnya lagi.

Ditanggapi hati-hati

Namun Bayu Dwi memberi catatan. Ia berharap revisi itu bisa mengubah batas waktu pencairan ganti rugi menjadi lebih cepat dan tak berbelit-belit. Selama ini, menurutnya, pencairan ganti rugi memakan waktu lama karena dana ganti rugi itu harus dialokasikan ke dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara di tahun selanjutnya.

Artinya, dibutuhkan waktu sekitar setahun agar korban salah tangkap atau peradilan sesat bisa menikmati ganti rugi dari negara.

"Itu kelemahan lain PP 27 yang juga harus direvisi," kata Bayu.

Adapun anggota Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Ichsan Zikrie, lebih berhati-hati menanggapi rencana revisi PP No.27/1983. Menurut Ichsan, jika pemerintah hanya berfokus soal peningkatan nominal ganti rugi semata, revisi tersebut hanya berupa perlindungan HAM setengah hati.

"Itu bukan jawaban efektif atas pelanggaran dan kelalaian yang dilakukan penegak hukum, khususnya kepolisian," kata Ichsan Zikrie.

Pemerintah, kata Ichsan, seharusnya bisa berpikir moderen dan maju dengan juga mencantumkan kompensasi untuk korban yang, jikapun dibuktikan bersalah oleh pengadilan, ia terbukti mendapat penyiksaan selama proses hukum berlangsung.

"Selama ini, kan, banyak yang disiksa di tahap penyidikan. Menurut kami, mereka seharusnya juga mendapat kompensasi. Terlepas nantinya diputus bersalah oleh pengadilan," ujarnya.

Menurutnya dengan adanya aturan itu, pelanggaran yang dilakukan para penegak hukum bisa ditekan, karena mereka akan lebih berhati-hati dalam memproses hukum seseorang.

Hukuman bagi penegak hukum

Bahkan jika diperlukan, Ichsan menambahkan, revisi aturan seharusnya juga memuat soal hukuman bagi para penegak hukum yang bersalah dan lalai. Salah satunya berupa ganti rugi kepada negara.

"Bisa dibebankan kepada orang-perorang atau institusi. Saya menilai itu layak dimasukkan. Masyarakat melawan hukum dihukum, kenapa penegak hukum yang melanggar hukum tak dihukum?" katanya.

Ichsan mencontohkan kasus Koko, seorang anak yang didakwa mencuri sebuah telepon selular di Cibinong, Jawa Barat. Kepolisian menyatakan Koko sebagai pencuri, namun persidangan menemukan bahwa Koko adalah korban salah tangkap sehingga divonis bebas.

Lembaga Bantuan Hukum lantas mengajukan gugatan perdata berupa ganti rugi sebesar Rp50 juta terhadap kepolisian, tapi ditolak majelis hakim.

"Nah, hal seperti itu seharusnya tak boleh lagi terjadi," Ichsan menambahkan.

Ada juga kasus yang menimpa Nurdin Priyanto, seorang pengamen warga Cipulir Kebayoran Baru yang merupakan korban salah tangkap sebanyak dua kali. Seperti dikutip dalam laman hukumonline.com, Nurdin sempat ditangkap dengan tuduhan membunuh dan kasus narkoba. Nurdin sempat dipaksa polisi dengan penyiksaan untuk mengakui kejahatan yang tak pernah dilakukannya itu.

Sementara itu kepada BeritaBenar Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Widodo Ekatjahjana, menyatakan pihaknya sedang mendengarkan berbagai saran dari sejumlah pakar hukum.

"Kami tengah membahasnya. Diharapkan, pada peringatan Hari HAM Internasional pada 10 Desember, perubahan PP itu sudah selesai dan diundangkan, sehingga menjadi momentum kesadaran bersama perlindungan HAM," tukasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.