Pemerintah Benarkan 2 Perempuan Indonesia Dihukum 15 Tahun Penjara di Irak

Pakar terorisme menilai wajar seseorang diadili di negara tempat dia melakukan kejahatan.
Tia Asmara
2019.06.27
Jakarta
190627_ID_ISIS_women_1000.jpg Perempuan Suriah dan anak-anak mereka yang diselamatkan dari cengkeraman ISIS berkumpul di luar kamp Al-Hol di Suriah, 3 Juni 2019, untuk dipulangkan oleh pemerintah Kurdi ke daerah asal mereka. Kamp tersebut dipenuhi oleh warga lebih dari 40 negara yang melarikan diri dari wilayah terakhir yang dikuasai ISIS sebelum kekalahan kelompok teroris itu.
AFP

Pemerintah membenarkan dua perempuan Indonesia dihukum 15 tahun penjara di Irak karena terlibat kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).

“Dubes Indonesia di Baghdad sudah diberikan penjelasan oleh Pemerintah Irak dan terinformasi akan adanya vonis ini,” kata pelaksana tugas juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, kepada BeritaBenar di Jakarta, Kamis, 27 Juni 2019.

Menurutnya, penjelasan tersebut berisi soal hasil peradilan di Irak.

“Komunikasi di negara Irak tidak mudah. Sejauh ini baru dua orang semoga mereka juga yang terakhir,” katanya tanpa menjelaskan berapa WNI yang menunggu persidangan.

Faizasyah mengonfirmasi pemberitaan bahwa ada warga negara Indonesia (WNI) yang berjenis kelamin perempuan menghadapi putusan pidana di Irak dan telah divonis 15 tahun penjara.

Namun, dia tak bersedia menjelaskan identitas kedua perempuan itu dan kapan mereka meninggalkan tanah air untuk bergabung dengan ISIS.

Faizasyah menjelaskan, karena ditangkap di Irak, maka yang bersangkutan menjalankan proses hukum di negara tersebut.

“Kalau terbukti bersalah maka menurut hukum di Irak, ya harus menjalani hukuman di sana,” katanya.

Dilansir kantor berita Associated Press (AP), Rabu, bahwa Mahkamah Agung Irak telah menghukum 15 tahun penjara terhadap seorang perempuan Indonesia karena bergabung ISIS.

AP juga tak menyebutkan identitas perempuan itu, namun ia diketahui menikah dengan anggota ISIS yang tewas dalam serangan udara tentara koalisi pimpinan Amerika Serikat.

Perempuan itu diketahui menyeberang ke Provinsi Nineva di Irak dari Suriah.

Sebelumnya, pengadilan Irak telah menjatuhkan hukuman mati terhadap belasan warga Perancis karena menjadi anggota ISIS.

Namun hingga kini hukuman tersebut belum dilaksanakan.

Irak setidaknya telah menahan atau memenjarakan sekitar 19.000 orang yang dituduh memiliki hubungan dengan ISIS atau terkait tindak teror lainnya.

Sekitar 3.000 orang di antaranya juga telah dijatuhi hukuman mati.

Kewenangan Irak

Pakar terorisme dari Universitas Indonesia, Stanislaus Riyanta, mengatakan pengadilan di tempat kejadian perkara merupakan hal wajar dalam kasus pidana.

“Tentu otoritas Irak dan Suriah punya kewenangan untuk melakukan proses hukum terhadap siapapun yang terlibat ISIS atau pelanggaran hukum di negara mereka,” katanya kepada BeritaBenar.

Menurutnya, pemerintah akan sulit melakukan pembelaaan bagi WNI yang terlibat ISIS karena ISIS merupakan organisasi terlarang di Indonesia dan kepergian mereka untuk bergabung dengan ISIS adalah ilegal.

“Pertimbangan lain jika pemerintah Indonesia mengambil dan melindungi WNI yang terlibat ISIS tersebut maka Indonesia akan berhadapan dengan negara-negara yang saat ini sedang memerangi terorisme,” katanya.

Ia menilai, terorisme adalah kejahatan luar biasa dan musuh internasional, sehingga proses hukum akan lebih memudahkan dan akan dimengerti oleh negara asal pelaku.

“Dalam hal kasus WNI ini, Indonesia akan lebih diuntungkan jika WNI yang bergabung dengan ISIS diproses hukum di Irak atau Suriah, tempat mereka beraksi, karena otoritas Irak dan Suriah tentu mempunyai bukti lebih kuat terhadap pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh WNI tersebut,” tambahnya.

Hal senada disampaikan pakar terorisme Rakyan Adibrata yang menilai kalau pemutusan perkara berdasarkan tempat kejadian perkara merupakan hak negara Irak.

“Itu sah saja dilakukan Irak karena konteksnya ditangkap di sana, karena locus di negara lain maka harus dihormati keputusan dalam negeri Irak,” katanya saat dihubungi.

Meski begitu, tambahnya, secara hukum pemerintah wajib memberi bantuan hukum terhadap setiap WNI yang terlibat masalah hukum di negara lain.

“Suka tidak suka, mau tidak mau harus, meskipun WNI-nya menolak mengakui status WNI,” ujar Rakyan yang juga peneliti International Association For Counter Terrorism and Security Professionals Center For Security Studies (IACSP).

Pemerintah dianjurkan bisa berdiskusi dengan negara tersebut untuk memberikan legal konseling.

“Kalau Turki kan lebih memilih deportasi. Kalau Irak lebih memilih untuk menjalani proses peradilan di sana, jadi diplomasi juga harus berjalan,” lanjutnya.

Rakyan mengatakan banyak perempuan di negara konflik karena mengikuti suami yang berperang di Irak dan Suriah.

“Di satu sisi lain Indonesia juga harus menjamin keamanan di dalam negeri. Proses rehabilitasi dan deradikalisasi tentunya masih menjadi pekerjaan rumah besar untuk menjamin mereka yang pulang ke masyarakat tanpa membahayakan lainnya,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.