Negatif, Hasil Tes Cepat COVID-19 Pengungsi Rohingya di Aceh
2020.06.26
Jakarta
Hasil tes cepat COVID-19 terhadap keseluruhan 99 orang pengungsi Rohingnya yang berangkat sekitar empat bulan lalu dari Cox Bazar, Bangladesh, sebelum kapal mereka kandas di dekat perairan dekat Aceh Utara dan diselamatkan nelayan setempat awal minggu ini, adalah negatif, demikian kata pejabat terkait, Jumat (26/6).
“Sudah kita lakukan rapid test sebanyak 99 orang, baru selesai pukul 23.00 tadi malam, semuanya hasilnya non-reactive, atau negatif COVID-19,” kata Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Utara, Amir Syarifuddin, dalam keterangan yang diterima BenarNews, Jumat.
Hasil pendataan terbaru yang dilakukan, jumlah keseluruhan pengungsi Rohingnya yang diselamatkan nelayan Aceh tersebut adalah 99 orang yang terdiri dari dari 48 perempuan, 34 anak-anak dan 17 laki-laki. Sebelumnya mereka disebut berjumlah 94 orang.
Hasil tes COVID-19 tersebut juga diungkapkan oleh Organisasi Migran Internasional (IOM) yang menyatakan pihaknya telah menerjunkan tim ke lokasi penampungan sementara pengungsi Rohingya di Lhokseumawe, Aceh, untuk memberikan bantuan obat-obatan.
Kepala Misi IOM Indonesia, Louis Hoffmann, menyatakan hasil uji deteksi cepat COVID-19 yang dilakukan pada Kamis malam, menunjukkan bahwa seluruh pengungsi dinyatakan negatif COVID-19.
“Ini adalah kabar baik, karena ada kekhawatiran masalah kesehatan para pengungsi dari masyarakat sekitar,” kata Hoffman.
Namun demikian Amir Syarifuddin mengatakan sebagian besar dari para pengungsi itu dalam kondisi yang lemah karena mengalami dehidrasi dan kekurangan makanan setelah berhari-hari berada di lautan.
“Meskipun begitu, tidak ada yang membutuhkan perawatan di rumah sakit. Mereka hanya dilakukan perawatan di lokasi penampungan sementara,” kata Amir.
Pihak Dinas Kesehatan Aceh Utara juga melakukan sterilisasi lokasi penampungan sementara di bekas kantor Imigrasi Lhokseumawe di kawasan Punteut, Kecamatan Blang Mangat itu.
“Kita tetap mengedepankan protokol kesehatan, tidak boleh sembarangan orang keluar masuk menemui pengungsi,” katanya.
Sebelumnya pemerintah Kabupaten Aceh Utara sempat tidak mengizinkan pengungsi Rohingnya tersebut dibawa ke daratan, setelah kapal yang membawa mereka mendekati sekitar 1 mil laut di perairan Syamtalira Bayu Aceh Utara. Bahkan pemerintah setempat menyiapkan opsi untuk mendorong kapal tersebut ke perairan Laut Internasional.
Namun warga berinsiatif mengevakuasi mereka dari kapal pada Kamis petang, dan sempat menampung mereka di kedai milik warga di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Pantai Lancok, Kecamatan Syamtalira Bayu. Baru pada Kamis malam, aparat membawa mereka untuk ditampung sementara di bekas kantor Imigrasi Kota Lhokseumawe.
Bupati Aceh Utara Muhammad Thaib mengatakan atas pertimbangan kemanusiaan, Pemerintah Kabupaten Aceh Utara akhirnya menyediakan tempat penampungan bagi mereka. ini sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 125 tahun 2016 Tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
“Kita sangat mengapresiasi atas penganganan cepat oleh pihak UNHCR, IOM dan juga kerjasama pihak TNI dan Polri, juga pihak Imigrasi, saat evakuasi dan pendataan pengungsi Rohingya,” ungkap Muhammad Thaib, dalam keterangan tertulisnya.
Kepada IOM, salah satu pengungsi Rohingya mengatakan mereka meninggalkan kamp pengungsi Balukhali, di Cox’s Bazar, Bangladesh, empat bulan dan 10 hari yang lalu.
“Kami berjalan kaki, melalui perbukitan menuju Shamlapur dan menaiki kapal kecil untuk selanjutnya pindah ke kapal besar. Kapten kapal besar itu orang Myanmar. Kami telah membayar U.S $2,300 (sekitar Rp32,8 juta) untuk bisa sampai ke Malaysia,” kata pengungsi tersebut, dikutip dari situs resmi IOM.
Kritisi ASEAN
Sementara itu, Human Rights Watch (HRW) mengkritisi sikap negara-negara ASEAN yang cenderung pasif dalam mengatasi krisis kemanusiaan pengungsi Rohingya.
“Para pemimpin ASEAN nyaris tidak melakukan apa-apa selama bertahun-tahun. Mereka harus menyusun ulang pendekatan penyelesaian krisis Rohingya,” kata Brad Adams, Direktur HRW Asia dalam pernyataannya, Jumat.
Isu krisis kemanusiaan yang dialami etnis Rohingya di Negara Bagian Rakhine, Myanmar, juga disinggung dalam pidato kepala negara ASEAN dalam KTT ke-36 yang berlansung secara virtual pada hari itu.
Namun dalam pernyataan akhir pemimpin ASEAN, isu Rohingya sama sekali tidak disinggung.
Perdana Menteri Malaysia, Muhyiddin Yassin, mengatakan di tengah kondisi pandemi COVID-19, Malaysia sudah tidak mungkin lagi menanggung beban terbesar dari krisis kemanusiaan berkepanjangan ini.
“Situasi ini tidak dapat berlanjut selamanya. Karena itu kami menyerukan Organisasi Pengungsi PBB (UNHCR) untuk bekerja sama dengan kami, ASEAN, mempercepat proses pemulangan kembali pengungsi Rohingya,” kata Yassin.
Apreasiasi pemerintah
Badan Pengungsi PBB, UNHCR, memuji langkah yang diambil masyarakat dan pemerintah Aceh dan Indonesia yang telah mengizinkan hampir 100 orang pengungsi Rohingnya tersebut ditampung sementara.
“Menyelamatkan nyawa harus selalu menjadi prioritas utama. Kami memuji pihak berwenang Indonesia untuk memungkinkan para wanita, anak-anak dan pria yang rentan ini untuk mencapai keselamatan,” kata Perwakilan UNHCR di Indonesia, Ann Maymann, dalam keterangan tertulisnya yang diterima BenarNews.
Menurutnya, Indonesia telah beberapa kali menjadi negara yang telah memberikan contoh kepada orang lain di kawasan Asia Tenggara, juga telah memberikan bantuan kemanusiaan dan menyelamatkan para manusia perahu Rohingnya pada 2015 dan 2018. “Kami bersyukur melihat semangat kemanusiaan yang sama hari ini," ujarnya.
Dampak dari pandemi COVID-19, beberapa negara dikawasan membatasi pergerakan lintas batasnya. Bahkan Malaysia menolak sementara menerima pengungsi dan warga asing yang masuk ke negaranya karena kekhawatiran tersebut.
“UNHCR siap mendukung Pemerintah Indonesia dalam menyediakan segala kebutuhan bantuan kemanusiaan dan tindakan karantina dalam beberapa hari mendatang, sejalan dengan standar internasional dan protokol kesehatan masyarakat,” ujar Ann.
Petugas bagian perlindungan UNHCR, Oktina, mengatakan dalam waktu dekat, pihaknya akan mendatangkan staf dari Kantor Jakarta untuk melakukan verifikasi dan pendataan ulang terhadap semua pengungsi tersebut.
“Setelah tim tersebut datang kami akan melakukan pendataan dan verifikasi asal usul mereka. yang terpenting saat ini bantuan untuk menjaga kesehatan mereka terlebih dahulu,” katanya saat dihubungi BenarNews.
Menurut Oktina, hanya ada tiga opsi penanganan jangka panjang bagi pengungsi lintas batas negara seperti mereka. Pertama adalah memulangkan mereka ke negara asal jika mereka mau, dilakukan integrasi lokal di negara penampung, atau dipindahkan ke negara tujuan.
“Semua itu harus dipelajari secara detail dengan cara melakukan pendataan dan verifikasi mendalam,” ujarnya.
Tempat yang layak
Kondisi bekas kantor Imigrasi Kota Lhokseumawe disebut tidak layak untuk dijadikan tempat penampungan pengungsi, menurut Kepala Kantor Imigrasi Lhokseumawe, Fauzi.
“Gedung itu sudah lama tidak digunakan, atapnya banyak yang bocor dan tidak ada sarana MCK yang tersedia, karena itu harus dicarikan tempat lain yang lebih baik,” katanya saat dihubungi.
Komandan Korem 011/Lilawangsa Kolonel Sumirating Baskoro, mengatakan, perlu dicarikan solusi lain agar pengungsi itu mendapatkan fasilitas penampungan yang lebih layak.
“Untuk itu kami mengajak para pihak, terutama UNHCR, untuk segera mencari solusi agar lokasi penampungan yang layak bagi etnis Rohingya ini dapat segera terwujud,” ujarnya.