Golkar Cabut Dukungan atas RUU ‘Ketahanan Keluarga’ yang Kontroversial

DPR membuka kemungkinan menghentikan pembahasan rancangan aturan ini jika fraksi-fraksi tidak setuju.
Arie Firdaus
2020.02.20
Jakarta
200220_ID_wife_1000.JPG Seorang perempuan menggendong bayinya di rumahnya di Lombok, 9 Oktober 2019.
Reuters

Partai Golkar menyatakan telah mencabut dukungan atas rencana undang-undang yang disebut sebagai “ketahanan keluarga” menyusul banyaknya kritik dari pegiat hak perempuan dan masyarakat umum terhadap isi draf yang beredar.

Beleid tersebut dianggap mendomestikasi perempuan karena mengatur pembagian tugas suami istri secara tradisional, serta mencampuri ranah privat termasuk memuat pelarangan aktivitas seksual yang dianggap menyimpang dan kewajiban homoseksual untuk melapor dan menjalani rehabilitasi.

Ketua Kelompok Fraksi Badan Legislasi Partai Golkar Nuruf Arifin mengaku kecolongan saat salah seorang anggotanya yakni Endang Maria Astuti terlibat dalam pengusulan aturan tersebut.

Menurutnya, Endang tidak pernah berkonsultasi dengan partai terkait rancangan undang-undang.

"Kami menarik dukungan terhadap RUU (Rancangan Undang-Undang) “Ketahanan Keluarga” ini. Tidak seharusnya urusan domestik, cara mengurus dan mengasuh anak diintervensi negara," kata Nurul dalam keterangan tertulis.

Langgengkan ketidakadilan gender

Media sosial telah diramaikan oleh perbincangan tentang RUU tersebut pekan ini menyusul bocornya draf ruu itu ke publik.

Pegiat hak perempuan dan gender mengatakan beberapa pasal dalam draf ruu itu tidak berpihak pada perempuan dan minoritas seksual.

Pasal 87 dari RUU itu mengatakan “orang dewasa yang mengalami penyimpangan seksual wajib melaporkan diri kepada badan yang menangani ‘ketahanan keluarga’ atau lembaga rehabilitasi untuk mendapatkan pengobatan dan/atau perawatan.”

Sementara pasal 86 mewajibkan keluarga melaporkan anggotanya yang mempunyai “penyimpangan seksual” kepada badan yang sama atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah untuk mendapatkan “pengobatan dan/atau perawatan.”

"RUU itu melanggengkan bentuk ketidakadilan gender karena menyubordinasikan peran perempuan dalam keluarga," kata Komisioner Sub Komisi Pemantauan Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan, Siti Aminah Tardi, kepada BenarNews, Kamis (20/2/2020).

Sejumlah pasal yang memuat ketidakadilan, terang Siti Aminah Tardi, antara lain tergambar di Pasal 25 yang menyatakan bahwa sebagai kepala keluarga, seorang suami bertanggung jawab menjaga keutuhan keluarga dan melakukan musyawarah dengan seluruh anggota keluarga untuk menuntaskan permasalahan keluarga.

Adapun istri, diwajibkan mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya, menjaga keutuhan keluarga, memperlakukan suami dan anak secara baik, serta memenuhi hak suami dan anak sesuai norma agama dan sosial.

"Pembakuan tugas itu secara tidak langsung akan menyatakan bahwa jika terjadi perceraian, istri lah yang tidak sanggup menjaga keutuhan keluarga. Kalau terjadi KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), maka istri juga diminta mengedepankan keutuhan keluarga," lanjut Siti Aminah Tardi.

Hal sama diutarakan aktivis perempuan Tunggal Pawestri di laman Tirto.id yang menyebut keberadaan undang-undang itu nantinya hanya akan memperkuat pembakuan peran yang berujung pada domestikasi perempuan.

Padahal menurutnya, ihwal semacam itu telah dilarang seiring terbitnya Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional. Serta, bertentangan dengan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) yang sudah diratifikasi Indonesia lebih dari 35 tahun lalu.

Dilanjutkan Tunggal, otoritas Indonesia semestinya berfokus kepada aturan yang membahas tentang kekerasan dalam rumah tangga atau kematian ibu akibat pernikahan dan kehamilan usia dini ketimbang mengurusi ihwal semacam ini.

"Yang diurus seharusnya masalah kekerasan, tapi kok dalam pasal-pasal (RUU “Ketahanan Keluarga”) malah enggak diatur sama sekali," pungkasnya.

"Ini kan akar persoalan apa, jawabannya enggak nyambung."

RUU “Ketahanan Keluarga” diusulkan lima anggota parlemen yakni Ledia Hanifa dan Netty Prasetiyani dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sodiq Mujahid dari Partai Gerindra, Endang Maria Astuti dari Partai Golkar, dan Ali Taher dari Partai Amanat Nasional (PAN).

Aturan ini pun telah dimasukkan ke dalam program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2020.

Ledia berdalih, aturan ini penting guna melindungi keluarga-keluarga Indonesia. Ia mencontohkan perilaku BDSM (bondage and discipline, sadism and masochism) --yang disebutnya sebagai penyimpangan seksual-- bakal mengikis nilai-nilai agama, sosial budaya, dan psikosisial anggota keluarga.

Perihal BDSM ini termaktub di Pasal 85-89 draf ruu itu.

Pengusul lain dari PAN Ali Taher mengatakan tak masalah jika nantinya aturan ini batal ditindaklanjuti DPR setelah beroleh tekanan dari aktivis hak asasi manusia dan perempuan.

"Enggak jadi juga enggak apa. Kita lihat saja nanti kelanjutannya," kata Ali singkat, saat dihubungi.

Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad, mengatakakan RUU ini bisa saja tidak dilanjutkan untuk dibahas di DPR jika banyak penolakan dari masyarakat.

Secara regulasi, terang Sufmi, setiap fraksi nantinya bakal memberikan pandangan mereka terhadap rancangan undang-undang yang ada di DPR. Jika terjadi penolakan, aturan itu bisa dihentikan pembahasannya.

"Fraksi-fraksi itu nanti akan menentukan apakah bisa dilanjutkan atau tidak."

‘RUU aneh’

Pakar hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai, ruu ini merupakan keanehan karena negara memasuki ranah privasi warganya.

Lagipula, terangnya, sejumlah hal privasi yang dimasukkan ke dalam rancangan undang-undang itu telah menjadi etika di dalam masyarakat. Ia mencontohkan Pasal 101 tentang kewajiban anak menghormati orang tua.

"Anak patuh kepada orang tua tak perlu diundangkan karena sudah hidup dan tertanam di masyarakat," katanya seperti dikutip situs berita Tempo.co.

"Tiba-tiba ternyata ada perbedaan, langsung jadi pidana. Padahal perbedaan itu bisa diselesaikan dengan kekeluargaan."

Ia menyinggung pula keberadaan Pasal 24 dan 25 tentang kewajiban suami dan istri dalam keluarga. Menurutnya, pembakuan suami sebagai kepala keluarga dan istri mengurus rumah tangga tidak tepat lantaran setiap pasangan berhak menentukan wujud relasi mereka.

"Ada suami di rumah menjaga keluarga, istri yang bekerja. Ada yang sepakat keduanya bekerja. Nah, itu tidak perlu masuk ke ruang negara," katanya.

"Negara sebaiknya berfokus saja menyelesaikan persoalan yang lebih besar, berkaitan dengan hajat hidup orang banyak."

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.