DPR Diminta Luruskan Disinformasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual

Aktivis mengatakan tidak ada satu pasal pun yang mendukung zina dan seks bebas seperti dituduhkan para penentang RUU PKS.
Rina Chadijah
2019.02.06
Jakarta
190206_ID_Rape_1000.jpg Aktivis perempuan melakukan unjuk rasa di Jakarta pada 18 September 2011, mengecam pernyataan yang dibuat oleh Fauzi Bowo, Gubernur Jakarta saat itu, yang mengatakan bahwa maraknya perkosaan disebabkan karena perempuan yang mengenakan rok mini.
AFP

DPR dan pemerintah didesak meluruskan disinformasi dan penyebaran berita bohong yang menyebutkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) melegalkan seks bebas dan LGBT.

Desakan itu disampaikan sejumlah aktivis organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Jaringan Kerja Program Legislasi Nasional Pro Perempuan (JKP3) saat menggelar jumpa pers di Kantor LBH Jakarta, Rabu, 6 Februari 2019.

Penyebaran kabar bohong terkait muatan pasal yang diberitakan melegalkan perzinaan dan LGBT dalam rancangan aturan itu, menurut mereka, menciderai upaya para korban kekerasan seksual untuk mendapatkan keadilan dan pemulihan hak-hak mereka.

"Petisi penolakan RUU PKS sama sekali tidak berdasarkan fakta, tidak ada satu pasal pun yang membahas mengenai hal itu," kata Ratna Batara Munti, Koordinator JKP3.

RUU PKS memuat sembilan bentuk kekerasan seksual, di antaranya pelecehan seksual, ekspolitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi dan pemaksaan aborsi, yang selama ini tidak diakui aturan hukum di Indonesia.

Dalam aturan itu juga mengatur lebih jauh tentang perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual.

RUU yang dibuat untuk melindungi para korban kekerasan seksual yang belum diatur secara spesifik dalam UU lain itu, oleh seorang akademisi, Maimon Herawati, dituduh melegalkan zina dan seks bebas.

Ia pun membuat petisi untuk menolak RUU PKS itu di laman change.org, yang dirilisnya sejak 27 Januari lalu.

“Akan tetapi ada kekosongan yang sengaja diciptakan supaya penumpang gelap bisa masuk. Tidak ada pengaturan tentang kejahatan seksual, yaitu hubungan seksual yang melanggar norma susila dan agama,” tulis penggagas dalam petisi yang hingga Rabu malam telah ditandatangi 149.593 orang, dari 150.000 yang ditargetkan.

“Pemaksaan hubungan seksual bisa kena jerat hukum. Sementara hubungan seksual suka sama suka, walaupun diluar pernikahan, diperbolehkan,” tulis Maimon dalam petisi itu.

Menurut Ratna, Maimon dan kelompok yang menolak aturan ini tidak mempelajari lebih jauh pasal demi pasal RUU itu.

“Hal ini melukai para korban yang berjuang untuk mendapatkan keadilan,” ujar Ratna.

“RUU ini niatnya untuk melindungi harkat dan martabat manusia dari kekerasan seksual. Mereka harus membuktikan pasal mana yang mereka maksud. RUU bisa diakses siapa saja kok,” tambah Andi Komara, pengacara publik LBH Jakarta.

Dari kiri: pengacara LBH Andi Komara, aktivis PKBI Riska Carolina, koordinator JKP3 Ratna Batara Munti dan Inayah Wahid, saat jumpa pers di Kantor LBH Jakarta, 6 Februari 2019. (Rina Chadijah/BeritaBenar)
Dari kiri: pengacara LBH Andi Komara, aktivis PKBI Riska Carolina, koordinator JKP3 Ratna Batara Munti dan Inayah Wahid, saat jumpa pers di Kantor LBH Jakarta, 6 Februari 2019. (Rina Chadijah/BeritaBenar)

Masih beda suara

RUU PKS merupakan inisiatif DPR yang diusulkan sejak 26 Januari 2016. Rancangan aturan ini masuk dalam program legislasi nasional 2018, yang berlanjut pada 2019.

RUU PKS diusulkan PDIP, PKB dan PAN, yang menganggap pengaturan kekerasan seksual menjadi hal penting.

Namun hingga kini belum semua partai setuju untuk segera membahas aturan tersebut.

Politisi PDIP Perjuangan, Rieke Diah Pitaloka, mengatakan, partainya berharap aturan tersebut segera disahkan.

“Kekerasan seksual menjadi problem bagi peradaban bangsa. Jangan sampai fenomena kekerasan seksual tidak ada konsekuensi hukuman. Dalam KUHP itu memang ada, tapi enggak spesifik,” kata anggota Komisi VIII yang membawahi masalah agama dan sosial, termasuk persoalan anak dan perempuan ini, kepada wartawan di gedung parlemen.

Tapi, Ketua Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Jazuli Juwani, menolak aturan itu.

“RUU ini berpotensi memberikan ruang bagi perilaku seks bebas dan perilaku seks menyimpang yang bertentangan dengan Pancasila dan norma agama. Atas dasar itu kami menolak draf RUU tersebut,” ujarnya.

Sejauh ini, DPR belum membuat Daftar Isian Masalah dalam RUU itu karena rencananya baru akan dibahas usai Pemilu, April mendatang.

Alat politik elektoral

Aktivis pergerakan keberagaman Inayah Wahid menyayangkan sikap PKS yang menolak aturan yang sebenarnya diinisiasi partai politik di DPR.

Menurutnya, jika ada perdebatan soal subtansi dalam penerjemahaan pasal demi pasal, seharusnya PKS berjuang untuk memperbaikinya.

“Fraksi PKS ada dalam pembahasan draf ini sejak awal. Jadi kalau ngomongnya sekarang seperti itu, kita patut bertanya, kenapa baru sekarang dipermasalahkan, kemarin kemana aja, Pak?” kata putri mantan Presiden Abdurrahman “Gur Dur” Wahid itu.

Sementara Ratna curiga kalau penolakan sengaja digaungkan untuk kepentingan politik elektoral partai menjelang Pemilu padahal partai-partai itu sudah sejak awal sepakat untuk membahasnya.

“Mereka sudah jadikan ini sebagai inisiatif tapi kini menjilat ludahnya sendiri. Mestinya partai-partai itu tidak boleh dipilih lagi. Ini sangat melukai hati para korban,” katanya.

Risca Calorina dari Perhimpunan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) berharap DPR dapat mengesahkan sebelum pergantian anggota parlemen periode 2014-2019.

“Saya masih optimis aturan ini akan selesai sebelum periode ini berakhir,” pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.