Mantan Sandera Abu Sayyaf Bertemu Kembali dengan Keluarga

Tria Dianti
2018.12.14
Jakarta
sandera-1000.jpg Usman Yunus didampingi istrinya, Julianti dan anak mereka sedang berdoa saat serah terima dari Kementerian Luar Negeri kepada keluarga di Jakarta, 14 Desember 2018.
Dok. Kemenlu

Seorang pelaut Indonesia, Usman Yunus, dipertemukan dengan keluarganya di Jakarta setelah dibebaskan oleh kelompok militan Abu Sayyaf di Filipina selatan yang menyandera dia selama hampir 3 bulan.

Istri Usman, Julianti, berterima kasih kepada pemerintah yang telah mengusahakan pembebasan suaminya, yang dilepas Abu Sayyaf tanggal 7 Desember.

"Terima kasih Bapak Presiden dan Bu Menlu, saya hampir putus asa. Alhamdulillah suami saya bebas," ujar istri Usman, Julianti, saat dipertemukan dengan suaminya dalam acara tertutup di Kementerian Luar Negeri di Jakarta, Kamis, 13 Desember 2018.

Wakil Menteri Luar Negeri A.M. Fachir dalam sambutannya saat menyarahkan Usman kepada keluarganya mengatakan pemerintah telah berusaha maksimal untuk membebaskan para sandera.

“Tapi situasi di Filipina Selatan akibat darurat militer, membuat upaya harus dilakukan secara sangat hati-hati guna memastikan keselamatan sandera,” kata Fachir.

Dalam siaran pers yang diterima BeritaBenar, Fachir menambahkan kepulangan Usman ke tanah air didampingi Duta Besar RI Manila, Sonny Sarundajang.

Dijelaskan bahwa usai dibebaskan, Usman menjalani pemeriksaan kesehatan di Rumah Sakit Angkatan Bersenjata di Jolo, Sulu, Filipina selatan.

Selanjutnya, Usman dibawa ke Manila untuk menyelesaikan administrasi keimigrasian untuk pemulangannya ke tanah air.

Usman dan seorang WNI yang menjadi anak buah kapal berbedera Malaysia diculik kelompok bersenjata di perairan dekat Pulau Gaya, Samporna, Sabah, pada 11 September 2018.

Dua anggota kru kapal lainnya bersembunyi ketika dua pria bertopeng naik ke kapal mereka.

Usman berada dalam penyanderaan selama 2 bulan 26 hari.  Sementara 1 ABK lainnya masih ditahan kelompok Abu Sayyaf.

Tebusan

Beberapa hari setelah diculik, pihak keluarga menerima telepon permintaan tebusan dari penculik senilai empat juta ringgit atau setara Rp14 miliar.

Namun hingga saat ini belum diketahui apakah jumlah tersebut dipenuhi atau tidak.

Selama ini, pemerintah Indonesia selalu membantah membayarkan tebusan kepada kelompok Abu Sayyaf.

"Atas arahan Menlu, saya berkomunikasi langsung dengan Presiden Duterte untuk mengupayakan pembebasan. Karena itu semua pihak di Filipina mendukung upaya yang kita lakukan," kata Sonny.

Sejak 2016 hingga November 2018 sebanyak 34 WNI disandera di Filipina selatan, 33 di antaranya sudah berhasil dibebaskan.

Sementara itu, Direktur Perlindungan WNI Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal mengatakan pemerintah Indonesia akan terus mengupayakan pembebasan WNI yang masih disandera.

"KJRI Kota Kinabalu dan KRI Tawau terus mengimbau agar WNI yang bekerja sebagai nelayan di wilayah Sabah untuk tidak melaut hingga adanya jaminan keamanan dari otoritas Malaysia," katanya dalam siaran pers.

Peneliti Institute For Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan kembalinya penculikan oleh Abu Sayyaf karena banyak celah yang bisa digunakan oleh kelompok tersebut, selain melalui jalur perairan.

"Meskipun joint patrol sudah berlangsung tapi bukan berarti aman dari penculikan di darat. Celah di darat menjadi celah untuk kelompok Abu Sayyaf menculik lagi karena pengawasan difokuskan di laut," katanya.

Oleh karena itu, ia menyarankan pemerintah untuk mengevaluasi patroli bersama yang selama ini dilaksanakan dengan Malaysia dan Filipina.

"Bukan berarti tidak efektif namun butuh tambahan patrol di darat seperti pelabuhan dan garis pantai lainnya agar penculikan tidak terjadi lagi," ujar Khairul.

Menurutnya, sebagian besar kemampuan logistik dan finansial Abu Sayyaf diperoleh dari hasil rampasan kapal dan tebusan sandera.

"Rasanya sulit dipercaya jika pemerintah hanya mengandalkan jalur negosiasi saja. Apalagi kelompok ini tidak main-main membunuh jika tidak diberi tebusan. Pelajaran bagi pemerintah agar tidak terus-terusan memberikan tebusan pada Abu Sayyaf," katanya.

Anggota Komisi I DPR RI, Bobby Rizaldy mengatakan, seharusnya Malaysia membuktikan komitmen untuk menuntaskan terkait masalah penculikan tersebut sebagai janji kepada pemerintah Indonesia.

“Apalagi kejadian terakhir terjadi di kapal nelayan yang memiliki izin operasi jam malam di zona keamanan Sabah Timur Malaysia, seharusnya pemerintah Malaysia bertanggung jawab untuk menjaga keamanan di wilayahnya," kata ujar politisi partai Golkar itu.

"Utamanya untuk pencegahan adalah penguatan patroli bersama di zona rawan secara lebih intensif," pungkasnya.

Anggota DPR komisi 1 dari partai Golkar, Bobby Rizaldy mengatakan seharusnya Malaysia membuktikan komitmen untuk menuntaskan masalah penculikan tersebut sesuai janji kepada pemerintah Indonesia.

Hal tersebut tercantum dalam perjanjian ReCAAP - juga trilateral RI-Malaysia-Filipina. ReCAAP adalah Perjanjian Kerjasama Regional untuk Menanggulangi Pembajakan dan Perompakan Bersenjata terhadap Kapal di Asia.

“Apalagi kejadian terakhir terjadi di kapal nelayan yang memiliki izin operasi jam malam di zona keamanan Sabah Timur Malaysia, seharusnya pemerintah Malaysia bertanggung jawab untuk menjaga keamanan di wilayahnya," kata dia.

"Utamanya untuk pencegahan adalah penguatan patroli bersama di zona rawan secara lebih intensif," pungkasnya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.