Kapolri akan Bentuk Satgas Antiteror di Seluruh Provinsi

Tito Karnavian mengatakan sel teroris sudah menyebar ke hampir semua provinsi di Indonesia.
Putra Andespu
2018.06.05
Jakarta
180605_ID_Terror_1000.jpg Kapolri Tito Karnavian (kanan) bertemu keluarga korban bom di Surabaya, Jawa Timur, 15 Mei 2018.
Yovinus Guntur/BeritaBenar

Kapolri Jenderal Tito Karnavian akan menambah Satuan Tugas (Satgas) Densus Antiteror hingga dimiliki seluruh provinsi di Indonesia menyusul tingginya ancaman terorisme.

“Saya ingin perkuat Satgas Densus yang selama ini hanya 16, saya ingin jadi 34. Ada di tiap provinsi,” katanya usai rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR di Gedung Parlemen, Jakarta, Selasa, 5 Juni 2018.

Menurutnya, ancaman terorisme kini makin meningkat karena sel atau jaringan teroris sudah menyebar ke hampir semua provinsi di Indonesia.

“Ada sel aktif dan juga tidak aktif,” ujarnya.

Untuk mewujudkan rencana penambahan Satgas Densus Antiteror, Kapolri Tito dalam RDP dengan Komisi III DPR mengusulkan penambahan anggaran Polri sebesar Rp44,4 triliun pada 2019.

“Butuh persetujuan DPR,” ujarnya.

Tapi, DPR dalam kesempatan RDP tersebut belum memutuskan setuju atau menolak.

Kapolri mengatakan terorisme bisa menyasar semua kalangan, sehingga penanganannya harus melibatkan semua stakeholder.

“Ideologi teroris ini sama saja seperti virus, bisa menyasar siapa saja. Bisa menyasar semua kalangan sama seperti narkoba,” katanya.

“Bisa mulai dari yang bawah, bisa mulai dari masyarakat umum, satu keluarga seperti di Surabaya maupun mahasiswa, bahkan polisi juga, kasus di Jambi, sudah terpapar juga ideologi itu,” lanjutnya.

‘Gunung es’

Menurut Tito, aksi teror yang marak terjadi belakangan ini adalah puncak dari fenomena “gunung es” yang dipicu oleh penyebaran ideologi teroris dengan memanfaatkan keterbukaan informasi dan demokrasi.

“Ideologi ini menyebar mengambil kesempatan kebebasan karena demokrasi. Yang kedua karena adanya kemajuan pengetahuan sosial teknologi informasi karena terutama ada sosial media, internet dan lain-lain,” paparnya.

Polri melakukan dua langkah penanganan terorisme. Pertama, tindakan keras dengan penegakan hukum. Kedua, langkah pendekatan khusus ke akar masalah terorisme yakni meluruskan ideologi.

“Tidak bisa dihadapi dengan senjata. Tapi ideologi harus ditutup dengan ideologi yang lain,” jelasnya.

“Ini melibatkan pemerintah, stakeholder yang lain maupun masyarakat, termasuk ormas-ormas juga perlu untuk kerja bersama-sama. Ini harus diorganisir dalam rencana aksi nasional untuk membendung dan menetralisir ideologi radikal.”

DPR pada 25 Mei lalu telah mengesahkan revisi Undang-Undang Antiterorisme yang memberi kewenangan bagi TNI terlibat langsung menangani terorisme.

Presiden Joko “Jokowi” Widodo juga setuju Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopsusgab) TNI dihidupkan lagi untuk memberantas teroris.

“TNI dan Polri solid menjaga negara, rakyat, bangsa dalam melawan terorisme,” kata Jokowi di Mabes TNI, Jakarta, Selasa.

Balas dendam

Pada 8 Mei 2018, seratusan narapidana terorisme melakukan pemberontakan di Rumah Tahanan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Akibatnya lima polisi dan seorang narapidana tewas.

Lima hari kemudian serangan bom bunuh diri oleh satu keluarga teroris terjadi di tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, dan menewaskan 13 orang dan keenam pelaku. Pada malam harinya sebuah bom yang diracik meledak di sebuah rumah susun di Sidoarjo.

Sehari kemudian, serangan teror yang juga dilakukan satu keluarga di Mapolrestabes Surabaya.

Aksi teror kembali terjadi dengan serangan terhadap Mapolda Riau yang menewaskan empat pelaku dan seorang polisi pada 16 Mei lalu.

Mantan teroris yang kini bekerja dengan polisi dalam program deradikalisasi, Ali Fauzi Manzi, mengatakan rentetan aksi teror itu saling berkaitan.

“Karena ingin balas dendam dari kasus-kasus kericuhan di Mako Brimob,” kata Ali.

Pasca-kerusuhan di Mako Brimob, Densus 88 Antiteror bersama kepolisian daerah telah menangkap 82 terduga teroris dalam operasi di beberapa daerah dan menembak mati 14 orang lainnya, kata Kapolri Tito, menambahkan penangkapan itu bagian pencegahan dini aksi teror.

Kampus, ‘tempat aman bagi teroris’

Awal Juni, polisi menangkap tiga terduga teroris di Gelanggang Mahasiswa Universitas Riau (Unri) dan satu di antaranya dijadikan tersangka karena diketahui sebagai perakit bom dan hendak menyerang gedung DPR.

Peneliti Kajian Stratejik Intelijen Universitas Indonesia, Rildwan Habib, mengatakan kasus Unri baru pertama kali terjadi di Indonesia, di mana teroris ikut memanfaatkan kampus sebagai “tempat aman”.

“Ini alarm tanda bahaya bahwa kelompok teroris menggunakan cara baru mengelabui intelijen,” ujarnya kepada BeritaBenar.

Menteri Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi, Mohamad Nasir mengatakan radikalisme di kampus berasal dari orang luar, seperti alumni.

“Tapi tak menutup kemungkinan dilakukan oleh orang dari dalam kampus,” ujarnya.

Sedangkan Menteri Agama, Lukman Hakim Saifudin mengatakan bahwa kampus harus menutup ruang masuknya ideologi terorisme dan kegiatan radikal dalam akademik.

"Kebebasan akademik jangan sampai dinodai atau dicemari dengan aktivitas yang terkait dengan kegiatan radikal. Apalagi teroris,” katanya.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.