10 Tahun Damai di Serambi Mekkah, Pembangunan Ekonomi Tantangan Terbesar

Oleh Nurdin Hasan
2015.08.14
150814_ID_ACEH_ANNIVERSARY_700.jpg Sejumlah pekerja sedang memuat ikan tuna ke sebuah becak di ibukota Banda Aceh, hari Minggu tanggal 9 Agustus 2015.
BeritaBenar

Pembangunan ekonomi berkelanjutan masih tetap menjadi tantangan terbesar bagi Provinsi Aceh Naggroe Darussalam, 10 tahun setelah perdamaian terwujud antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Sulaiman Abda menyebutkan, pembangunan Aceh selama satu dekade seperti berjalan di tempat karena tak fokus untuk meningkatkan perekonomian masyarakat.

Padahal bila ditotal selama 10  tahun terakhir Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) Aceh mencapai Rp 100 triliun lebih, termasuk Rp 42 triliun dana otonomi khusus sejak tahun 2008.

“Sadar atau tidak sadar, dana otonomi khusus adalah hasil perjuangan GAM yang penuh dengan darah dan airmata ketika konflik. Tetapi kenyataannya masih banyak rakyat Aceh, termasuk mantan kombatan GAM, yang hidupnya sulit dan tidak ada pekerjaan tetap,” katanya kepada BeritaBenar di Banda Aceh, Selasa lalu.

Menurut data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, pertumbuhan ekonomi Aceh tahun lalu hanya 1,65 persen. Angka ini jauh di bawah rata-rata angka nasional yang mencapai 5,02 persen.

Di semester pertama 2015, pertumbuhan ekonomi Aceh merupakan yang terendah di Pulau Sumatera yaitu 1,9 persen.

Jumlah warga miskin di Aceh tahun lalu mencapai 18 persen dari total penduduk 5 juta jiwa. Tingkat pengangguran di Aceh juga masih tinggi, yaitu 9 persen dibanding angka nasional pada kisaran 5,9 persen.

Menurut politisi senior Partai Golkar itu, lambannya pembangunan ekonomi di Aceh selama 10 tahun terakhir ini karena dana otonomi khusus sering digunakan untuk proyek-proyek kecil yang manfaatnya tak langsung berpengaruh pada peningkatan ekonomi masyarakat.

Sulaiman juga mengakui bahwa pengawasan parlemen belum baik, sehingga banyak proyek infrastruktur yang kualitasnya jauh di bawah standar atau malah terbengkalai.

“Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi. Selain karena pengesahan anggaran selalu terlambat, faktor eksternal turut mempengaruhi sehingga hasil pembangunan tidak maksimal,” jelasnya.

Dia mengharapkan mulai tahun 2016, anggaran pembangunan benar-benar dipakai untuk mewujudkan peningkatan ekonomi sehingga masyarakat Aceh bisa merasakan kemakmuran seperti tercantum dalam Nota Kesepahaman antara Pemerintah dan GAM yang ditandatangani di Helsinki, 15 Agustus 2005.

“Dana otonomi khusus ada batasnya. Tahun 2028 Aceh tak lagi mendapatkan dana besar. Jika kita gagal meletakkan fondasi pembangunan ekonomi sekarang, setelah dana otonomi khusus berakhir akan muncul persoalan yang sangat parah,” tambahnya.

Dia mengharapkan partisipasi semua pihak menyiapkan konsep pembangunan agar Aceh bisa keluar dari keterpurukan.

Rentan dikorupsi

Kepada BeritaBenar Pengamat Politik dan Keamanan Aceh dari Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada, mengatakan sejak diterapkan delapan tahun lalu pemanfaatan dana otonomi khusus terkesan hanya memenuhi kantong-kantong finansial elit politik yang berkuasa di Aceh.

“Dana otonomi khusus sangat rentan dikorupsi karena sifatnya eksklusif dan tak ada laporan komprehensif Pemerintah Aceh kemana penggunaannya,” katanya.

Peneliti pada Jaringan Survey Inisiatif itu meyakini ada keterlibatan elit politik dalam penggunaan dana otonomi khusus melalui pengusulan program yang lebih dominan mengarah ke proyek-proyek infrastruktur.

“Itu permainan politik anggaran,  dimana elit politik yang punya perusahaan sendiri, keluarga atau teman akan mengarahkan proyek infrastruktur dengan memakai dana otonomi khusus,” ujarnya seraya menambahkan pejabat mengambil fee dari proyek bukan rahasia lagi di Aceh.

Saat dikonfirmasi terkait fee proyek di dinas-dinas selaku pengelola anggaran kepada Wakil Ketua DPRA, Sulaiman menjawab singkat, “Tahu sama tahulah.”

Gubernur akui banyak tantangan

Gubernur Aceh Zaini Abdullah mengakui bahwa satu dasawarsa terakhir ini masih banyak tantangan yang dihadapi Aceh, terutama masalah peningkatan perekonomian dan pengentasan kemiskinan.

“10 tahun perdamaian, sudah ada perubahan di Aceh dan kita harapkan perdamaian abadi,” katanya kepada wartawan setelah membuka simposium internasional Forum Damai Aceh di Banda Aceh Selasa malam.

Ketika ditanya mengenai tantangan Aceh ke depan, Zaini menjawab, “Masih cukup banyak, terutama persoalan reintegrasi dan masalah mengurangi kemiskinan. Ini harus kita kejar agar tercapai dalam waktu singkat.”

Langkah yang ditempuh Pemerintah Aceh untuk mengatasi berbagai persoalan itu, tambahnya, adalah dengan mengikuti peraturan yang ada, terutama dalam membelanjakan anggaran pembangunan.

“Kita harus meningkatkan ekonomi masyarakat, pembangunan rumah-rumah yang tak layak huni, perbaikan jalan dan irigasi. Ini semua potensi sehingga mempercepat pembangunan di Aceh supaya pengurangan kemiskinan akan lebih cepat,” katanya.

Terkait sejumlah mantan kombatan GAM yang masih mengangkat senjata, Gubernur Aceh itu menyerahkan penyelesaiannya pada aparat kepolisian.

“Saya kira yang dilakukan sekarang ditangani Kapolda karena itu yang menyangkut kriminalitas dan penegak hukum mengatasinya,” katanya.

Kebijakan gubernur disesalkan

Fadhli Abdullah, 52, seorang mantan panglima lokal gerilyawan GAM di Kabupaten Bireuen, menyesalkan kebijakan Zaini yang menyerahkan penyelesaian mantan GAM yang masih mengangkat senjata kepada aparat keamanan.

Meski dari segi finansial kehidupannya sudah mapan, Fadhli tetap kecewa terhadap Gubernur Zaini dan Wakil Gubernur Muzakir Manaf, karena masih banyak mantan kombatan GAM yang hidup di bawah garis kemiskinan akibat kurangnya perhatian dari pemerintah.

“Perhatian pemerintah sangat kurang pada mantan kombatan GAM. Mereka seperti lalai dan lupa pada perjuangan untuk  mensejahterakan masyarakat Aceh,” tuturnya.

Dampak dari tidak adanya perhatian serius pemerintah adalah, berbagai kasus kriminal bersenjata di Aceh melibatkan para bekas anggota GAM.

Kelompok bersenjata melancarkan berbagai aksi seperti menculik untuk meminta uang tebusan dan perampokan.

“Seharusnya Gubernur Aceh melakukan pendekatan lebih manusiawi terhadap para bekas kombatan GAM yang mengangkat senjata karena mereka mengaku menuntut keadilan. Setelah itu, disiapkan program pemberdayaan ekonomi terhadap mantan kombatan GAM dan korban konflik,” pungkas Fadhli.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.