Gagal Buktikan Ahok Menista Agama, Jaksa Tetap Tuntut Hukuman Percobaan
2017.04.20
Jakarta
Jaksa penuntut umum gagal membuktikan adanya fakta dan unsur kesengajaan oleh Basuki "Ahok" Tjahaja Purnama menghina agama Islam, sehingga gubernur DKI Jakarta itu tidak dituntut melakukan penistaan agama namun ia tetap dituntut setahun penjara dengan dua tahun masa percobaan, berdasarkan pasal 156 KUHP, demikian hasil sidang lanjutan kasus Ahok, Kamis, 20 April 2017.
Jaksa Ali Mukartono menyatakan unsur kesengajaan itu mutlak diperlukan kalau ingin menjerat Ahok menggunakan Pasal 156a mengenai penodaan agama yang berpotensi hukuman penjara maksimum 5 tahun.
"Niat terdakwa (Ahok) lebih ditujukan pada orang lain atau elit dalam kontes Pilkada. Bukan dimaksudkan menghina agama, sehingga Pasal 156a tidak tepat diterapkan," kata Ali, saat membacakan tuntutan di aula Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, Kamis.
"Kami menuntut majelis hakim menjatuhkan pidana dengan masa pidana satu tahun dengan masa percobaan dua tahun."
Dia menambahkan, pernyataan Ahok menyitir surat Al-Maidah ayat 51 saat berpidato di Kepulauan Seribu, 27 September 2016, yang jadi muasal perdebatan memang memicu keresahan dan kesalahpahaman antargolongan.
Namun dalam pertimbangan meringankan, jaksa Ali menilai keresahan sebenarnya turut disebabkan oleh unggahan video Buni Yani di laman Facebooknya beberapa hari setelah Ahok berpidato.
Sehingga, kata Ali, satu tahun penjara dan masa percobaan dua tahun merujuk dakwaan alternatif yakni Pasal 156 tentang menyatakan permusuhan, kebencian, atau penghinaan di muka umum, tepat untuk menjerat Ahok.
Artinya, Ahok hanya akan menjalani hukuman setahun penjara kalau ia melakukan suatu tindak pidana selama masa percobaan.
Pembacaan tuntutan ini digelar sehari setelah Ahok dan pasangannya Djarot Saiful HIdayat dinyatakan kalah dalam hitung cepat Pilkada DKI Jakarta putaran kedua, yang oleh banyak pihak, disinyalir sangat bernuansa provokasi agama. Anies Baswedan dan pasangannya Sandiaga Uno berhasil meraih 58% dan akan menjadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta periode lima tahun ke depan.
‘Jaksa ragu-ragu’
Perihal tuntutan jaksa, Ahok hanya bungkam. Setelah sidang ditutup, ia berkonsultasi dengan tim kuasa hukum dan langsung berlalu, meninggalkan ruang sidang di bawah pengawalan ketat aparat kepolisian.
Salah seorang kuasa hukum Ahok, Humprey Djemat, mengatakan bahwa tuntutan jaksa membuktikan Ahok memang tak pernah menistakan agama, seperti dituduhkan.
"Yang terbukti itu kan (Pasal) 156," kata Humprey kepada wartawan usai persidangan.
Lantaran tak terbukti menista agama, lanjutnya, kuasa hukum tidak akan menyiapkan pembelaan tentang tudingan penistaan agama dalam sidang lanjutan, Selasa pekan depan.
"Berkaitan dengan Pasal 156 saja. Karena jaksa menilai Pak Basuki bersalah di sini," kata Humprey, tanpa merincikan lebih lanjut.
Kuasa hukum Ahok lain, I Wayan Suadirta menambahkan, tuntutan jaksa menunjukkan jaksa terkesan ragu-ragu dan tak punya bukti kuat untuk menjerat Ahok. Pasalnya, pada pertimbangan meringankan, jaksa turut menyeret nama Buni Yani.
"Itu sikap ragu-ragu," ujarnya, “Di satu sisi membebankan Pak Buni Yani. Tapi di pihak lain masih mau menuntut Pak Ahok. Itu enggak benar."
‘Sidang sandiwara’
Jika Wayan Suadirta kecewa terhadap jaksa karena tetap menuntut Ahok walaupun tanpa bukti kuat, anggota Front Pembela Islam (FPI) yang hadir di sidang tersebut kecewa karena alasan sebaliknya.
"Ini semua sandiwara," ujar Husin Sanat kepada BeritaBenar.
Anggota Dewan Pengurus Pusat FPI itu mangkel karena harapannya tak terpenuhi.
Awalnya, ia berharap jaksa akan menuntut Ahok dengan hukuman maksimal lima tahun penjara, seperti termaktub dalam Pasal 156a KUHP tentang penodaan agama.
"Sidang ini bohongan,” pungkas Husin,
Dia bukan satu-satunya yang kecewa terhadap tuntutan jaksa.
Alkatiri, seorang anggota advokasi Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) – kelompok inisiator rangkaian unjuk rasa menentang Ahok untuk ditangkap sehubungan dengan pidato Ahok di Kepulauan Seribu itu – menuding persidangan itu memang telah terlihat tak netral sejak 11 April lalu atau saat sidang yang seharusnya mengagendakan pembacaan tuntutan ditunda hingga 20 April.
"Ini tidak benar. Tak mengherankan, pembacaan tuntutan ini malah seolah-olah pledoi (pembelaan) untuk Ahok," katanya kepada wartawan.
Sempat terjadi kegaduhan sesaat setelah majelis hakim yang diketuai Dwiarso Budi Santiarto meninggalkan ruang sidang. Seseorang dari kelompok Husin berteriak, “Ini sidang bohongan”.
Teriakan itu mengagetkan aparat dan pengunjung. Tak ayal, Husin dan kawan-kawan yang mengenakan pakaian serba putih kemudian digiring aparat keamanan untuk meninggalkan ruangan.
Di luar ruang persidangan, kekecewaan seperti yang dirasakan Husin turut disuarakan massa yang melakukan unjuk rasa.
Seorang orator, misalnya, mengancam akan menggelar aksi penolakan lanjutan kepada Ahok karena dianggap dilindungi pemerintah.
"Jangan pikir karena penista agama telah kalah dalam Pilkada DKI, kita akan berhenti," teriak sang orator, yang disambut kor 'tidak' dari massa yang berjumlah ratusan orang.