Sinta Nuriyah: Sampai Akhir Hayat Teruskan Cita-Cita Gus Dur

Rangkaian ‘Aksi Bela Islam’, menurutnya, cerminan mengendurnya toleransi yang diperjuangkan Sang Suami.
Ami Afriatni
2018.05.04
Jakarta
180504_ID_SintaNuriyah_1000.jpg Sinta Nuriyah Wahid ketika diwawancara di kediamanannya di Ciganjur, Jakarta Selatan, 30 April 2018.
Afriadi Hikmal/BeritaBenar

Sinta Nuriyah Wahid (70), istri Presiden Indonesia keempat, Abdurrahman “Gus Dur” Wahid memainkan perannya sebagai ibu negara secara menyeluruh ketika situasi negara “genting” pada 1999-2001.

Tak hanya mendampingi sang suami, Sinta juga menjadi “ibu” bagi seluruh kaum, termasuk kelompok minoritas.

Setelah Gus Dur berpulang pada 30 Desember 2009, semangat sang suami untuk terus menyebarkan pluralisme dan toleransi tak padam di tangan Sinta.

Tidak berlebihan jika Sinta mendapat beragam penghargaan bertaraf internasional, antara lain 11 Perempuan Paling Berpengaruh tahun 2017 versi Harian New York Times dan 100 Orang Paling Berpengaruh tahun 2018 versi Majalah TIME.

Melanjutkan api pluralisme dan toleransi dilakukan Sinta dengan berbagai cara, termasuk meneruskan tradisi “Safari Buka Puasa dan Sahur Bersama” di 30-an tempat di berbagai kota di Indonesia setiap Ramadan.

Tradisi ini terbilang unik. Tak hanya mantan ibu negara itu yang selalu hadir menyapa warga, tapi juga dihadiri umat lintas agama serta kelompok minoritas yang kerap mendapatkan intimidasi, seperti Ahmadiyah.

Senin, 30 April 2018, BeritaBenar mendapat kesempatan wawancara khusus dengan Sinta di kediamannya di Ciganjur, Jakarta Selatan. Berikut petikannya:

Desember 2017, Anda termasuk 11 Perempuan Paling Berpengaruh versi New York Times. Tahun ini, masuk 100 Orang Paling Berpengaruh versi Majalah TIME. Apa artinya bagi Anda, bagi keluarga, bagi bangsa?

Kalau buat saya sendiri artinya sangat besar dan berarti sekali. Saya bersyukur kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah telah memberikan anugerah luar biasa kepada saya dengan pemberian penghargaan seperti itu.

Saya merasa bahwa saya juga punya andil mengharumkan bangsa dan negara ini di kancah internasional. Di samping itu, saya juga mempunyai sesuatu yang berharga yang saya tinggalkan buat anak cucu yang bisa diteladani dan dipegang oleh mereka.

Saya juga berharap bisa menjadikan inspirasi buat perempuan-perempuan Indonesia atau siapapun agar melakukan sesuatu yang baik.

Pluralisme dan toleransi adalah nafas perjuangan almarhum Gus Dur, lalu Anda lanjutkan. Seperti apa Anda melihat pluralisme dan toleransi di Indonesia saat ini?

Saya melihat bahwa toleransi yang diperjuangkan Gus Dur saat ini sudah mulai mengendur. Terbukti dengan terjadinya Aksi Bela Islam 411, 212, dan masih banyak lagi yang lain. Apalagi yang dijadikan sebagai alat adalah agama, sehingga ini akan lebih memperuncing intoleransi di negara kita.

Pelaku-pelakunya lebih pintar dan seperti keinginan untuk berkuasa, keinginan membangun negara yang tidak NKRI, tidak kesatuan, keinginan yang macam-macam itu lebih banyak. Jadi mereka akhirnya menggunakan agama karena mereka tahu kelemahan rakyat Indonesia ada dimana. Jadi, otomatis boleh dikatakan kian parah.

Apa bisa dikatakan intoleransi yang mulai naik tak terlepas dari adanya gerakan-gerakan konservatif yang juga marak?

Kita harus melihat kembali bahwa masyarakat Indonesia itu adalah masyarakat yang agamis. Namun keyakinan mereka, pemahaman mereka terhadap agama tidak diimbangi dengan pemahaman dan pengertian yang sangat mendalam terhadap agama. Artinya mereka memahami agama sebatas pemahaman yang dangkal dan pemikiran yang sempit. Akibatnya rakyat Indonesia yang religius akan mudah diprovokasi.

Sekarang marak penyebaran berita palsu dan ujaran kebencian. Anda melihat fenomena ini seperti apa?

Saya kira dari segala sudut harus diwaspadai, karena itu menyangkut masalah politik. Politik itu segala macam cara bisa dilakukan. Kalau sudah menghalalkan segala macam cara, ya kewaspadaan harus berlipat ganda.

Saya rasa pemahaman agama harus lebih diperdalam. Jangan hanya sebatas pada pemikiran yang sempit. Harus diterima secara arif, tidak mudah marah dan sebagainya.

Terkait mulai lunturnya toleransi yang diperjuangkan Gus Dur, Anda melihat seperti apa efeknya terhadap kaum minoritas?

Pasti mereka yang menjadi korban. Karena pemahaman (kelompok intoleran) sangat sempit, dicekokin dengan pemahaman-pemahaman yang radikal, keras.

Apa yang harus masyarakat dan negara lakukan untuk melindungi kaum minoritas?

Melindungi hak-hak masyarakat itu sebetulnya adalah tugas dan kewajiban negara, ya. Mereka harus menyiapkan Undang-Undang atau peraturan-peraturan yang melindungi semuanya.

Sebagai rakyat sipil, sebagai perempuan, sebagai tokoh-tokoh agama, mereka punya peran sendiri-sendiri untuk membentengi semua itu. Misalnya para ulama atau ahli agama, mereka harus membentengi dengan memberikan pengertian, pemahaman yang benar tentang ajaran agama.

Kemudian ibu-ibu, siapapun, apakah ibu rumah tangga, apakah seorang guru atau seorang aktivis, punya kewajiban memberikan pencerahan kepada masyarakat tentang masalah itu. Saling bergandengan tangan satu sama lain.

Sinta Nuriyah Wahid ketika diwawancara di kediamanannya di Ciganjur, Jakarta Selatan, 30 April 2018. (Afriadi Hikmal/BeritaBenar)
Sinta Nuriyah Wahid ketika diwawancara di kediamanannya di Ciganjur, Jakarta Selatan, 30 April 2018. (Afriadi Hikmal/BeritaBenar)

Anda dan keluarga terkenal pembela kaum minoritas. Tidak hanya mereka yang berbeda keyakinan, tapi juga aspek lain, seperti LGBT. Anda melihatnya seperti apa perlindungan kaum minoritas?

Bagi kami apa yang dilakukan ada hubungan dengan Tuhan. Apakah dia salah, itu urusannya dengan Tuhan. Sedang dengan kita, kita sesama manusia. Hubungan kita adalah sesama manusia. Kita harus mendudukkan mereka sebagai manusia.

Tugas kita sebagai manusia saling menghormati, saling menghargai, saling mengasihi, saling menyayangi. Jadi kita tidak punya hak apapun untuk menghakimi mereka.

Sebentar lagi, persis 20 tahun reformasi. Anda melihat semangat reformasi sekarang?

Sebagian masih terus berpegangan pada reformasi, tetapi sebagian yang lain, ya nggak.

Apa yang masih belum tersampaikan?

Bagi mereka, hukum itu belum seluruhnya bisa ditegakkan. Mereka belum bisa menikmati keadilan yang sebenarnya. Masih banyak yang abu-abu. Artinya siapa pelakunya, siapa yang jadi korbannya, itu masih menjadi pertimbangan untuk mendapatkan keadilan atau tidak.

Adakah pernyataan Gus Dur yang sangat membekas di hati Anda untuk terus menjalankan semangat menyebarkan pluralisme dan toleransi?

Kalau pernyataan-pernyataan tidak ada. Kita hanya melihat saja bahwa pluralisme tidak menyalahi agama. Itu benar dan itu yang harus kita perjuangkan. Kita lanjutkan perjuangan itu. Bagi saya maupun anak-anak dan seluruh pengikut Gus Dur semuanya akan berpegang pada itu. Jadi Gusdurian-Gusdurian (pengikut Gus Dur) mempunyai pegangan yang ada.

Sampai kapan Anda akan berjuang menyebarkan semangat Gus Dur?

Sampai akhir hayat.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.