Konflik Rumah Ibadah Karena Pemda Tidak Tegas
2015.10.23
Jakarta
Diperbaharui pada 5:07 p.m. ET, 11-11-2015
Pembongkaran 10 gereja masih berlanjut di Kabupaten Aceh Singkil, Nanggroe Aceh Darussalam pasca pembakaran gereja dan kerusuhan yang menewaskan satu orang pertengahan bulan lalu.
Gereja-gereja ini dirobohkan sesuasi kesepakatan dengan pemerintah daerah, aparat dan komunitas setempat dengan alasan 'tak memiliki izin resmi' pendirian bangunan.
Meski mengaku rela mengikuti ketentuan kesepakatan tersebut, penganut Kristen-Katolik di Aceh meminta agar aturan pendirian tempat ibadah diperjelas.
"Kami menghargai aturan pusat yang dituangkan dalam bentuk PBM, tapi kami perlu kejelasan tentang aturan turunannya," kata Ferdinan Pandiangan, pejabat pembimbing masyarakat Katolik yang juga tokoh Katolik di Aceh.
PBM yang dimaksud Pandiangan adalah Peraturan Bersama Menteri tahun 2006, yang lebih dikenal dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri, tentang pembangunan rumah ibadah.
Dalam PBM antara lain diatur syarat pendirian rumah ibadah yang harus menyertakan dukungan sebanyak minimal 60 orang penduduk sekitar lokasi bangunan.
Di Aceh, PBM kemudian 'dikuatkan' dengan Peraturan Gubernur (Pergub) yang menyatakan syarat dukungan dari 150 warga.
Meski mengakui Aceh sebagai wilayah dengan kekhasan tertentu terkait pelaksanaan syariat Islam, Pandiangan mempertanyakan konsistensi aturan tersebut.
"Mana yang mesti kami ikuti: Pusat atau Pergub?" tukasnya.
Keberanian Pemda
Sebuah studi tentang konflik sekitar pendirian gereja di Indonesia menemukan besarnya masalah seputar izin warga membangun gereja dan sering memicu konflik kekerasan.
Namun menurut Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi Universitas Paramadina yang juga Ketua studi tersebut, Ihsan Ali Fauzi, alotnya beroleh izin dari warga sekitar bukan serta merta menunjukkan lemahnya sikap toleransi kelompok mayoritas, dalam hal ini Muslim Indonesia.
"Kita bisa perdebatkan soal ini, malah jangan-jangan mayoritas sebenarnya tidak peduli," kata Ihsan pada BeritaBenar.
Munculnya penolakan menurut Ihsan kerap kali terjadi karena sikap sekelompok orang saja.
Kelompok ini sering mengintimidasi dan bersuara keras dengan mengatasnamakan umat Islam yang mayoritas, kata Ihsan.
"Mereka bisa protes sampai merusak, tetapi sering kali tak dihadapi dengan aksi tegas. Akibatnya kesan yang lalu muncul: Mayoritas Muslim intoleran dan menentang pendirian rumah ibadah umat lain."
Ihsan memuji sikap Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang dinilainya bersikap tegas menutup masjid maupun gereja yang tak berizin tanpa pandang bulu.
Basuki telah memerintahkan penyegelan masjid dan gereja karena izin yang tak beres. Adalah Basuki juga yang mengusulkan pencabutan PBM 2006 karena dianggap tak adil terhadap penganut agama minoritas.
Tetapi menurut Ihsan, pencabutan atau revisi PBM tak akan banyak berguna jika pemerintah daerah (Pemda) tak punya nyali menggunakan hukum sebagai solusi konflik rumah ibadah.
Ia mencontohkan kasus sengketa Gereja Kristen Yasmin di Bogor, Jawa Barat yang telah berlangsung bertahun-tahun tanpa penyelesaian.
Turunnya kasasi Mahkamah Agung yang mensahkan pembangunan gereja pun tak membantu menyelesaikan masalah, karena Pemda setempat memilih mengakomodir kelompok intoleran yang menolak Gereja Yasmin. Kalangan aktivis hak asasi manusia menuding pemerintah kota Bogor membangkang terhadap hukum.
"Sekarang yang terjadi Muslim yang mayoritas mempersoalkan IMB gereja dan rumah ibadah lain. Bagaimana kalau di Papua mayoritas Kristen juga melakukan hal yang sama? Siap tidak pada akibatnya?" tukas Ihsan.
Hasil kompromi
Dalam insiden Tolikara di Papua dimana sebuah masjid dihancurkan oleh sekelompok penganut Kristiani, regulasi pendirian rumah ibadah juga dipersoalkan.
"Masjid itu sudah ada izinnya, cuma aparatnya saja tidak berani tegakkan aturan PBM," kritik Ma'ruf Amin, Ketua Majelis Ulama Indonesia.
Ma'ruf yang sempat terlibat dalam penyusunan PBM tahun 2006 mengatakan tak ada pasal yang salah dalam peraturan itu apalagi bersifat intoleran.
Wali-wali agama menurutnya berunding sepanjang empat bulan mencari titik temu antar pendapat dan antar kepentingan.
"Kalau ada konflik itu berarti PBM-nya dilanggar," tambahnya.
Bahwa muncul dampak kemudian pendirian rumah ibadah non-Muslim jadi bermasalah Ma'ruf membantah ini akibat sifat PBM yang intoleran.
"Itu peraturan kompromistis – tidak bisa memuaskan semua orang. Tapi sudah disepakati."
Seperti juga pendapat Ihsan Ali Fauzi, Ma'ruf menilai hanya aparat yang tegas yang mampu menegakkan aturan. Dalam kasus Aceh Singkil ia mengatakan gereja-gereja itu memang dibangun tanpa izin.
Tetapi, menurutnya, penyerangan dan perusakan 'tak bisa dibenarkan' dengan alasan apapun.
Kebebasan diabaikan
Meski pemda memegang peran kunci dalam regulasi rumah ibadah, studi Ihsan Ali Fauzi dan kawan-kawan menunjukkan pemerintah daerah memegang peranan terjadinya kacau massa saat muncul konflik rumah ibadah.
"Dalam UU Otonomi Khusus sekalipun, soal agama itu bukan diatur daerah. Itu tanggung jawab Pusat," tegas Ihsan.
Pasal penting yang juga raib dari setiap pembahasan konflik pendirian rumah ibadah menurut Ihsan adalah jaminan melakukan ibadah secara aman bagi semua pemeluk agama.
"Pasal 28 dalam PBM mengatur jika masih terjadi sengketa maka negara wajib menjamin penyelenggaraan ibadah tetap berlangsung. Jadi semangatnya bukan membatasi tapi membantu," tukas Ihsan.
Catatan Yayasan Setara yang banyak mendalami kasus-kasus intoleransi di Indonesia menyebut sepanjang delapan tahun terakhir terjadi sedikitnya 316 kasus perusakan rumah ibadah, sebagian karena tarik-ulur izin mendirikan bangunan.
Dari ratusan kasus tersebut, bagian terbesar merupakan kasus pendirian gereja.
Saat ini Kementerian Agama tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Perlindungan Umat Beragama yang diharapkan mampu mencegah munculnya konflik dalam pendirian rumah ibadah.
Dalam RUU itu akan diatur juga tata cara penyiaran agama di tengah publik.
Versi sebelumnya mencantumkan jumlah yang salah harus menyertakan minimal 90 penduduk sekitar lokasi untuk pembangunan rumah ibadah.