Total 929 WNI yang dievakuasi dari Sudan telah tiba di Tanah Air

Para warga yang trauma terjebak perang itu dipulangkan dalam empat penerbangan.
Pizaro Gozali Idrus
2023.05.02
Jakarta
Total 929 WNI yang dievakuasi dari Sudan telah tiba di Tanah Air Seorang mahasiswa Indonesia yang dievakuasi dari Sudan disambut keluarganya saat kedatangannya di Bandar Udara Internasional Sultan Iskandar Muda di Blang Bintang, Aceh, 2 Mei 2023.
[Chaideer Mahyuddin/AFP]

Sebanyak 100 warga Indonesia yang dievakuasi dari Sudan kembali mendarat di Jakarta pada Selasa (2/5), sebagai bagian dari total 929 orang yang telah tiba di Tanah Air, ungkap Kementerian Luar Negeri Indonesia.

Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengatakan ke-100 warga itu merupakan rombongan besar terakhir yang dipulangkan ke Indonesia, menyusul tiga tahap kepulangan sebelumnya, menambahkan masih tersisa 20 orang yang telah dievakuasi namun belum dipulangkan.

Menurut Retno pemulangan tahap pertama, 385 orang tiba pada 28 April dengan Garuda Indonesia. Tahap kedua 363 orang tiba pada 30 April dengan Garuda Indonesia. Tahap ketiga 75 orang tiba 1 Mei dengan pesawat TNI AU.

“Sementara enam WNI mengatur kepulangannya secara mandiri," jelas Retno dalam konferensi pers virtual, Selasa (2/5).

Menteri Retno mengaku bersyukur proses evakuasi WNI dapat dijalankan dengan baik di tengah banyak negara yang masih berusaha mengevakuasi warga negaranya dari Sudan yang sedang dilanda perang saudara.

"Pada kesempatan ini, saya ingin sampaikan penghargaan dan terima kasih kepada pemerintah Mesir dan Uni Emirat Arab yang telah membantu evakuasi beberapa WNI ke luar dari Sudan," ucap Retno.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Teuku Faizasyah menambahkan rombongan keempat itu mendarat pada Selasa di Bandara Sukarno-Hatta, Banten, jam 05.30 WIB.

“Ini tahap keempat. Masih ada kemungkinan kedatangan dalam jumlah kecil. Data jumlah dan kapan tibanya mohon menunggu perkembangan dulu,” jelas Faizasyah kepada BenarNews.

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Khartoum mencatat ada 1.209 WNI di Sudan, terdiri dari pelajar, pengusaha, pekerja,  dan anggota diplomat RI.

Tidak diketahui bagaimana nasib dari 200-an lebih warga Indonesia yang tidak ikut dalam rombongan warga yang dievakuasi dari Sudan. Media melaporkan seperti juga di negara-negara lain yang sedang mengalami konflik, terdapat sejumlah kecil WNI yang tidak mau dipulangkan ke Tanah Air karena alasan-alasan tertentu.

Asap membumbung dari lokasi tempat tinggal penduduk di Khartoum, Sudan, pada 1 Mei 2023 ketika terjadi bentrokan mematikan antara dua pasukan jenderal militer di negara itu yang meletus sejak pertengahan April lalu. [AFP]
Asap membumbung dari lokasi tempat tinggal penduduk di Khartoum, Sudan, pada 1 Mei 2023 ketika terjadi bentrokan mematikan antara dua pasukan jenderal militer di negara itu yang meletus sejak pertengahan April lalu. [AFP]

Pengalaman traumatis WNI di Sudan

Yan Yan Fathurohman (31), salah satu warga Indonesia yang berhasil dievakuasi dari Sudan pada tahap pertama, mengatakan perang di Sudan terjadi secara tiba-tiba dan cepat tanpa peringatan sebelumnya.

“Saya kira suara perayaan pengantin, karena khas masyarakat Arab acara pernikahan ada rentetan tembakan, tapi ini rentetannya terus menerus. Setelah rentetan peluru, tiba-tiba ada suara dentuman bom,” ujar Yan Yan kepada BenarNews, Selasa.

Yan Yan, yang menjadi peserta rombongan pertama pulang ke Indonesia pada 28 April, telah bermukim di Sudan sejak 2013 dalam rangka studi, mengaku trauma atas kejadian yang dialaminya mengingat saat itu telah memasuki 10 hari terakhir bulan Ramadan. 

“Saat itu, aktivitas masyarakat di Sudan fokus beribadah ke masjid untuk berburu lailatul qadar (Malam Kemulian),” kata Yan Yan, yang tinggal di Sudan bersama istri dan dua anaknya.

Ketika hari pertama perang pada tanggal 15 April 2023, Yan Yan sedang bekerja di KBRI di Sudan sebagai penerima tamu dan keamanan, namun tepat jam 9 pagi waktu setempat, dirinya mulai mendengar bunyi tembakan.

“Saat itu, istri menangis ketakutan karena lokasi ledakan dan rentetan tembakan senjata berada tidak jauh dari tempat mereka tinggal di Ibu Kota Sudan Khartoum,” kata Yan Yan.

“Jadi sangat mencekam sekali pada hari pertama,” ujar dia.

Perang juga membuat Yan Yan kesulitan mencari keperluan makan dan logistik bagi keluarganya, sebab pasar dan supermarket di Khartoum tutup akibat konflik.

Beruntung dia masih menemukan sebuah warung yang menjual kebutuhan logistik, meski hanya melayani pembeli satu hingga dua jam saja.

“Warungnya pun tertutup, kita datang ke warung itu harus ketuk-ketuk, gak seperti biasanya. Orang yang masuk dibatasi, yang lainnya menunggu di luar atau pulang dulu nunggu kosong,” jelas dia.

Mengingat konflik yang terus meluas, Yan Yan beserta keluarga memutuskan meninggalkan Khartoum menuju Jeddah, Arab Saudi, melalui proses evakuasi yang dilakukan Kementerian Luar Negeri Indonesia.

“Tanggal 23 April kami berangkat dari Khartoum, muatan satu busnya sekitar 55 orang, tapi akhirnya ditambah menjadi 65 orang. Sebagian ada yang duduk di tengah,” ujar Yan Yan.

Setelah melalui perjalanan panjang, Yan Yan bersama keluarganya akhirnya merapat di Port Sudan, untuk menyeberang dengan kapal laut menuju Jeddah.

“Kami check in di kapal milik Saudi yang kapasitasnya sekitar 1.600 orang, berbagai negara ada. Total perjalanan mencapai 31 jam,” ujar Yan Yan.

Setelah sampai Jeddah, Yan Yan langsung bergegas untuk menginap di kota itu dan mendapatkan hotel selama sehari semalam. Keesokan harinya dia bersama rombongan diberangkatkan melalui kloter pertama dengan pesawat Garuda yang total menampung 385 WNI.

“Kami akhirnya tiba di Jakarta lalu diberangkatkan ke Asrama Haji Pondok Gede, Jawa Barat untuk istirahat. Proses perjalanan yang panjang, total lima hari dari Khartoum hingga kami berhasil bisa tiba di Jakarta,” ucap dia.

PBB mencatat lebih dari 500 orang tewas dan setidaknya 5000-an orang luka-luka sejak pertempuran pecah pada 15 April 2023 antara dua jenderal militer yaitu Jenderal Abdel Fattah Al Burhan yang memimpin pasukan angkatan darat Sudan (SAF) dan Jenderal Hamdan Dagalo yang memimpin paramiliter Rapid Support Forces (RSF).

Kedua jenderal tersebut telah terlibat konflik perebutan kekuasaan selama bertahun-tahun.

Ini bukan pertama kalinya Indonesia mengevakuai warganya dari Sudan. Sebelumnya, pada 2003, saat perang saudara serupa meletus, Indonesia juga menjemput warganya yang terjebak dalam konflik di negara Afrika itu.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.