Pengadilan militer vonis 3 tentara seumur hidup karena bunuh warga sipil
2023.12.11
Jakarta
Pengadilan Militer Jakarta pada Senin (11/12) menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap tiga tentara termasuk seorang anggota Pasukan Pengaman Presiden yang terbukti melakukan pembunuhan berencana didasari pemerasan terhadap seorang warga sipil pada Agustus lalu.
Ketiga tentara tersebut yakni Prajurit Kepala Riswandi Manik yang bertugas sebagai Pasukan Pengamanan Presiden, Praka Heri Sandy yang berdinas di Direktorat Topografi Angkatan Darat, dan Praka Jasmowir yang bertugas di Komando Daerah Militer Iskandar Muda juga dipecat sebagai anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dalam pertimbangannya, majelis beranggotakan tiga hakim yang dipimpin Kolonel Rudy Dwi Prakamto mengatakan para terdakwa, yang menyamar sebagai pembeli obat dan petugas polisi terbukti menculik, menyiksa, dan membuang jasad Imam Masykur (25), seorang penjual obat asal Aceh yang berdomisili di Tangerang, Banten, setelah korban tidak memberikan uang sebesar Rp50 juta yang diminta terdakwa.
Para terdakwa bahkan sempat mengirimkan video penyiksaan Imam kepada Ibunya, Fauziah, dan mengancam akan membunuh sang putra jika permintaan uang itu tidak dipenuhi.
Kasus ini mengejutkan publik dan menimbulkan pertanyaan mengenai disiplin militer yang memiliki sejarah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Indonesia.
"Terdakwa terbukti sah dan meyakinkan melakukan pembunuhan berencana, merampas nyawa orang lain secara bersama-sama, dan terbukti melakukan penculikan bersama-sama."
"(Menjatuhkan) pidana penjara seumur hidup dan dipecat dari TNI," lanjut Rudy, seraya menambahkan bahwa perbuatan terdakwa melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Ketiga terdakwa berdiri sepanjang sidang, mendengarkan putusan majelis hakim.
Begitu hakim Rudy membacakan vonis, Riswandi terlihat menangis dan menundukkan kepala.
Terkait putusan tersebut, ketiga terdakwa melalui kuasa hukum mengatakan pikir-pikir.
Adapun keluarga korban yang menghadiri persidangan sempat meneriakkan "banding" tatkala majelis hakim menanyakan langkah hukum yang akan ditempuh oditur militer, sebutan bagi pejabat yang berwewenang sebagai penuntut umum dalam peradilan militer.
Kuasa hukum keluarganya, Putra Safriza, mendesak oditur untuk mengajukan banding demi mengejar vonis mati untuk ketiga terdakwa. Oditur memutuskan untuk memikirkannya dalam tujuh hari ke depan.
"Kami menghormati hukuman hakim dan pertimbangan hidup hak asasi manusia, tapi kami juga mempertanyakan bagaimana hak hidup Imam Masykur?" ujarnya seusai persidangan.
Putusan ini memang lebih rendah ketimbang tuntutan oditur yang menginginkan para terdakwa divonis mati selain dipecat dari TNI.
Dalam pertimbangannya, majelis berpendapat hukuman mati terlalu berat dan menyebut hak hidup merupakan hak dasar sehingga negara tidak bisa serta merta mengambilnya.
Dalam pembelaannya pada persidangan sebelumnya, penasihat hukum menyangkal para terdakwa telah melakukan pembunuhan berencana.
Aksi berulang
Merujuk fakta persidangan, pembunuhan terhadap Imam Masykur terjadi pada 12 Agustus 2023, dimana Jasmowir berpura-pura membeli obat ilegal ke Imam dan setelah Imam menyerahkan obat tersebut, dua terdakwa lain kemudian datang dan berpura-pura sebagai polisi.
Ketiganya lantas meringkus Imam dan membawanya berkeliling Jakarta. Sepanjang perjalanan, para terdakwa bergantian memukuli dan mencambuk Imam sembari meminta uang sebesar Rp50 juta.
Sebuah video yang memperlihatkan korban yang tampak berlumuran darah mengerang kesakitan saat disiksa setelah dugaan penculikannya menjadi viral di media sosial pada Agustus. Dalam video tersebut, Imam terdengar meminta kepada kerabat yang ia ajak bicara melalui telepon untuk mengirimkan uang sebesar 50 juta rupiah, dan mengatakan bahwa para penculiknya akan membunuhnya jika ia tidak membayar.
Akibat penyiksaan itu, Imam meninggal pada 12 Agustus malam. Panik akibat kematian Imam, ketiga terdakwa kemudian membuang jasad Imam dari sebuah jembatan di Purwakarta, Jawa Barat.
Fauziah, ibu Imam, yang ikut menghadiri persidangan dalam beberapa kesempatan sebelumnya membantah tudingan tersangka yang menyebut anaknya pengedar narkoba.
Hakim anggota Mayor Aulia Dandel menambahkan, Riswandi Cs telah melakukan aksi culas tersebut sebanyak 14 kali – termasuk kasus Imam – di sejumlah daerah di sekitar Jakarta dan mendapatkan total uang sekitar Rp130 juta.
"Uang dibagi rata dan digunakan untuk kebutuhan hidup sehari-hari. Enggak ada yang tersisa," kata Aulia.
Hukuman sudah setimpal
Pengamat militer dari Centra Initiative, Al Araf, menilai hukuman kepada terdakwa sudah tepat.
“Hukuman mati memang bukan sebuah pilihan, jadi hukuman seumur hidup ini sudah tepat,” kata Araf kepada BenarNews.
Mengenai para terdakwa yang melakukan aksi kejahatan berulang kali, seperti terungkap di persidangan, dia mendesak TNI untuk mengetatkan evaluasi internal agar hal serupa tidak terulang.
Araf menilai maraknya kasus kejahatan yang dilakukan anggota militer salah satunya dipicu oleh rendahnya kesejahteraan.
“Alokasi anggaran harus digunakan untuk kesejahteraan prajurit agar mereka tidak mencari uang dengan cara yang tidak baik di luar tugas,” katanya.
“Selama ini kan jomplang kesejahteraan antara yang di atas dan bawah.”
Tidak transparan
Berdasarkan catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) sepanjang Desember 2022 hingga November 2023, tercatat 42 penyiksaan oleh aparat negara.
Penyiksaan oleh militer sebanyak enam kasus dengan empat meninggal dunia, kepolisian 31 kasus (11 meninggal dunia), dan sisanya oleh sipir penjara (dua meninggal), terang KontraS dalam catatan HAM yang dirilis kemarin.
Wakil Direktur Imparsial Ardi Manto mengkritik keputusan kepada tiga personel militer yang lebih rendah dari tuntutan oditur.
“Kekerasan-kekerasan militer kerap sekali berujung pada impunitas dan vonis yang rendah,” ujar dia kepada BenarNews.
Dia juga mengatakan sistem peradilan militer tersebut tidak akuntabel dan transparan serta sulit diakses masyarakat sipil.
“Ini pula yang terjadi pada kasus pembunuhan Imam Masykur,” jelasnya.
Ardi mencatat terjadi kenaikan tingkat kekerasan aparat militer yang pada tahun 2022 sebanyak 43 kasus, dan pada Januari hingga November 2023 bertambah menjadi 61 kasus. Korbannya warga sipil dan anggota kepolisian.
“Tapi mayoritas korbannya adalah warga sipil. Kekerasannya mulai dari ancaman intimidasi, sampai pembunuhan,” kata Ardi.
Menurut dia, peningkatan ini terjadi karena kekerasan yang dilakukan militer kerap tidak ditindak tegas oleh TNI.
“Tindakannya hanya sanksi internal yang jauh lebih ringan dari sanksi pidana,” ujar dia.
Awal tahun ini, pengadilan militer menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup kepada tiga tentara karena keterlibatan mereka dalam pembunuhan empat warga sipil di Papua tahun lalu.
Keempat korban dipenggal dan dipotong kakinya sebelum jenazahnya dimasukkan ke dalam karung dan dibuang ke sungai.