Kisah TKI Ilegal di Suriah, dari Janji Manis Hingga Siksa Fisik
2017.08.10
Jakarta
Suriah tidak pernah menjadi negara impian W. Perempuan 37 tahun asal Banyuwangi, Jawa Timur, itu mendambakan Abu Dhabi di Uni Emirat Arab, meskipun hanya sebagai pekerja rumah tangga.
Ketika tawaran bekerja di ibukota negeri kaya minyak itu mampir awal 2016, ia langsung mengiyakan. Apalagi, tawaran dibumbui gaji Rp4,5 juta per bulan. Bayangan untuk memperbaiki kehidupan keluarga sontak terlintas di kepalanya.
"Semuanya (bayangan) manis," tuturnya.
Namun mujur rupanya gagal diraih. Alih-alih sampai di Abu Dhabi, ia justru dibawa ke Damaskus, ibukota Suriah.
Dari televisi, ia sudah tahu kalau Suriah bukan tempat aman. Perang di mana-mana. Tak mengherankan nyalinya menciut.
"Tapi karena sudah di sana, ya, sudahlah (bekerja)," katanya lagi.
Hanya saja, seiring waktu ketakutannya memuncak. Bom berdentam hampir setiap malam, membuat pintu rumah majikannya bergetar seakan mau copot.
Ia makin keder karena anak majikannya berlaku kasar dan sering menyiksanya. Gajinya pun tak dibayar di bulan ketiga. Akhirnya W mengambil sikap: pulang ke Indonesia!
Rencana itu direalisasikan pada suatu malam, September 2016. Ia mengendap-endap meninggalkan rumah majikannya menuju kantor Kedutaan Besar Indonesia di Damaskus dengan menumpang kendaraan umum. Ia selamat.
Kisah itu dituturkannya kepada wartawan di Gedung Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Jakarta, Kamis, 10 Agustus 2017. Ia hadir untuk memberikan testimoni atas kasus perdagangan manusia yang menimpanya.
Menurut Kepala Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, Komisaris Jenderal (Komjen) Ari Dono Sukmanto, W hanyalah satu dari sekian banyak korban perdagangan manusia berkedok pengiriman tenaga kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri.
W, menurut Ari, adalah korban yang terhitung beruntung. Tak jarang WNI dijanjikan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga kemudian dijerumuskan jadi pekerja seks komersial (PSK).
"Catatan kami sebanyak 387 orang," tambah Ari menyebutkan jumlah WNI yang terjerumus sebagai PSK di Timur Tengah.
Bareskrim Polri mencatat, setidaknya 2.072 WNI menjadi korban perdangan manusia sejak moratorium pengiriman TKI ke negara-negara Timur Tengah diberlakukan pada 2011, karena wilayah tersebut dianggap belum menghargai hak-hak pekerja sektor non-formal, seperti pembantu rumah tangga.
Selain Suriah, pemerintah Indonesia juga menyetop pengiriman tenaga kerja Indonesia ke Arab Saudi, Bahrain, Irak, Iran, Kuwait, Lebanon, Libya, Maroko, Mauritania, Mesir, Oman, Palestina, Qatar, Yaman, dan Yordania.
Jaringan internasional
Menurut Ari, kepolisian menangkap dua tersangka yang memberangkatkan WNI ke Suriah secara ilegal pada Juni. Mereka adalah Pariati (51) dan Baiq Hafizah alias Evi (41) yang ditangkap di Nusa Tenggara Barat (NTB).
Keduanya terlibat bisnis haram ini semenjak 2014 dan telah memberangkatkan ratusan orang. Dari setiap orang yang diberangkatkan, mereka meraup untung Rp 10-15 juta. Bila terbukti di pengadilan, mereka terancam hukum maksimal 15 tahun penjara.
Sejak moratorium pengiriman TKI ke Timur Tengah, jelas Ari, kepolisian telah menetapkan 1.168 tersangka perdagangan manusia.
Dalam menjalankan aksinya, Pariati dan Evi mengibuli korban dengan berdalih mereka akan dikirim ke Malaysia sebagai pembantu rumah tangga ditambah janji akan diberikan gaji tinggi.
Namun sesampai di Malaysia, mereka diterbangkan ke Suriah dengan bantuan sebuah jaringan yang berasal dari Irak. Kelompok ini, tambah Ari, memang memanfaatkan Malaysia sebagai tempat singgah sebelum diterbangkan ke Suriah.
"Kami sudah bekerja sama dengan polisi Malaysia karena anggota jaringan lain bukan WNI," terang Ari.
Tak jarang pula Pariati dan Evi memalsukan identitas korbannya agar bisa berangkat ke luar negeri. Ari mengisahkan cerita seorang korban yang berusia 14 tahun yang dimanipulasi menjadi 19 tahun.
Pariati dan Evi, dua perempuan paling kanan, dan enam tersangka lain kasus perdagangan manusia ke Timur Tengah yang dihadirkan saat konferensi pers di Jakarta, 10 Agustus 2017. (Arie Firdaus/BeritaBenar)
Tak terkait ISIS
Ditanya apakah manipulasi identitas itu melibatkan aparat pemerintahan di Indonesia, Ari belum bisa memastikan. Dia hanya memastikan jaringan perdagangan manusia ini tidak terlibat kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS).
Kepastian tidak terkait ISIS juga disampaikan staf Kedutaan Besar Indonesia (KBRI) di Damaskus yang turut hadir dalam konferensi pers di Gedung Bareskrim, Abdul Kholiq.
"Kami sudah mencari tahu," katanya.
Salah satu siasat mencari tahu, terang Kholiq, dengan menggelar pengajian dan ceramah agama selama para korban dikumpulkan di tempat penampungan, yang disediakan KBRI di Damaskus. Materi yang disampaikan seputar ISIS.
“Dari sana kami menganalisa. Kalau ada yang diduga terafiliasi ISIS, kami akan beritahu ke pihak berwajib. Tidak akan dipulangkan," tambah Kholiq.
KBRI memprediksi lebih dari 2.000 WNI kini masih berada di Suriah. Namun, Kholiq tak bisa merincikan jumlah WNI yang terafiliasi dengan ISIS.
"Yang pasti sejak 2012, kami sudah pulangkan sekitar 13.000 terkait tindak pidana perdagangan orang," jelasnya.
Perihal masih maraknya pengiriman TKI ke Suriah dan Timur Tengah lain meski secara resmi telah dihentikan sejak 2011, Direktur Pengamanan dan Pengawasan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI) Nurwidianto menilai permintaan yang tinggi sebagai salah satu pemicunya.
Negara Timur Tengah, katanya, selama ini memang lebih menyukai TKI lantaran punya kesamaan agama.
“Makanya mereka selalu cari jalan dan sindikat lain untuk meloloskan (TKI)," katanya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Migrant Care, Wahyu Susilo, menilai penegakan hukum yang lemah sebagai salah satu maraknya perdagangan manusia ke luar negeri.
“Yang dihukum selama ini hanya orang per orang, sedangkan perusahaan dibiarkan saja,” ujarnya.