TNI Tepis Klaim Pemberontak Papua Bersatu

Victor Mambor & Ahmad Syamsudin
2019.07.05
Jayapura & Jakarta
Papua-head-1000.jpg Orang-orang Papua berparade di Surabaya, Jawa Timur, pada 1 Desember, 2018, untuk memperingati hari kemerdekaan Papua dari kolonial Belanda, yang setiap tahun dirayakan oleh kaum separatis sebagai simbol kemerdekaan mereka dari Indonesia.
Juni Kriswanto / AFP

Komando Daerah Militer (Kodam) XVII/Cenderawasih mengeyampingkan klaim seorang pemimpin separatis di pengasingan bahwa tiga faksi pemberontak bersenjata di Papua telah bersatu membentuk Tentara Papua Barat.

Kepala Penerangan Kodam XVII/Cenderawasih, Kol Inf. Muhammad Aidi mengatakan klaim Gerakan Pembebasan Bersatu untuk Papua Barat (ULMWP), pimpinan Benny Wenda yang menetap di Inggris, adalah "taktik untuk mendapatkan simpati publik".

"Pernyataan seperti itu dari dulu mereka lakukan," kata Aidi kepada BeritaBenar, Jumat, 5 Juli 2019. "Bagi kami, mereka mau bersatu atau terpecah, bukan jadi soal, bukan sesuatu ancaman."

“Tidak ada negara berdaulat yang akan mentolerir separatisme. Mereka tak hanya harus berhadapan dengan TNI, tapi juga seluruh rakyat Indonesia,” tambahnya.

Wenda, pemimpin ULWMP, menyatakan pekan ini bahwa tiga faksi – Tentara Revolusi Papua Barat, Tentara Nasional Papua Barat dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat – telah membentuk Tentara Papua Barat, 1 Mei lalu, untuk melawan pemerintah Indonesia.

"Ini penting karena ini adalah pertama kalinya semua faksi militer bersatu dalam sejarah perjuangan kami," katanya kepada BeritaBenar.

“Persatuan adalah kekuatan kami. Untuk pertama kali, kami secara politis dipersatukan di bawah ULMWP, dan secara militer dipersatukan di bawah Tentara Papua Barat.”

"Perkembangan ini menunjukkan kepada dunia bahwa kita siap untuk merdeka, siap membentuk pemerintahan yang bebas dari penjajahan Indonesia," tambahnya.

Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI, Mayor Jenderal Sisriadi tidak secara langsung menjawab pertanyaan klaim separatis Papua yang mempersatukan tentaranya.

“TNI masih dan akan terus membantu Polri dalam menegakkan hukum di Papua, dengan mencari dan menangkap para DPO kriminal bersenjata di Papua yang telah melakukan berbagai tindak kriminal seperti perusakan harta benda, pembunuhan terhadap warga masyarakat sipil dan tindak kriminal lainnya,” katanya saat dikonfirmasi.

“Beberapa orang penting dari kelompok kriminal bersenjata Papua telah menyadari kekeliruannya. Mereka menyerahkan diri berikut senjatanya kepada komandan pasukan TNI dan berjanji untuk bersama-sama masyarakat lainnya membangun Papua sebagai bagian integral NKRI.”

Tentara Indonesia membawa senjata mereka ketika berjalan menuju helikopter untuk terbang ke kecamatan Nduga, Wamena, Papua, tanggal 5 Desember 2018. (Antara Foto/Iwan Adisaputra via Reuters)
Tentara Indonesia membawa senjata mereka ketika berjalan menuju helikopter untuk terbang ke kecamatan Nduga, Wamena, Papua, tanggal 5 Desember 2018. (Antara Foto/Iwan Adisaputra via Reuters)

Dibantah OPM

Tapi klaim Wenda tersebut dibantah Organisasi Papua Merdeka (OPM) pimpinan Jeffrey Bomanak dan sayap militernya, Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB).

“Tentara Pembebasan Nasional-OPM bukan bagian ULMWP. OPM sudah lahir bahkan sebelum ada ULMWP. Kami adalah tentara, sementara ULMWP adalah gerakan sipil,” kata Bomanak kepada BeritaBenar.

Juru bicara TPNPB, Sebby Sambom, menambahkan pihaknya tak terlibat dalam kongres seperti disebutkan Wenda tentang pembentukan Tentara Papua Barat.

Bahkan pimpinan gerilyawan seperti Goliat Tabuni, Egianus Kogoya dan Puron Wenda tidak hadir dalam pertemuan tersebut, kata Sebby.

"Saya mendengar bahwa kongres luar biasa diadakan di Vanimo (PNG) pada bulan Mei. Tetapi kami tidak tahu apa-apa tentang itu, jadi kami menolak semua hasilnya," katanya kepada BeritaBenar, Kamis.

Para gerilyawan Papua sering dipandang sebagai kelompok yang kekurangan peralatan militer modern.

Sebagian besar senjata mereka adalah instrumen tradisional seperti tombak dan panah, dengan senjata api yang biasanya hasil rampasan dari pasukan keamanan pemerintah.

Hipo Wangge, peneliti Akademi Marthinus di Jakarta, meragukan klaim pembentukan Tentara Papua Barat.

"Sifat tentara pembebasan telah terfragmentasi sejak 1960-an," katanya.

Pasukan TNI/Polri mengintensifkan operasi di Papua setelah pemberontak membunuh 19 pekerja konstruksi jalan dan seorang prajurit di Kabupaten Nduga, Desember lalu.

Kantor berita The Associated Press melaporkan bulan lalu bahwa remaja dan anak-anak terlibat dalam kelompok bersenjata di Papua.

Wenda mengatakan gerakan separatis "berkomitmen mengimplementasi penuh hukum internasional, tidak seperti pendudukan Indonesia yang ilegal."

“Sejak Desember 2018, lebih 30 anak-anak telah terbunuh akibat serangan pemboman dan operasi darat,” katanya.

Namun, TNI dan polisi telah berulang kali membantah kalau warga sipil menjadi sasaran operasi keamanan di Papua.

Aktivis pegiat hak asasi manusia (HAM) menuduh aparat keamanan di Papua melakukan pelanggaran serius di provinsi tersebut.

Warga sipil di Nduga terpaksa melarikan diri guna menghindari terjadi bentrokan antara pemberontak Papua dan pasukan keamanan pemerintah yang dikirim untuk menangkap pelaku yang bertanggung jawab dalam pembunuhan pekerja Jalan Trans-Papua, akhir tahun lalu.

Pembangunan jembatan sebagai bagian dari jalan raya yang membentang lebih dari 4.300 km (2.687 mil) dari Sorong, kota terbesar di Papua Barat, ke Kabupaten Merauke telah dimulai kembali setelah pengiriman lebih dari 600 tentara untuk mengamankan proyek, yang dijadwalkan selesai pada 2019.

Pemberontak pimpinan Egianus Kogoya sebelumnya mengancam terus menyerang aparat keamanan Indonesia yang mengamankan pembangunan Jalan Trans Papua.

“Kami bukan KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata), KKSB (Kelompok Kriminal Separatis Bersenjata) atau teroris. Kami anak bangsa yang sedang berjuang di atas tanah ini,” kata pria yang membacakan pernyataan Egianus dalam video yang dirilis Maret lalu.

Belum Ditemukan

Sementara itu, helikopter TNI Angkatan Darat, yang hilang dengan 12 orang di dalamnya pada Jumat lalu, belum juga ditemukan setelah sepekan dilakukan upaya pencarian.

Helikopter Mi-17 buatan Rusia hilang kontak beberapa menit setelah lepas landas dari Bandara Oksibil di wilayah Pegunungan Bintang.

“Kita melakukan pencarian, namun masih nihil, belum ada tanda-tanda,” kata Aidi.

“Kita mendapatkan info terbaru dari masyarakat, arah di sekitar distrik Lere, di wilayah kabupaten Jayapura. Kita kembangkan namun belum mendapatkan titik terang.”

Kepala SAR Jayapura, Putu Arga menyatakan proses pencarian di wilayah Pegunungan Bintang tidak mudah karena kondisi alamnya yang ekstrem.

"Gunung di sana sangat curam, bahkan ada yang sampai 90 derajat sehingga perlu alat khusus untuk melewatinya," ujarnya seperti dikutip dari Kompas.com.

Papua adalah salah satu provinsi termiskin di Indonesia meskipun memiliki sumber daya alam yang kaya.

Papua menyatakan kemerdekaan dari pemerintahan kolonial Belanda pada 1 Desember 1961, tetapi deklarasi itu ditolak Belanda dan kemudian oleh Indonesia.

Pada 1963, pasukan Indonesia menyerbu wilayah itu dan mencaploknya.

Enam tahun kemudian mengadakan referendum kontroversial digelar yang menurut kelompok HAM, pasukan keamanan memilih sekitar 1.000 orang untuk menyetujui bergabungnya Papua dalam Indonesia.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.