TNI utamakan negosiasi untuk bebaskan sandera pilot Selandia Baru di Papua
2023.08.09
Jakarta
Memasuki bulan ketujuh penyanderaan pilot pesawat Susi Air oleh kelompok separatis Papua - waktu penawanan terlama yang pernah dilakukan oleh para pemberotak, militer Indonesia mengatakan masih memprioritaskan bekerja sama dengan pemimpin masyarakat dan negosiasi untuk pembebasan pilot asal Selandia Baru itu.
Kepala Pusat Penerangan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Laksamana Muda Julius Widjojono sebelumnya pengatakan bahwa pendekatan persuasif tersebut dilakukan untuk mencegah jatuhnya jumlah korban sipil, menambahkan bahwa operasi militer dilakukan sebagai upaya terakhir pembebasan Philip Mehrtens, pilot usia 37 tahun yang disandera sejak 7 Februari itu.
"TNI memutuskan mengutamakan koordinasi dengan tokoh masyarakat dan tokoh agama sebagai upaya pembebasan pilot," kata Julius kepada BenarNews, Rabu (9/8).
Julius menambahkan bahwa tentara siap melakukan operasi militer jika diperlukan untuk membebaskan sandera ayah satu anak tersebut.
“Jangan ragukan kinerja TNI, mereka telah mempertaruhkan nyawa secara total untuk membebaskan sandera,” imbuhnya.
TNI menetapkan pendekatan tersebut di tengah seruan Perdana Menteri Selandia Baru Chris Hipkins pada Rabu di Auckland yang mendesak Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) untuk segera membebaskan pilot itu.
Kementerian Luar Negeri Indonesia terus berkomunikasi dengan pemerintah Selandia Baru setelah PM Hipkins melakukan desakan langsung kepada kelompok pemberontak untuk membebaskan pilot tersebut.
“Sampai saat ini komunikasi antara pemerintah (Indonesia) dan Selandia Baru terus berjalan,” kata Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Indonesia Teuku Faizasyah kepada BenarNews.
Senada dengan TNI, Polri mengatakan pihaknya mengutamakan negosiasi sebagai upaya pembebasan sandera secara aman dengan meminta bantuan para tokoh masyarakat untuk mendekati komandan pemberontak, Egianus Kogoya.
Pada 7 Februari, pesawat Pilatus PC-6 Porter milik Susi Air terbang dari Mimika pagi hari dan mendarat di Distrik Paro, Kabupaten Nduga, provinsi Papua Pegunungan, sebelum dibakar oleh TPNPB, lalu menculik pilotnya setelah membebaskan lima orang penumpangnya.
Ketika itu Egianus Kogoya yang merupakan komandan TPNPB setempat mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa mereka tidak akan melepaskan pilot tersebut kecuali Indonesia membebaskan Papua dari “penjajahan.”
Dalam pemberitaan pada April lalu juru bicara TPNPB Sebby Sambom mengatakan bahwa Mehrtens aman dan dalam keadaan sehat.
Saat BenarNews menghubungi Sambom hari ini, ia tidak memberikan respons yang memadai.
"Saya masih di area publik jadi belum bisa merespons," kata Sambom kepada BenarNews.
Penyanderaan terhadap Philip Mehrtens ini adalah penawanan terlama yang dilakukan oleh kelompok separatis bersenjata Papua sebagai alat untuk menyuarakan tuntutan kemerdekaan dari Indonesia.
Sebelumnya, 26 peneliti berkewarganegaraan Indonesia dan asing yang tergabung dalam Ekspedisi Lorentz 95 disandera sekitar 4 bulan lebih oleh kelompok separatis bersenjata pada awal tahun 1996 di kampung Mapenduma, distrik Tiom, Jayawijaya.
TPNPB Papua kerap melakukan serangan terhadap orang dari luar Papua, terutama mereka yang terlibat dalam proyek infrastruktur pemerintah.
Pada Julı 2022, mereka membunuh delapan pekerja yang sedang memperbaiki menara telekomunikasi di Kabupaten Puncak.
Serangan tersebut adalah yang paling fatal oleh gerilyawan di wilayah paling timur Indonesia itu sejak 2018, ketika anggota kelompok separatis menyerang pekerja yang sedang membangun jalan dan jembatan di Nduga, menewaskan 20 orang, termasuk seorang anggota TNI.
Saat itu, TPNPB menyebut mereka yang tewas bukanlah pekerja sipil, melainkan tentara dari detasemen zeni TNI AD.
Kekerasan di Papua telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir.
Pada 2019, lebih dari 40 orang tewas dalam kerusuhan di Papua setelah polisi menggerebek asrama pelajar Papua di Surabaya dan menangkap puluhan orang di asrama tersebut dengan tuduhan melecehkan bendera merah putih.
Dalam video yang tersebar terkait kejadian itu, aparat terlihat menggunakan kekuatan yang berlebihan dan meneriakkan istilah rasis kepada orang Papua di asrama itu.
Pasukan Indonesia menguasai Papua setelah mengambil alih dari kekuasaan kolonial Belanda pada tahun 1963.
Pada tahun 1969, di bawah pengawasan PBB, Indonesia mengadakan referendum Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) di Papua, yang hanya diwakili oleh sekitar 1.000 orang. Hasil dari Pepera itu menjadikan Papua bagian dari Republik Indonesia hingga saat ini.