Pasca Jatuhnya Pesawat Trigana, Kondisi Penerbangan Perintis Jadi Sorotan

Oleh Zahara Tiba
2015.08.24
150824_ID_AIR_SAFETY_620.jpg Alan Warisman Sane (16) di samping peti jenazah kakaknya, salah satu korban kecelakaan Trigana Air Teguh Warisman Sane (26) di rumah duka di Sigi, Sulawesi Tengah, 23 Agustus 2015.
BeritaBenar

Sementara proses evakuasi dan identifikasi korban kecelakaan pesawat Trigana Air IL-267 yang jatuh di Pegunungan Bintang, Papua, masih berlangsung, penerbangan perintis yang menghubungkan daerah-daerah pelosok kembali menjadi sorotan.

Kondisi geografis Papua yang berbukit-bukit menjadi tantangan unik tersendiri bagi operator penerbangan perintis di sana. Risiko kecelakaan pun mengintai setiap saat.

Laman www.aviation-safety.net mencatat sekitar 35 kecelakaan terjadi di Indonesia sepanjang Januari 2010 hingga 16 Agustus 2015, hari jatuhnya pesawat nahas tersebut. Hampir setengahnya, 14 kecelakaan, terjadi di Papua.

Pengamat penerbangan Gerry Soejatman mengatakan kecelakaan-kecelakaan tersebut rata-rata terjadi di daerah pegunungan.

“Itu masuk akal. Fasilitas minim, sementara transportasi udara menjadi andalan di sana. Tak hanya untuk transportasi manusia, tapi juga barang-barang. Apapun diangkut (dengan pesawat) di Papua. Karena itu kita tidak bisa menyamakan standar keselamatan penerbangan di sana dengan bagian Indonesia lainnya,” kata Gerry kepada BeritaBenar.

Kondisi ini, ujar Gerry, pernah dialami oleh Amerika Serikat sendiri dimana tingkat keselamatan penerbangan selalu menjadi sorotan. Sebelum tahun 2005, sepertiga jumlah kecelakaan di Amerika Serikat terjadi di Alaska.

Jika dirata-ratakan, lanjutnya, setiap sembilan hari pasti ada satu orang yang meninggal karena kecelakaan pesawat. Bahkan sepuluh persen dari jumlah pilot yang terbang di Alaska meninggal karena kecelakaan.

Namun sejak 2005, menurut Gerry, pemerintah Amerika Serikat dan pemerintah daerah setempat bekerja sama berusaha meningkatkan keselamatan dan keamanan penerbangan dengan menurunkan jumlah kecelakaan. Caranya, pemerintah memperbaiki infrastruktur penerbangan di sana.

Hasilnya, “jumlah kecelakaan menurun hingga 50 persen dalam waktu lima tahun”.

Untuk itu, Gerry mengingatkan agar pemerintah pusat maupun daerah segera duduk bersama untuk membahas isu ini.

Balik lagi, nyawa ada harganya tidak? Kalau iya, jangan hanya secara sepihak menekan operator. Harus duduk bersama. Siapapun yg merasa isu ini penting, silakan inisiatif untuk memulai terlebih dahulu pembahasan ini. Kalau Kementerian Perhubungan peduli, silakan mulai lebih dulu,” ujarnya.

Kecelakaan pesawat Trigana rute Sentani-Oksibil itu di Papua, lanjut Gerry, merupakan potret belum meratanya pembangunan di Indonesia.

Dia berharap tragedi ini bisa membuka mata publik bahwa Indonesia bukan hanya Jawa, Bali, dan Sumatra.

“Mungkin di Kalimantan masih ada jalur sungai yang menjadi alternatif transportasi. Tantangannya pasti berbeda. Namun, Papua ini unik. Ada kasus yang melibatkan warga lokal saja disana, bisa-bisa Bandara Sentani ditutup sehari, dikepung warga lokal,” katanya.

Penerbangan perintis bentuk kepedulian pemerintah

Ketua Umum Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Tatang Kurniadi, membenarkan bahwa wilayah geografis Papua yang luas dan berbukit menjadi tantangan tersendiri bagi penerbangan di sana.

“Banyaknya gunung dan hutan, cuaca tidak bisa diprediksi. Kadang cuaca diprediksi cerah, namun sepuluh menit kemudian mendung. Kalau pesawat masih di bandara, penerbangan masih bisa ditunda. Yang bahaya kalau pesawat sudah di atas, tertutup awan. Jalan terbaik terbang di atas awan,” ujar mantan Kepala Landasan Udara Sentani tersebut kepada BeritaBenar.

Dengan jumlah penduduk sekitar tiga juta jiwa yang tersebar di daerah seluas 300 ribu kilometer persegi, transportasi menjadi isu utama.

Karena jalur darat tidak memungkinkan, Tatang mengatakan transportasi udara merupakan solusi tepat.

Tetapi dengan minimnya dataran luas, maka umumnya pesawat-pesawat kecil saja yang mampu menyentuh daerah-daerah tersebut. Penerbangan perintis hadir dengan menggunakan pesawat-pesawat kecil, lincah dan tidak terlalu berat.

“Pesawat besar tidak mungkin karena butuh landasan yang panjang dan lebar, sementara dataran seluas sepuluh kilometer persegi saja tidak ada. Adanya di lembah, tapi pasti tantangannya luar biasa. Mau buatnya pun harus menggunakan alat-alat berat,” ujar Tatang.

Sulitnya membangun infrastruktur karena medan yang tidak bersahabat, menurut Tatang, mendorong pemerintah untuk membangun fasilitas seadanya.

“Mau tidak mau demi kemanusiaan, pemerintah hadir di tengah-tengah mereka lewat pesawat-pesawat kecil dan landasan-landasan yang sederhana. Kalau mau memenuhi standar internasional, sulit diwujudkan dan pada akhirnya rakyat di sana terbengkalai.”

Tatang mengatakan, memang sejauh ini sebagian besar landasan terbuat dari rumput dan diperkuat. Jumlah landasan sederhana ini berkisar 400 buah di seluruh Indonesia.

Operator penerbangan perintis, kata Tatang, juga harus memenuhi persyaratan, yaitu pesawat tidak harus baru tetapi laik terbang. Pilot juga harus terlatih dan banyak pengalaman, karena alat navigasi belum modern.

“Mereka harus hafal medan di sana, lika-liku bukit-bukit di sana. Karena kalau mau buat peralatan navigasi di sana juga harus ada daerah datar,” ungkap Tatang.

“Para pilot ini luar biasa, mau mendedikasikan diri mendukung program-program pemerintah menyentuh rakyat di pedalaman. Para penerbang yang beroperasi di daerah-daerah terpencil itu adalah pahlawan-pahlawan pembangunan,” tukasnya.

Pemasaran rute juga jadi tantangan

Sementara itu, tantangan penerbangan perintis juga datang dari sisi bisnis. Denon Prawiraatmadja, ketua Penerbangan Tidak Berjadwal Asosiasi Maskapai Indonesia (INACA), mengatakan kepada BeritaBenar bahwa untuk mendapatkan izin rute tidak mudah.

Penerbangan perintis, baik airlines atau air charter, diberikan izin kalau belum ada maskapai lain yang menempuh rute tersebut. Mereka dapat subsidi dari pemerintah karena rute tersebut belum ada yang garap,” kata Denon.

Di Indonesia, penerbangan perintis hadir karena banyak kota atau destinasi yang hanya bisa dijangkau melalui transportasi udara, yang sebenarnya bertujuan untuk mendongkrak perekonomian di daerah tersebut.

Hanya saja, dengan rute khusus dan jumlah penumpang yang minimum, maskapai ditantang untuk bisa mengelola keuangannya supaya tetap bisa membiayai operasional penerbangan rute tersebut.

Selain itu, perusahaan juga tetap harus memenuhi standar keselamatan dalam kategori yang sesuai dengan peraturan.

“Maskapai harus rajin memasarkan rute tersebut,” kata Denon.

Untuk jenis pesawat penerbangan perintis yang beroperasi di Papua, Denon mengatakan sudah sesuai dengan standar. Pesawat yang kebanyakan bermesin turbin propeler tersebut memang diciptakan untuk terbang di atas ketinggian 2000 kaki.

“Jadi untuk di Papua harusnya tidak ada masalah,” kata Denon.

Perubahan jangka panjang

Denon mengakui upaya yang dilakukan oleh Kementerian Perhubungan di bawah kepemimpinan Menteri Ignasius Jonan cukup banyak.

“Banyak peraturan menteri yang dikeluarkan terkait masalah safety level kepemimpinan Pak Jonan, jika dibandingkan dengan sebelum. Memang apa yang dirilis oleh Pak Jonan tidak dapat dirasa dalam waktu dekat manfaatnya, tapi dalam jangka waktu panjang akan dirasakan masyarakat Indonesia,” ungkap Denon.

Dia mengatakan bahwa di Kementrian Perhubungan saat ini lebih menyadari pentingnya keselamatan dibandingkan pemerintahan sebelumnya.

“Kalau dulu minim peraturan menteri, sekarang ada 30-an,” tambahnya.

Menurut data Kemenhub, Indonesia saat ini memiliki 217 rute penerbangan perintis, termasuk 65 jalur baru yang dibuka tahun ini.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.