Warga Uighur “Calon Pengantin” Dihukum Enam Tahun Penjara
2016.11.02
Jakarta

Seorang warga etnis Uighur divonis enam tahun penjara dan denda Rp50 juta oleh majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Timur, Rabu, 2 November 2016.
Nur Muhammet Abdullah alias Faris Abdulla Cuma alias Faris Kusuma alias Ali, warga Uighur tersebut, terbukti terlibat dalam pemufakatan jahat, menyimpan senjata api dan amunisi, menyediakan dana untuk terorisme di Indonesia, dan menyiapkan diri sebagai pelaku bom bunuh diri.
"Dari keterangan saksi yang juga terdakwa, seperti Arif Hidayatullah dan Andika Bagus Setiawan, terdakwa (Ali) diketahui bertugas mengeluarkan serbuk petasan untuk bahan baku bom saat berada di Puncak, Jawa Barat," kata hakim ketua Novvry Tammy Oroh dalam pembacaan putusan, “sehingga unsur melawan hukum terpenuhi secara sah."
Arif disebut-sebut sebagai "tangan kanan" Bahrun Naim, warga negara Indonesia (WNI) yang jadi simpatisan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) yang kini berada di Suriah. Bahrun juga disebut kepolisian sebagai dalang aksi teror di kawasan Thamrin, Jakarta Pusat, 14 Januari lalu.
Arif telah dihukum enam tahun penjara oleh hakim PN Jakarta Timur, awal Oktober lalu.
Adapun Andika divonis lima tahun penjara di pengadilan yang sama pada Februari 2016 karena keterlibatan dalam perencanaan serangan teroris akhir tahun 2015.
‘Calon pengantin’
Hakim Novvry mengatakan sebagai "calon pengantin", sebutan kelompok teroris untuk pelaku bom bunuh diri, Ali berencana akan meledakkan diri di perkumpulan Syiah di Bogor, Jawa Barat.
Selain menyasar Syiah, kelompok ini juga menargetkan perkumpulan Yahudi di Bogor, dan beberapa pejabat, seperti Badrodin Haiti yang saat itu menjabat Kapolri, Tito Karnavian yang ketika itu masih menduduki Kepala Polda Metro Jaya, dan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama.
Belakangan, rentetan rencana aksi itu urung terlaksana karena silang pendapat antara Ali dan anggota kelompok lain, seperti Arif, Andika, dan seorang militan lainnya, Nur Rohman. Mereka berpencar dan memisahkan diri.
Ali dan Arif bertahan di Bekasi, Jawa Barat, hingga ditangkap tim Detasemen Khusus Antiteror (Densus 88) Mabes Polri pada 23 Desember tahun lalu.
Andika dan Rohman menuju Solo, Jawa Tengah. Andika tertangkap pada 29 Desember tahun 2015. Sedangkan Rohman yang lolos dari sergapan aparat Densus 88 kemudian meledakkan diri di Markas Kepolisian Resor Kota Solo, 5 Juli 2016.
"Kegagalan aksi itu karena beda pendapat di antara mereka sendiri," kata Novvry.
"Jadi unsur pidana tetap terpenuhi, karena tindakan terdakwa berpotensi menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat."
Terima vonis
Seusai persidangan, Ali mengaku menerima vonis yang dijatuhkan hakim.
Arman Remy, kuasa hukum Ali mengatakan, kliennya telah mengaku bersalah sehingga menerima putusan yang dijatuhkan hakim. Apalagi, vonis ini lebih rendah ketimbang tuntutan jaksa, yaitu delapan tahun penjara dan denda Rp50 juta.
Ali didakwa melanggar Pasal 15 juncto Pasal 9 Undang-undang 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Pasal 5 juncto Pasal 4 Undang-undang 9/2013 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme, dengan ancaman hukuman maksimal 20 tahun penjara.
"Daripada pas banding ternyata (hukuman) dinaikkan. Ya, diterima saja," kata Arman kepada BeritaBenar usai sidang.
Ingin jadi WNI
Sebelum menyampaikan tanggapannya soal vonis, Ali melalui kuasa hukumnya sempat menyuarakan hasrat untuk menjadi WNI.
"Setelah sampai di sini (Indonesia), terdakwa ternyata merasa senang karena orangnya baik-baik," ujar Arman, "meskipun awalnya ingin menuju Turki."
Pernyataan ini direspons hakim Novvry, "Ya, dijalani saja dulu masa hukumannya. Baru diurus menjadi WNI."
Vonis Ali menambah daftar warga etnis Uighur yang telah diputuskan bersalah terlibat tindak pidana terorisme oleh pengadilan Indonesia.
Uighur di MIT
Juli tahun lalu, PN Jakarta Utara telah memvonis empat warga etnis Uighur, yaitu Ahmet Bozoglan, Ahmet Mahmud, Abdul Basit, dan Abdullah alias Altinci Bayyram.
Mereka ditangkap di Poso, Sulawesi Tengah, saat hendak bergabung dengan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso yang telah berbaiat dengan ISIS. Santoso telah tewas dalam operasi TNI/Polri, 18 Juli lalu.
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memang pernah menyatakan cukup banyak warga etnis Uighur yang datang ke Indonesia untuk bergabung dengan jaringan kelompok militan.
Meski tak pernah menyebut jumlah pasti, namun enam warga Uighur turut tewas dalam beberapa bulan terakhir saat operasi perburuan Santoso di Poso.
Etnis Uighur yang kebanyakan bermukim di Provinsi Xinjiang, China, dipandang sebagai kelompok marginal oleh Pemerintah Beijing. Tindakan ini lantas memicu mereka keluar dari China menuju negara-negara lain, termasuk Indonesia.
Pendukung Uighur yang berbasis di Amerika Serikat pernah menyebut China telah merekayasa tuduhan "Terorisme Uighur" untuk membenarkan penindasan terhadap Muslim minoritas di negara tersebut.