UNHCR kembali desak Indonesia untuk terima pengungsi Rohingya mendarat di Aceh
2023.11.17
Jakarta
Badan urusan pengungsi PBB, UNHCR, kembali mendesak pemerintah Indonesia untuk mengizinkan mendarat lebih dari 200 pengungsi Rohingya, yang perahunya kemarin ditolak oleh warga Aceh, setelah awal minggu ini penduduk di provinsi itu menampung lebih dari 340 pengungsi etnis minoritas asal Myanmar tersebut yang datang dalam dua gelombang.
Polisi mengatakan kelompok pengungsi Rohingya yang sebelumnya ditolak di Bireuen dan Lhokseumawe kini terpaksa berlayar kembali usai ditolak mendarat oleh masyarakat lokal.
Ann Maymann, Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia, mengharapkan masyarakat Aceh tetap dapat membuka pintu bagi para pengungsi karena banyak di antara mereka merupakan anak-anak dan perempuan.
“UNHCR meminta agar kepedulian dan keramahan diberikan secara berkelanjutan untuk mendukung pendaratan perahu lain yang mungkin akan datang, termasuk perahu ketiga yang saat ini terombang-ambing di lepas pantai Aceh,” ujar Ann Maymann, Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia, dalam keterangannya kepada BenarNews, Jumat (17/11).
Maymann mengatakan selain perahu yang mengangkut lebih dari 200 orang kemarin yang saat ini masih belum dapat mendarat, laporan lain menunjukkan setidaknya ada satu perahu lain yang kemungkinan masih terkatung-katung di laut.
Bahkan, kata Maymann, kemungkinan lebih banyak kapal akan berangkat dari Bangladesh dan Myanmar dalam waktu dekat, karena pengungsi Rohingya terus mencari perlindungan.
"Para pengungsi Rohingya sekali lagi mengambil risiko yang mempertaruhkan nyawa dalam mencari solusi," kata Maymann.
UNHCR sebelumnya mengapresiasi sikap masyarakat Aceh yang menerima dua gelombang pengungsi Rohingya pada 14 dan 15 November di Pidie dengan total 341 orang.
“Prioritas utama harus menyelamatkan nyawa dan menghindari tragedi yang lebih besar,” jelas Maymann.
Berdasarkan data dari UNCHR, total ada sekitar 480 pengungsi Rohingya yang saat ini berada di Aceh.
Humas Polres Lhokseumawe Salman Alfarisi mengatakan kapal yang ditolak warga saat ini sudah meninggalkan perairan Muara Batu, Lhokseumawe.
“Mereka berlayar kembali semalam karena warga tetap menolak mereka,” kata Salman kepada BenarNews.
Dia mengakui bahwa polisi telah memantau pergerakan gelombang pengungsi Rohingya lainnya yang saat ini terkatung-katung di lautan dengan radius 10 mil dari pantai Lhoukseumawe.
“Posisi kita menunggu apakah mereka mau mendarat atau ingin terus berlayar,” jelasnya, seraya mengatakan juga tengah memastikan apakah mereka kapal yang sama.
Wakil Sekretaris Jenderal Panglima Laot Miftachuddin Cut Adek mengakui berbagai gelombang pengungsi Rohingya saat ini tengah berada di tengah lautan untuk menuju daratan Aceh.
“Jumlahnya tidak hanya satu kapal, tapi banyak. Satu kapal pengungsi terlihat di perairan Bangka Jaya, Aceh Utara,” ujar dia kepada BenarNews.
Selain UNHCR, 13 LSM yang menamakan diri Organisasi Masyarakat Sipil Pemerhati Isu Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia mendesak pemerintah untuk menerima para pengungsi dari etnis minoritas Muslim yang dipersekusi di negara asalnya Myanmar yang mayoritas penduduknya beragama Buddha.
“Janji kemanusiaan diabaikan. Implementasi Peraturan Presiden tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri kembali dipertanyakan,” demikian kelompok yang beranggotakan diantaranya
Berdasarkan Peraturan Presiden ini, terang Aliansi, pengungsi yang ditemukan di daratan harus diamankan oleh kepolisian. Sedangkan jika mereka ditemukan di perairan, terutama dalam kondisi kedaruratan, maka tanggung jawab koordinasi ada pada Badan SAR Nasional.
“Lagi-lagi Peraturan Presiden tak diindahkan dalam kejadian ini,” tulis aliansi yang beranggotakan diantaranya Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), Human Rights Working Group, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Dompet Dhuafa, dan Yayasan Jesuit Refugee Service Indonesia.
Alasan penolakan
Menurut Salman, faktor yang membuat masyarakat menolak para pengungsi itu, selain karena mereka sering keluyuran dan suka melarikan diri dari tempat penampungan, juga karena mereka tidak mengikuti aturan lokal.
Mereka terlihat kerap berduaan tanpa ikatan suami-istri setelah berada di Aceh, kata Salman,
“Kita tidak tahu apakah mereka sudah menikah atau belum, juga soal kebersihan mereka. Itu menurut masyarakat.”
Aceh adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum Islam di mana berduaan bersama lawan jenis tanpa hubungan kekeluargaan adalah ilegal.
Terkait keluhan warga soal pengungsi Rohingya, KontraS Aceh mengatakan sulit untuk memastikan apakah para pengungsi sudah menikah atau belum karena selama ini rezim junta Myanmar tidak pernah mau memberikan kartu nikah.
“Jangankan buku nikah, kartu identitas saja mereka tidak punya. Jadi bagaimana kita mau memastikannya?” terang Koordinator KontraS Aceh Azharul Husna kepada BenarNews.
Sejak satu dekade lebih, Aceh telah menerima dan membantu para pengungsi Rohingya yang terdampar di perairannya.
Pemerintah Indonesia mengatakan bahwa kebaikan rakyat Aceh banyak dimanfaatkan penyelundup manusia yang mencari keuntungan finansial dari para pengungsi. Tiga nelayan Indonesia pada pertengahan Juni 2021 dijatuhi hukuman lima tahun penjara karena terbukti menyelundupkan puluhan warga Rohingya ke Aceh.
Orang-orang Rohingya - banyak disebut sebagai salah satu etnis paling teraniaya di dunia - hingga kini terus meninggalkan negara asalnya Myanmar untuk menghindari persekusi dan juga pergi dari dari kamp pengungsi Cox’s Bazar di Bangladesh yang keadaannya buruk dimana hampir sejuta warga Rohingya ditampung.
Dengan menggunakan perahu reyot, kadang dengan membayar mahal para calo penyelundup manusia, mereka mengambil tantangan terlunta-lunta di lautan untuk menuju negara lain dengan harapan mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
Uzair Thamrin di Banda Aceh berkontribusi dalam berita ini.