Pengampunan Pajak Ditanggapi Beragam
2016.06.30
Jakarta

Undang-undang (UU) Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), ditanggapi beragam oleh sejumlah kalangan. Ada yang menyambut baik, namun ada juga yang memandang aturan itu sebagai hal negatif.
Seorang konsultan IT, Wahyu Hidayat, mengaku pesimis peraturan itu bakal berjalan dengan baik.
Seharusnya, menurutnya, jika ingin menambah pemasukan negara, pemerintah bersikap tegas dan menyiapkan aturan yang bisa menutup celah para pengemplang pajak, bukannya membuat mengampunkan pajak.
Dia mengambil contoh masih banyaknya pengusaha berkelit dengan cara mendirikan yayasan dan mengalirkan dana ke yayasan tersebut dalam bentuk hibah.
"Banyak teman-teman bos saya yang begitu," tutur Wahyu kepada BeritaBenar, Rabu, 29 Juni 2016.
Berbeda dengan Wahyu, Antoni Manahan, seorang karyawan perusahaan minyak dan gas, menganggap UU itu bakal mampu menggoda orang-orang kaya Indonesia yang menaruh aset mereka di luar negeri untuk memindahkannya ke tanah air. Sehingga perputaran dana di Indonesia bisa bertambah besar.
"Bagus sih aturannya," ujarnya.
Pandangan serupa disampaikan Ariyo Hendrawan, seorang karyawan perusahaan logistik. Meski tarif tebusan tak besar, ia memandang keberadaan UU Pengampunan Pajak itu sebagai kebaikan.
"Ada sisi baiknya untuk Indonesia," katanya.
UU Pengampunan Pajak yang disahkan DPR melalui rapat paripurna, Selasa lalu, 28 Juni 2016, menyebutkan bahwa tarif tebusan sebesar 2 persen pada periode tiga bulan pertama, 3 persen di tiga bulan kedua, dan 5 persen di periode tiga bulan ketiga untuk warga negara Indonesia (WNI) yang memindahkan aset-aset di luar negeri ke dalam negeri atau repatriasi.
Angka tebusan itu meningkat dua kali lipat jika aset-aset yang dideklarasikan itu tak dipindahkan ke Indonesia. Besaran tarif tebusan itu dihitung dari harta bersih setelah dikurangi utang.
Pemerintah dituntut jeli
Perihal perhitungan tarif tebusan itu, pengamat pajak Yustinus Prastowo berharap pemerintah betul-betul jeli untuk mencegah munculnya para wajib pajak yang nakal.
"Bisa jadi, utang dibesar-besarkan," ujar Prastowo saat dihubungi BeritaBenar, Kamis, 30 Juni 2015.
Kejelian itu, tambah Prastowo, mutlak dibutuhkan agar resiko defisit anggaran bisa dihindarkan. Pemerintah mematok angka pendapatan sebesar Rp165 triliun dari aturan yang akan berlaku hingga Maret 2017 itu ke dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) 2016.
Presiden Joko “Jokowi” Widodo, beberapa waktu lalu, mengatakan akan menyiapkan beberapa instrumen investasi untuk menampung dana yang masuk lewat tax amnesty.
Beberapa instrumen itu antara lain adalah Surat Berharga Negara (SBN), reksadana, Surat Utang Negara (SUN), dan investasi langsung.
Instrumen ini disiapkan agar dana-dana yang tertampung bisa tertahan di dalam negeri sehingga dapat dimanfaatkan untuk pembangunan ekonomi nasional.
Jokowi pernah mengatakan arus dana yang masuk itu akan dimanfaatkan untuk membiayai pembangunan proyek-proyek infrastruktur.
"Jadi, (pengawasan) harus betul-betul baik. Agar kebijakan tersebut juga berjalan baik," ujar Prastowo lagi.
Berbeda dengan Yustinus Prastowo yang menilai peraturan ini sebagai perihal baik, peneliti Pusat Studi Ekonomi Kerakyatan Universitas Gajah Mada, Awan Santosa, menyebut UU Pengampunan Pajak sebagai ketidakadilan bagi masyarakat kecil.
"Harusnya aset-aset itu ditelusuri, bukan malah diampuni," ujarnya kepada BeritaBenar.
Target pemerintah yang mematok Rp165 triliun dari pengampunan pajak disebut Awan sebagai angka kecil dan tak sebanding dengan hasil kegiatan ekonomi yang dibawa kabur ke luar negeri. Pasalnya, ia memperkirakan aset di luar negeri itu antara Rp4.500 triliun hingga Rp11.400 triliun.
"Pemerintah jangan menguntungkan sekelompok orang," katanya.
Menyimpan kelemahan
Meski akhirnya disahkan, anggota DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Ecky Awal Mucharam menilai masih ada kelemahan dari UU Pengampunan Pajak.
Salah satunya adalah Pasal 20, yang menyebutkan bahwa data bersumber dari surat pernyataan dan lampiran wajib pajak tak dapat dijadikan sebagai dasar penyelidikan dan penuntutan pidana.
Ecky menilai pasal tersebut bisa menghambat penegakan hukum sepanjang UU Tax Amnesty ini diberlakukan.
"Istilahnya, aparat seperti dibiarkan beristirahat," kata Ecky kepada BeritaBenar. "UU Tax Amnesty ini seperti superior, karena melibas undang-undang lain, seperti UU Tindak Pidana Korupsi atau UU Pencucian Uang."
PKS bersama Partai Demokrat dan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) merupakan tiga fraksi yang memberikan catatan saat menyetujui UU Pengampunan Pajak tersebut.
Fraksi PKS menyatakan keberatan dan belum sependapat dengan enam pasal dalam UU tersebut, antara lain menyangkut obyek pengampunan pajak, fasilitas dan tarif tebusan, terkait harta deklarasi, dana repatriasi, dan batas waktu akhir pengampunan pajak pada 31 Maret 2017.
Fraksi Demokrat tak sepakat dengan definisi pengampunan, harta dan tebusan dalam UU itu. Mengenai definisi pengampunan pajak, fraksi tersebut melihat hanya memberikan pengampunan pada sanksi administrasi dan pidana pajak.
Fraksi PDI Perjuangan antara lain menyebutkan keberhasilan UU tersebut bergantung kebijakan dan ketentuan soal reformasi perpajakan dan dukungan kepada pemerintah dalam meningkatkan basis wajib pajak.