Polisi Bebaskan Keluarga WNI yang Dideportasi Turki

Kementerian Keuangan mengaku TUAB adalah mantan pegawainya yang mengajukan pengunduran diri sebagai Pegawai Negeri Sipil.
Tia Asmara
2017.01.27
Jakarta
170127_ID_family_620.jpg Polisi menanyai janda terduga teroris Muhamad Ali, salah satu pelaku yang tewas dalam aksi teror Bom Thamrin, di Jakarta, 16 Januari 2016.
AFP

Detasemen Khusus Polisi Antiteror (Densus) 88 telah membebaskan satu keluarga warga negara Indonesia (WNI) yang terdiri dari suami istri dan tiga anaknya setelah dideportasi dari Turki atas dugaan terlibat Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS)

“Mereka akhirnya dibebaskan dan dikirim ke Dinas Sosial Bambu Apus untuk menjalani pembinaan dari Kementerian Sosial,” ungkap Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol. Rikwanto ketika dikonfirmasi BeritaBenar di Jakarta, Jumat, 27 Januari 2017.

Di sana, tambahnya, mereka akan diberikan pembekalan dan arahan mengenai paham Pancasila dan hidup bermasyarakat.

Hal yang sama juga dilakukan terhadap 17 WNI yang ditangkap Sabtu pekan lalu, setelah dideportasi Turki, dan sempat diperiksa tim Densus 88, tetapi kemudian dibebaskan.

"Paling lama tiga bulan di sana. Setelah itu mereka akan dipulangkan ke daerah asal dengan bantuan Pemda setempat," katanya.

Pria berinisial TUAB (40) bersama istrinya NK (55) dan tiga anaknya – perempuan (14) dan dua laki-laki dibawah 10 tahun  – ditangkap petugas imigrasi saat mendarat di Bandara Internasional Ngurah Rai, Bali, Rabu dinihari, 25 Januari 2017.

Setelah diperiksa di Mapolda Bali, keluarga itu pada Kamis siang diterbangkan ke Jakarta untuk menjalani pemeriksaan oleh Densus 88. Tapi beberapa jam kemudian, menurut Rikwanto, mereka dibebaskan.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan informasi Kementerian Keuangan, Nufransa Wira Sakti, dalam siaran pers yang diperoleh BeritaBenar, Jumat, menyebutkan, TUAB adalah mantan pegawai Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

“Februari 2016, yang bersangkutan mengajukan pengunduran diri sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil) Kemenkeu dengan alasan mengurus pesantren anak yatim di Bogor. Sejak saat itu yang bersangkutan tidak dapat dihubungi," katanya.

Ia menambahkan TUAB adalah (calon) Kasubbid Penerimaan Negara Bukan Pajak Non SDA di Badan Kebijakan Fiskal sebelum memilih mundur.

Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan, tambah Nufransa, mulai Agustus 2016 TUAB telah diberhentikan sebagai PNS atas permintaan sendiri.

“Sejak diberhentikan, segala kegiatan dan aktivitasnya tidak dapat dihubungkan dengan Kemenkeu dan menjadi tanggung jawab pribadi bersangkutan,” kata Nufransa.

Dia menambahkan Kemenkeu tidak memberi bantuan hukum kepada TUAB, yang dilaporkan memperoleh gelar Masternya dari Australia. Namun pihaknya menjunjung asas praduga tidak bersalah dan menghormati proses penegakan hukum, demikian kata Nufransa.

Sebelumnya, Rikwanto kepada BeritaBenar menyatakan mereka diketahui berangkat dari Bandara Soekarno Hatta, pada Agustus 2016, dengan pesawat Garuda menuju Thailand, sebelum akhirnya berangkat ke Turki.

“Biaya yang digunakan ke sana adalah hasil menjual rumah. Mereka dipulangkan dengan biaya sendiri juga,” kata Rikwanto.

Tak ada bukti

Menurut Rikwanto, alasan mereka dibebaskan karena tidak ada bukti lebih lanjut yang bisa menyeret keluarga yang ditangkap tentara Turki pada 16 Januari lalu itu, menjadi tersangka.

“Kami belum ada pilihan, soalnya mereka belum melakukan apa-apa dalam kaitan UU Terorisme, mereka baru berniat namun sudah ketangkap tangan oleh otoritas Turki,” katanya.

UU Anti-terorisme yang ada selama ini belum bisa menjerat kasus-kasus seperti itu.

“Ini lagi revisi, siapa tahu nanti bisa dimasukkan pasal-pasal tambahan untuk menyelidiki atau menjerat pendukung ISIS,” kata Rikwanto.

Dari hasil penyidikan terakhir, jelasnya, keluarga itu berangkat ke Suriah karena mereka dipengaruhi perekrut ISIS yang menawarkan kehidupan di bawah pemerintahan yang berdasarkan khilafah Islamiyah.

“Mereka percaya hijrah, dan harus hidup di bawah Syariat Islam. Mereka ingin nuansa Islami dengan mendapat ridha Tuhan dan kalau mati masuk surga, menurut mereka seperti itu,” kata Rikwanto.

Sebelumnya, Deputi II Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Pol Arif Darmawan menyebutkan banyak WNI ingin ke Suriah karena keyakinan konsep hijrah.

“Mereka tidak tahu keadaan di sana, kalaupun tahu mereka prinsipnya hijrah nggak perduli keadaan seperti apapun di sana,” katanya.

Selain itu, tambahnya, negara tidak bisa melarang warganya untuk berpergian ke luar negeri begitu saja jika seseorang memenuhi persyaratan pembuatan paspor.

Polisi, ujar Rikwanto, tidak bisa menjerat pendukung ISIS dengan pasal pidana kecuali ada tindakan seperti pemalsuan paspor dan pemalsuan dokumen.

Antisipasi

Sejak empat tahun lalu, polisi telah bekerja sama dengan BNPT dan pemerintah daerah untuk memantau warga yang tiba-tiba pindah dan menghilang.

“Kami sudah imbau khususnya RT, RW, pemimpin desa dan lurah untuk memantau aktifitas warganya yang mencurigakan agar bisa kita tindak lanjuti,” jelas Rikwanto.

Beberapa daerah khusus yang jadi perhatian pemerintah antara lain kantong-kantong pendukung ISIS seperti Tasikmalaya di Jawa Barat, Makassar, dan Padang.

“Terutama di Jawa Barat banyak sekali,” katanya.

Kementerian Luar Negeri mencatat sejak 2015, terdapat 283 WNI dideportasi Turki karena diduga akan menyeberang ke Suriah.

Data BNPT menyebutkan hingga Agustus 2016, terdapat 237 WNI dewasa dan 46 anak-anak asal Indonesia berada di Suriah.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.