banner.jpg
Sejumlah truk mengangkut kayu melintasi "daerah nol kilometer" di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, di mana istana kepresidenan yang baru disebut akan dibangun, 23 November 2021. [Foto Dokumen JATAM]


Menuju Kalimantan: Di Balik Rencana Besar Pemindahan Ibu Kota


Di tengah alasan kuat relokasi, ada kekhawatiran proyek itu hanya mempertebal kantong elit Jakarta sementara masyarakat adat kehilangan lahan.

Dandy Koswaraputra – Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur

Berdiri di atas tanah yang telah digarapnya secara turun-temurun, Jubein Jafar tidak pernah menduga sebelumnya jika ia terancam digusur oleh pemerintah untuk melapangkan pendirian istana kepresidenan sebagai bagian dari pembangun ibu kota negara baru di Penajam Paser Utara.

Jubein, seorang pemimpin adat suku Dayak, sejatinya menerima rencana pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kalimantan Timur dari Jakarta yang macet, tercemar, dan sudah terlalu padat penduduknya.

Tetapi ia tidak yakin apa artinya ini baginya dan orang-orang seperti dia, yang telah lama mendiami tanah itu tetapi tidak dapat membuktikan kepemilikannya.

Ia baru menyadari bahwa hutan publik yang telah dikelola sejak puluhan tahun lalu olehnya dan para leluhurnya itu merupakan lahan konsesi – atau area hutan produksi yang telah dikuasai oleh swasta atas izin pemerintah.

“Kalau tanah mungkin kami tidak bisa pertahankan. Tetapi bagaimana dengan tanaman kami,” kata Jubein, 55, dalam wawancara khusus dengan BenarNews baru-baru ini. Jubein, kepala adat suku Paser Balik di Pemaluan, sebuah desa di Kabupaten Penajam Paser Utara, merasa waswas jangan-jangan pemerintah hanya akan bicara kepada perusahaan pemegang konsesi tanpa melibatkan dirinya dalam pengambilalihan hutan adat tersebut.


Ibu Kota Negara Baru: Siapa Untung Siapa Buntung?

Di Jakarta awal bulan ini, anggota Dewan Perwakilan Rakyat mulai membahas rancangan undang-undang IKN yang, jika disetujui, akan mengharuskan proyek itu untuk dituntaskan, tidak peduli siapapun yang memerintah saat itu.

Seperti warga Kecamatan Sepaku di Penajam Paser Utara, Jubein adalah petani yang menggarap tanaman sawit dan karet di atas 5 hektar tanah yang merupakan lahan konsesi milik konglomerat Sukanto Tanoto setelah dia mengambil alih saham PT. ITCI Kartika Utama milik Hashim Djojohadikusumo, adik kandung Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, pada 2006.

Sukanto menguasai lahan konsesi seluas 41.000 hektar di area utama IKN di Kabupaten Penajam Paser Utara di bawah perusahaan PT. ITCI Hutani Manunggal. Sementara Hashim masih menguasai izin usaha pemanfaatan hutan seluas 173 ribu hektar lahan di Penajam Paser Utara, Kutai Kartanegara dan Kutai Barat.

Bagi Jubein dan 36 ribu warga Sepaku lainnya, penguasaan hutan adat yang luasnya empat kali kota Jakarta oleh segelintir orang tidak pernah bisa dipahami akal sehat, terutama saat kekayaan alam yang terkandung di dalamnya justru tidak sepenuhnya digunakan untuk kemakmuran rakyat.

Budaya hidup egaliter, saling tolong menolong sesama warga, terancam hilang oleh megaproyek IKN. Karena itu, Jubein, bersama warganya, menuntut pemerintah untuk tidak hanya memberi kompensasi uang, tapi juga menyediakan lokasi pengganti bagi warga Sepaku yang tanahnya diambil alih untuk pembangunan kompleks istana kepresidenan. “Karena kami harus mempertahankan adat istiadat kami, budaya kami,” kata Jubein.

Karena tidak memiliki bukti kepemilikan tanah yang sah, Jubein mengatakan dia tidak memiliki pengaruh terhadap pemerintah dan pengembang. Dia dan nenek moyangnya telah berada di tanah ini jauh sebelum mereka diberikan hak atasnya, dan bahkan mungkin sebelum Republik Indonesia lahir pada tahun 1945.

Berbicara atas nama orang Dayak di Penajam Pasar Utara, Jubein mengatakan dia lebih memilih tinggal di rumah tak berperabot seperti yang sekarang dia tempati ketimbang harus terombang-ambing tergusur akibat proyek ini.

“Takutnya nanti semena-mena saja kan entah itu nanti cuma diusir begitu saja disuruh pindah saja lahan garapannya itu atau bagaimana itu kan belum ada kejelasan,” ujarnya.


Jubein-Jafar
Jubein Jafar, tokoh Suku Dayak Balik di Kalimantan, meninjau perkebunan kelapa sawit yang dikelolanya di lahan yang rencananya akan menjadi ibu kota baru Indonesia, 28 Oktober 2021. [Dandy Koswaraputra/BenarNews]
Jakarta yang kewalahan

Mantan Menteri Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Andrinof Chaniago, yang terlibat sejak lama dalam pembuatan cetak biru ibu kota baru, meyakini bahwa relokasi memang perlu.

Andrinof menjelaskan alasan pemerintah memindahkan ibu kota juga karena Jakarta tidak lagi memungkinkan untuk pelayanan publik yang efisien di berbagai sektor, seperti transportasi, pengelolaan sampah, pengelolaan sungai, polusi udara, polusi air, dan perumahan.

“Nah kenapa itu tambah berat ya karena memang jumlah penduduk yang mengitari kota Jakarta ini tumbuhnya tinggi, di atas rata-rata pertumbuhan nasional. Jadi salah satu faktornya adalah urbanisasi,” kata Andrinof.

Hasil sensus penduduk Badan Pusat Statistik (BPS) pada September 2020 mencatat jumlah penduduk Jakarta mencapai 10,56 juta jiwa, meningkat sekitar 10 persen dibandingkan 10 tahun lalu.

Selain pertumbuhan penduduk, satu persoalan lain lagi di Jakarta adalah penyediaan lahan terbuka, ruang terbuka hijau, dan lahan pemakaman. Jangan lupa, tutur Andrinof, sebagian besar warga Jakarta jika ingin dimakamkan harus pergi jauh ke Cikarang. Sementara bagi yang mau dimakamkan di tanah Jakarta harus ditumpuk di atas makam yang ada.

“Ini ciri-ciri kota ini tidak mampu menampung atau melayani menyediakan layanan yang dibutuhkan oleh warga Jakarta dan sekitarnya,” jelas Andrinof. Dengan demikian, kata dia, fungsi ibu kotanya perlu dikeluarkan dari Jakarta supaya tekanan penduduk, pertumbuhan jumlah orang, urbanisasi, serta migrasi menurun.

Saat ini 58 persen jumlah penduduk Indonesia yang berjumlah 272 juta terkonsentrasi di Pulau Jawa dan mayoritasnya penduduk bermukim di Jawa bagian barat, terutama Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).

“Sering saya ingatkan bahwa pulau Jawa ini luasnya itu kurang dari tujuh persen total luas daratan Indonesia,” kata Andrinof.

Kalau kita biarkan penduduknya terus bertambah 1,5 persen saja, kata Andrinof, maka pada tahun 2060 penduduk Jawa bisa mencapai 300 juta orang.

Penduduk yang semakin padat akan mengakibatkan masalah air bersih, pada musim kemarau penduduk akan kekurangan air, dan sebaliknya pada saat musim hujan ekstrem akan terjadi banjir yang melumpuhkan kota, ujarnya.

Sedangkan untuk orang-orang seperti Jubein Jafar, pemerintah telah memiliki aturan hukum agar hak-hak masyarakat adat dipenuhi, papar Andrinof, namun ia mengakui pelaksanaan di lapangan kerap berbeda.



Pengungkapan rencana relokasi

Ketika mengungkapkan rencana pemindahan ibu kota dalam pidato kenegaraannya dalam rangkaian Hari Kemerdekaan RI pada Agustus 2019, Presiden Joko “Jokowi” Widodo menyoroti kekhawatiran tersebut.

“Hasil kajian kami menyimpulkan bahwa lokasi ibu kota baru yang paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian Kabupaten Kutai Kartanegara,” katanya saat itu.

Sepuluh hari kemudian, Presiden Jokowi secara resmi menetapkan lokasinya, yaitu Kutai Kartanegara dan Penajam Paser Utara.

Andrianof mengatakan lokasi tersebut dihuni oleh sejumlah kecil penduduk dari berbagai etnis, seperti Jawa, Makassar, Bugis, Dayak dan Melayu – yang mengolah tanah dengan izin Hak Guna Usaha.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas) telah memproyeksikan bahwa pada tahun 2045, ketika ibu kota baru dijadwalkan akan sepenuhnya ditempati, Kabupaten Penajam Paser Utara akan memiliki populasi 1,9 juta – sekitar 10 kali jumlahnya saat ini. Penduduk provinsi Kalimantan Timur, pada gilirannya, akan tumbuh menjadi 11 juta dari 3,7 juta.

Menteri PPN/Bappenas Suharso Monoarfa menyatakan biaya pembangunan IKN akan menelan biaya Rp466 triliun dengan hanya menggunakan dana APBN kurang dari 20 persen, sisanya menggunakan dana dari investasi swasta atau asing.

Baru-baru ini Presiden Jokowi mengatakan di hadapan para investor Uni Emirat Arab (UEA) bahwa Indonesia membutuhkan dana sebesar USD35 miliar untuk membangun ibu kota baru. UEA merupakan salah satu investor potensial untuk membiayai mega proyek ini.

Mengingat pembangunan membutuhkan biaya yang fantastis dan menuai kontroversi, sebagian kalangan khawatir apakah proyek akan dilanjutkan setelah pemerintahan Jokowi berakhir pada 2024, mengingat adanya kecenderungan kebijakan dibuat tergantung pada pimpinan yang sedang berkuasa.

DPR mengatakan sebuah undang-undang diperlukan untuk dapat menjawab kekhawatiran itu.

Rancangan Undang-Undang Ibu Kota Negara (RUU IKN) yang saat ini sedang dibahas DPR menyatakan bahwa wilayah ibu kota akan mencakup area seluas 2558,91 km persegi, termasuk 556,85 km persegi untuk ibu kota negara– wilayah sedikit lebih kecil dari negara kota Singapura.


main-city-gate.jpg
Gapura “Selamat Datang” dibangun di gerbang utama tempat yang nanti akan menjadi ibu kota baru Indonesia di Provinsi Kalimantan Timur, 29 Oktober 2021. (Dandy Koswaraputra/BenarNews)

Pada 14 Desember pemerintah membentuk satuan tugas khusus untuk pelaksanaan proyek IKN. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PURR) menunjuk Danis Sumadilaga, eks-Direktur Jenderal Cipta Karya kementerian tersebut sebagai Ketua Satuan Tugas Pelaksanaan Pembangunan Infrastruktur IKN.

Sebelumnya, Anggota DPR Rifqinizamy Karsayuda dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan telah mendesak anggota parlemen untuk segera membentuk komite khusus untuk mempercepat pembahasan RUU itu.

“Saya juga mendorong pansus untuk bekerja sampai DPR mengesahkan RUU ibu kota baru menjadi undang-undang,” kata Rifqi, yang duduk di komisi II yang mengawasi pertanahan dan reformasi agraria.

Rifqi, menambahkan pengesahan RUU itu penting agar pemerintah bisa memulai konstruksi tahun depan. Tanpa adanya UU IKN, tambahnya, semua proses pembangunan mega proyek itu tidak dapat dilakukan pemerintah.

Menteri Suharso mengungkapkan RUU itu terdiri dari 34 pasal dan 9 bab yang berisi antara lain, tentang visi IKN, bentuk pengorganisasian dan pengelolaan, serta tahap-tahap pembangunannya.

"Sampai kemudian tahap pemindahannya dan bagaimana pembiayaannya,” kata Suharso dalam dengar pendapat dengan DPR baru-baru ini.

RUU tersebut juga menyebutkan ibu kota baru nanti akan dikelola oleh Badan Otorita IKN yang dibentuk dalam rangka persiapan, pembangunan yang dipimpin mega proyek ini dan dipimpin oleh seorang Kepala Badan Otorita yang ditunjuk pemerintah pusat.

“Mengenai kapan RUU itu akan disahkan menjadi undang-undang, hanya parlemen yang bisa menjawab. Namun saya baca mereka ingin menyelesaikannya paling lambat Februari 2022,” kata Andrinof.


map-indo
Map lokasi Ibu Kota Negara Baru di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur (BenarNews)

Suara oposisi

Kementerian PPN menargetkan waktu pemindahan status ibu kota dari Jakarta ke Ibu Kota Negara – nama yang digunakan untuk menyebut ibu kota yang baru adalah pada semester pertama 2024.

Namun bisa memakan waktu dua dekade untuk menyelesaikan pembangunan IKN.

Pemerintah mengatakan telah berupaya menyerap aspirasi warga Penajam Paser Utara dan sekitarnya.

Menteri PPN Suharso Monoarfa beberapa bulan lalu mengundang tokoh masyarakat, akademisi, serta pemerintah daerah setempat untuk menjaring aspirasi dan masukan atas rencana IKN.

“Satu hal terpenting yang harus diingat ketika kita berbicara Ibu Kota Negara, apa pun konteksnya, bahwa ini adalah Indonesia-sentris, bukan Kalimantan-sentris, bukan Jawa-sentris, tetapi sebuah kebanggaan dari perspektif Indonesia-sentris dan itu tercermin dari kekuatan Kalimantan Timur yang heterogen,” kata Menteri Suharso dalam situs resmi kementeriannya.

Namun menurut Koordinator Nasional Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Merah Johansyah, masyarakat Suku Balik ini tidak pernah diajak bicara soal proyek ibu kota.

“Itu satu episode cerita juga sebenarnya yang sedang kami kumpulkan,” kata Merah, yang melakukan penelitian menyangkut dampak mega proyek tersebut terhadap eksistensi masyarakat adat di Penajam Paser Utara dan sekitarnya.

Mardani Ali Sera, politisi oposisi di DPR, menganggap inisiatif rencana pemindahan pusat administrasi negara dengan mengubah fungsi hutan tidak sejalan dengan komitmen dalam mencegah perubahan iklim.

“Orang sedang tidak berpikir tentang fisik, mereka berpikir tentang jaringan. Biaya kita sangat besar dan khawatir secara teknis dan ekonomis tidak memungkinkan,” kata politisi dari Partai Keadilan Sejahtera itu kepada BenarNews.

Ada kemungkinan proyek ini terbengkalai, atau mangkrak, atau meleset seperti rencana kereta cepat Jakarta-Bandung yang awalnya tidak menggunakan APBN tapi akhirnya menggunakan uang negara, kata Mardani, merujuk pada proyek yang didukung pemerintah China itu.

“Urgensinya, kepentingannya tidak ada. Makanya ini pemaksaan yang tidak tepat,” tegas Mardani.

Bagi Arif Wibowo, anggota DPR pendukung pembangunan IKN, terbitnya undang-undang berarti secara yuridis ibu kota telah berpindah ke Kalimantan Timur. Dengan begitu siapa pun presidennya ibu kota baru harus dibangun sesuai amanat legislasi.

“Kita selesaikan dulu UU Ibu Kota Negara sebagai alas hukum, tetapi di dunia mana pun tidak ada yang namanya bangun ibu kota selesai dalam setahun dua tahun,” kata Arif.

Arief mengatakan keinginan memindahkan ibu kota sudah mengemuka sejak pemerintahan Presiden Sukarno dan Suharto.

“Jadi, menurut saya, itu merupakan kebijakan dan program lama dan sekarang dilanjutkan di pemerintahan Presiden Jokowi,” kata Arif.

Dari pengalaman banyak negara yang memindahkan ibu kotanya tidak terlalu memunculkan masalah, semua tergantung manajemen dan perencanaan yang matang. Terlebih, kata Arif, yang dipindahkan hanya kegiatan pemerintahan, sementara Jakarta tetap menjadi kota bisnis.



Kebutuhan air, ancaman bencana seperti banjir, longsor dan kebakaran hutan harus menjadi perhatian sebelum mencanangkan bahwa rencana tata ruang itu benar-benar akan siap.

“Jadi dengan rentang waktu seperti itu memang idealnya pembangunan sebuah ibu kota baru itu membutuhkan waktu 20 sampai 25 tahun,” ujarnya kepada BenarNews. “Tetapi kalau dipaksakan tahun 2024 sudah harus ada bangunan fisik tentu banyak hal yang terpaksa dilakukan secara terburu-buru,” ujarnya.

“Nah ini nantinya akan menjadi pertanyaan, karena tentu sebuah pekerjaan yang dilakukan terburu-buru dan tidak dilakukan dengan lebih matang akan menjadi contoh yang kurang baik.”

Pengamat politik dari Universitas Paramadina, Hendri Satrio, mengatakan bahwa Jokowi mengharapkan ibu kota baru menjadi hal yang dikenang rakyat setelah dia tidak menjadi presiden.

“Ini presiden pertama yang berhasil memindahkan ibu kota kan akhirnya, secara resmi maksudnya bukan ibu kota darurat seperti yang pernah terjadi pada zaman mempertahankan kemerdekaan,” kata Hendri kepada BenarNews.

Namun Hendri mengingatkan ada risiko kegagalan dari proyek mercusuar tersebut

“(Khawatirnya) uangnya enggak ada, anggarannya enggak ada,” ujarnya.

Andrinof, mantan menteri Bappenas, melihat kekhawatiran yang diungkapkan tentang proyek tersebut sebagai reaksi alami terhadap kebijakan pemerintah, terutama untuk proyek besar-besaran yang melibatkan banyak pemangku kepentingan.

“Anggota DPR dipersilakan untuk transparan kepada publik tentang ide dan konsep pemerintah. Harap setransparan mungkin tentang itu kepada publik. Sebuah faksi tertentu seharusnya tidak langsung menolaknya tanpa berusaha membicarakannya. Ini aneh.” ujarnya.

IKN harus menjadi kota kelas dunia – kondusif bagi semua makhluk dan semua lapisan masyarakat, paparnya. Dalam pandangannya, itu berarti kota itu juga harus ramah terhadap tumbuhan dan marga satwa di tempat itu.

“Hal-hal itulah yang harus kita perhatikan,” kata Andrinof.

“Ada gula ada semut”

Di tengah pro dan kontra, sebuah realitas baru telah tumbuh di Penajam Paser Utara. Para pemburu rente sibuk memperebutkan sumber-sumber ekonomi di sana bahkan sebelum diberlakukannya undang-undang ibu kota yang baru.

Hampir seluruh tanah di area ibu kota masa depan itu sudah dikuasai oleh pengusaha yang mayoritas dari luar Kalimantan bahkan dari luar negeri.

“Bahkan pantai pesisir Penajam Paser Utara pun semuanya sudah ada pemiliknya, termasuk artis dari Jakarta,” kata Pradarma Rupang, aktivis JATAM Kaltim.


city-center-3
Sebuah truk mengangkut kayu melintasi "daerah nol kilometer" di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, di mana istana kepresidenan yang baru disebut akan dibangun, 23 November 2021. (Foto Dokumen JATAM)

Menurut Rupang, para elite di Jakarta mengambil keuntungan finansial dari mega proyek ini, terutama para pemilik konsesi hutan, pertambangan, industri perkayuan dan perkebunan kelapa sawit.

Dia menyebutkan nama para tokoh tersebut yang termasuk seorang menteri di pemerintahan Presiden Joko Widodo. Mayoritas dari mereka adalah bekas tim sukses pasangan Joko Widodo-Ma’ruf Amin pada kontestasi Pemilu 2019. Sebagian lainnya adalah para pendukung pasangan capres Prabowo Subianto- Sandiaga Uno.

Mereka – yang oleh Rupang disebut sebagai oligarki – akan mendapatkan kompensasi penguasaan lahan ketika tanahnya diambil alih oleh pemerintah.

“Karena sangat sulit mendapatkan lahan pengganti di Indonesia ini, satu-satunya area hutan yang masih tersedia adalah di Papua,” kata Rupang.

Keuntungan lain para oligarki adalah mereka terbebas dari kewajiban restorasi lahan, tidak perlu bertanggung jawab melakukan reklamasinya. Karena beban yang seharusnya menjadi kewajiban mereka dialihkan ke negara, kata Rupang.

“Di sinilah ada apa yang disebut pemutihan dosa para oligarki yang jumlahnya hanya 1 persen di Indonesia,” ungkap Rupang.

Kompensasi pemerintah ini yang kemungkinan menyebabkan area ibu kota baru yang awalnya hanya seluas 180 ribu hektar bertambah menjadi 256 ribu hektar, karena dengan luasan tersebut, area bisnis mereka menjadi masuk ke dalam area IKN, ujarnya.

Para pebisnis tambang, kayu, sawit hingga properti menguasai tanah mulai dari Kabupaten Penajam Paser Utara sampai Kutai Kartanegara dan sejumlah wilayah di Balikpapan, kata Rupang.

“Bahkan sesaat setelah Jokowi mengumumkan pemindahan ibu kota ke Kalimantan di hadapan anggora DPR, perusahaan properti Agung Podomoro langsung membuat iklan di media Kompas,” paparnya.

Namun, bagi Andrinof, kemunculan para pebisnis di area IKN merupakan hal yang wajar. Karena bagaimanapun mereka berkepentingan mencari peluang baru untuk berinvestasi.

“Ibaratnya ada gula ada semut, yang penting kita bisa mengaturnya agar kegiatan bisnis mereka tidak merugikan rakyat,” kata Andrinof.

'Mereka hanya akan menjadi penonton'

Konsep itu tidak menghilangkan kekhawatiran yang diungkapkan oleh masyarakat lokal di Kaltim.

Merah, koordinator nasional JATAM, mengatakan pemerintah tidak pernah mengundang anggota suku Balik untuk membahas proyek tersebut.

Ia menuturkan pemerintah terkesan membuat aturan dahulu, penelitian belakangan.

Contohnya, kata Merah, keputusan pemilihan Penajam Paser Utara untuk menjadi ibu kota baru tidak melalui kajian yang memadai di mana area itu rawan krisis pasokan air karena hanya mengandalkan teluk Balikpapan.


balikpapan-bay2.jpg
Dalam foto tertanggal 27 Oktober 2021 ini Teluk Balikpapan akan berada di tengah lokasi utama ibu kota negara baru, demikian kata aktivis. (Dandy Koswaraputra/BenarNews)

Jika ada ledakan jumlah penduduk di Penajam Paser Utara, pasti butuh pasokan air lebih banyak di mana pasokan sumber air lebih banyak ini yang jadi masalah sekarang. Temuan ini sebenarnya sudah disampaikan oleh lembaga Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS).

Menurut Merah, yang juga warga asli Kalimantan Timur, seharusnya kalau menggunakan struktur kebijakan yang benar pemerintah menggunakan kajian KLHS dulu baru mengambil keputusan.

“Kalau sekarang kan tidak, ditentukan dulu tempatnya baru kemudian dikaji,” ujar Merah.

Dia menambahkan cara pemerintah merugikan penduduk di lokasi Ibu Kota Negara.

“Itu baru dari satu cerita saja soal air, belum lagi pekerjaan. Pertanyaannya apakah sudah studi tentang alih fungsi lahan yang berdampak pada pekerjaan? Pak Jubein itu juga bertanam, berkebun, jadi apa mereka nanti?”

Merah mengatakan sejauh ini belum ada kajian ekonomi masyarakat Penajam Paser Utara yang berbasis pada lahan atau setidaknya tidak ada kajian yang pernah diumunkan ke publik. Ketika lahan mereka diambil pemerintah, lalu bagaimana nasib mereka.

Tuduhan Merah tidak berdasar, kata Andrinof.

“Saya yakin mereka tidak pernah mengecek ke Bappenas,” kata Andrinof seraya menambahkan empat tahapan kajian Bappenas memberikan informasi yang cukup bagi pemerintah untuk memutuskan lokasi ibu kota baru.

Tahapan tersebut antara lain mengidentifikasi kondisi yang ada di lapangan, menemukan sumber masalah yang akan menghambat pengelolaan perikanan berkelanjutan, melakukan analisis kesenjangan antara kondisi saat ini dan kondisi ideal serta merumuskan strategi dan kebijakan untuk keberlanjutan perikanan.

Studi ini juga berfokus pada dampak lingkungan dan ekonomi dari pemindahan ibu kota.

Namun Merah mengatakan sejauh ini belum ada kajian ekonomi masyarakat Penajam Paser Utara yang berbasis pada lahan atau setidaknya tidak ada kajian yang pernah diumumkan ke publik.

Kecamatan Sepaku merupakan penghasil padi ladang. Jadi Sepaku itu produksi berasnya lumayan tapi beras ladang dan juga produksi dari para transmigran, ungkap Merah.

Selain itu daerah Penajam Paser Utara juga banyak didiami para transmigran dari pulau Jawa yang sudah hidup sampai tiga generasi. Mereka memiliki sawah sebagai penghasil beras inti daerah itu dan juga berternak sapi.

“Lalu nelayan, itu Teluk Balikpapan kalau kita lihat di atas peta masuk ke ring satu itu pasti akan diubah juga,” ujar Merah.

Bagi Rupang, pihak yang paling dirugikan oleh pembangunan mega proyek ini adalah masyarakat adat Suku Balik, yang sejak Republik Indonesia berdiri sudah hidup di tanah mereka dan sering kali terpinggirkan.

Perwakilan Suku Balik pernah mengekspresikan kegundahannya – seperti dialami Jubein Jafar – dalam bentuk pernyataan resmi atas nasib mereka yang kemungkinan akan terus terpinggirkan hingga ke teluk.

“Mereka akan jadi penonton seperti masyarakat Betawi (di Jakarta). Itu pernyataan resmi. Mereka tidak tertutup informasi,” kata Rupang. Butuh kearifan semua pihak

Kompleksitas yang akan dialami ibu kota baru mungkin lebih berat dari bayangan sebelumnya, kata Husen Suwarno, Sekretaris Pokja Pesisir Kaltim. Masyarakat sekitar IKN juga akan terdampak. Sejumlah kampung di Kalimantan Utara kemungkinan akan tenggelam karena akan ada pembangunan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) di Kalimantan Utara yang akan mengeksploitasi sungai Mentarang dan Kayan.

Data JATAM menunjukkan eksploitasi nikel akan terjadi di Kalimantan Utara untuk tenaga mobil listrik dan Kalimantan Selatan akan melakukan perluasan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN). Semua program energi di Kalimantan sebagian besar untuk menopang mega proyek IKN.

Pekerjaan rumah masih panjang dan berat. Tidak ada yang memungkiri bahwa potensi masalah itu nyata. Namun yang paling penting, kata wakil rakyat Arif Wibowo, semua pihak tidak menempatkan diri dalam posisi saling berhadapan dan memahami bahwa ini bukan sekedar sebuah proyek. Ini proyek bangsa, bukan, mohon maaf proyek "soal uang".

Andrinof mengajak semua pihak untuk melihat gagasan pokok dari pemindahan ibu kota ini, yaitu memeratakan struktur ekonomi masyarakat Indonesia dengan berbasis pada kebinekaan.

“Jadi soal perdebatan pada tataran operasional bisa saling duduk bersama untuk mencari solusi terbaik, tetapi bukan untuk membatalkan proyek ini,” tegas Andrinof.

Namun bagi rakyat kebanyakan, seperti Jubein, tidak pernah berpikir muluk, semata hanya ingin hidup tenteram damai sembari tetap mendapatkan hak-hak hidupnya sebagai warga negara.

“Kami jangan digusur dari tanah ini. Di sini kearifan lokal orang tua kita dulu kan enggak ada yang berpindah,” kata Jubein.





Peliput dan penulis: Dandy Koswaraputra
-------------
Penyunting: Ahmad Syamsudin, Ika Inggas, H. Léo Kim, Paul Nelson.
-------------
Halaman web: Minh-Ha Le
-------------
Diproduksi oleh BenarNews
-------------
© 2021 BenarNews All Rights Reserved.