2017: Tahun yang Penuh Gejolak Keamanan di Asia Tenggara

Tahun 2018 diprediksikan akan tidak jauh berbeda.
Opini oleh Zachary Abuza
2017.12.26
171221-SEA-abuza-620.JPG Seorang tentara Filipina berjaga-jaga di tengah reruntuhan kota Marawi, 25 Oktober 2017.
Jeoffrey Maitem/BeritaBenar

Tahun 2017 memperlihatkan situasi keamanan yang menurun di Asia Tenggara. Krisis yang telah berlangsung lama akhirnya pecah menjadi konflik di Filipina dan Myanmar, pemberontakan memburuk di Thailand, dan terjadi penangkapan sejumlah tersangka teroris di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Hilangnya wilayah-wilayah kunci kelompok Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS) di Suriah membatasi propaganda kelompok ekstremis itu, namun juga menimbulkan kekhawatiran kembalinya para petempur asing yang dapat memperkuat para pemberontak lokal, dan juga prospek serangan lone wolf (serangan oleh inisiatif sendiri).

Sementara sejumlah negara telah bekerja meningkatkan keamanannya, beberapa yang lainnya justru memperburuk konflik, mengkombinasikan kelangsungan hidup rezim dengan keamanan nasional.

Rohingya

Berita terbesar dari kawasan ini adalah pembersihan etnis Muslim Rohingya oleh pasukan keamanan Myanmar, yang menyebabkan krisis pengungsi terbesar dalam beberapa tahun ini. Sejak Agustus tahun lalu, lebih dari 650 warga Rohingya melarikan diri ke Bangladesh, di mana sekitar 400.000 pengungsi dari negara bagian Rakhine sudah ditampung disana dari siklus kekerasan sebelumnya.

Dalam apa yang dijelaskan PBB sebagai "seperti apa yang dicontohkan dalam buku-buku teks tentang pembersihan etnis," pasukan keamanan membunuh setidaknya 6.700 warga sipil, menurut survei pengungsi oleh organisasi nirlaba Dokter Tanpa Batas (MSF). Angka itu hampir pasti lebih rendah dari jumlah sebenarnya.

Lebih dari 250 desa Rohingya diratakan dengan tanah. Jumlah pengungsi Rohingya yang menjadi korban kekerasan seksual menunjukkan adanya instruksi terkoordinasi untuk menggunakan pemerkosaan sebagai senjata perang. Sementara pemerintah Myanmar menyangkal bahwa pasukan keamanan menargetkan warga sipil, ratusan orang dirawat karena luka tembak dan luka lainnya. Banyak yang disiksa. Lainnya dibunuh atau terluka oleh ranjau darat.

Pembunuhan besar-besaran tersebut dipicu oleh serangan skala kecil terhadap polisi dan pos-pos patroli di perbatasan oleh Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan (ARSA). Gerilyawan ARSA yang miskin dalam senjata dan sumber daya mulai beroperasi pada akhir 2016, dan meluncurkan serangan terkoordinasi ke sekitar 30 pos perbatasan pada bulan Agustus tahun itu.

Dalam banyak hal itu adalah taktik sinis. ARSA, sebuah kelompok ekstrimis pinggiran, yang hanya mendapat sedikit dukungan dari komunitas Rohingya, telah hidup tanpa kewarganegaraan atau perlindungan hukum lainnya. ARSA jelas menginginkan adanya respons yang keras dari pemerintah yang akan membantu gerilyawan mendapatkan lebih banyak pengikut; tapi tidak mengira akan mendapatkan reaksi yang sangat besar dari pasukan keamanan Myanmar, atau perlindungan politik dan diplomatik terhadap pasukan keamanan yang diberikan secara aktif oleh pemerintahan pemenang Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi.

Sementara al-Qaeda dengan cepat mengeluarkan pernyataan yang meminta umat Islam untuk membela Rohingya, tidak ada bukti kuat bahwa telah terjadi masuknya pejuang asing dari Asia Tenggara atau Asia Selatan untuk bergabung dalam perjuangan Rohingya.

ARSA, mengklaim bahwa mereka tidak memiliki hubungan dengan organisasi teroris atau militan asing. Mereka menyatakan tujuan mereka untuk mendapatkan kewarganegaraan bagi Rohingya, bukan separatisme, apalagi jihadis transnasional.

Tapi situasi yang terjadi pada warga Rohingya sudah pasti menjadi faktor pendorong bagi militan. Seperti warga Bangladesh, yang dituduh melakukan pemboman bunuh diri yang gagal di Kota New York, AS, pada 11 Desember atas nama ISIS. Ia adalah orang yang baru saja kembali dari kamp pengungsi Kutupalong di Bangladesh tenggara, di mana ia sempat menjadi seorang pekerja sosial.

Pengungsi Muslim Rohingya dari Myanmar antri untuk menerima bantuan di kamp pengungsi Kutupalong, di Ukhia, Bangladesh, 15 Nopember 2017. [AP]

Thailand Selatan

Dalam beberapa hal, pemberontakan separatis Melayu di Thailand selatan, yang telah berlangsung 14 tahun, memberikan kabar yang lebih baik. Tahun ini kekerasan di sana berada pada tingkat terendah dalam lebih dari satu dekade. Jumlah yang terbunuh dan terluka berada pada titik terendah dalam sejarah. Demikian juga jumlah insiden kekerasan.

Namun, kekerasan itu terus berlanjut, membesar pada waktu-waktu tertentu yang menjadi pengingat pemerintah bahwa pemberontakan masih jauh dari selesai.

Penurunan kekerasan sebagian disebabkan oleh transisi besar dalam kepemimpinan kelompok pemberontak Barisan Revolusi Nasional (BRN) pada awal 2017, setelah dua pendirinya meninggal dalam 16 bulan sebelumnya. Sebagian, karena jaringan pos pemeriksaan yang intens di seluruh wilayah selatan, yang telah membuat serangan lebih sulit. Sebagian juga karena adanya perubahan taktik.

Kekerasan turun karena gerilyawan melihat tidak perlu melakukan kekerasan. Mereka telah mengusir umat Budha dari wilayah-wilayah besar di selatan. Kini pemberontak jarang dengan sengaja menargetkan warga sipil, yang pasti tidak di daerah perkotaan. Alat peledak yang telah diimprovisasi (improvised explosive device/IED) ditempatkan di jalan pedesaan untuk menargetkan pasukan keamanan. Pasukan keamanan adalah sasaran utama: gerilyawan membunuh lebih dari 40 orang dan melukai sedikitnya 130 lainnya pada tahun 2017.

Sementara penurunan kekerasan adalah hal positif, hal ini memiliki kelemahan: pemerintah militer di Bangkok memiliki sedikit insentif atau tekanan untuk membuat konsesi yang berarti dalam perundingan damai. Dengan demikian, dialog dengan payung pengelompokan MARA-Patani sebagian besar hanya untuk pamer, dan memang BRN tetap jauh dari proses ini, yakin akan ketidaktulusan pemerintah.

Abu Sayyaf

Di Filipina, KelompokAbu Sayyaf (ASG) mengawali tahun 2017 seperti operasi mereka pada tahun sebelumnya, dengan fokus pada penculikan maritim.

Awak kapal Jepang berhasil menggagalkan pembajakan kapal pada awal Januari - salah satu kapal terbesar yang pernah hampir dikuasai. Pada akhir bulan yang sama, mereka menculik tiga nelayan Indonesia. Pada bulan Februari, orang-orang bersenjata ASG menculik enam pelaut Vietnam, termasuk kapten dari kapal kargo tersebut dan membunuh satu awak kapal. ASG membebaskan kapten berkebangsaan Korea itu dan krunya saat sebuah uang tebusan dibayar, dan kemudian memenggal seorang sandera Jerman ketika dia gagal membayar uang tebusan. Kapten Filipina lainnya dipenggal pada bulan April ketika uang tebusan tidak dibayar; Pada bulan Juli mereka memenggal dua tawanan Vietnam.

Patroli maritim gabungan antara Filipina, Indonesia, dan Malaysia yang dimulai pada pertengahan 2017 berdampak langsung. Operasi maritim ASG turun tajam pada paruh kedua tahun ini. Militan kembali ke penculikan dengan menargetkan orang-orang Filipina yang kurang menguntungkan. Pada bulan Oktober, ketiga negara mulai mengkoordinasikan patroli udara, sementara Singapura dan China berusaha untuk berpartisipasi dalam patroli maritim. Baik Amerika Serikat (AS) dan Australia melakukan operasi maritim di Laut Sulu untuk mendukung upaya tersebut.

Dalam perkembangan yang mengkhawatirkan, pada bulan April, sekelompok orang bersenjata ASG membawa sebuah kapal kecil ke wilayah wisata Pulau Bohol di Visayas dekat Cebu, dan bentrok dengan pasukan keamanan, yang menewaskan tiga tentara dan seorang polisi. Meskipun enam militan terbunuh, dan yang lainnya mundur, itu adalah perampokan pertama kelompok tersebut di luar Mindanao dan kepulauan Sulu, di wilayah yang selama ini dianggap aman.

Sepanjang tahun, militer Filipina melakukan operasi melawan ASG, dan kehilangan banyak orang dalam pertempuran, namun juga berhasil membunuh puluhan militan dan menangkap beberapa tokoh penting mereka. Sementara itu Malaysia menangkap lebih dari belasan tersangka ASG atau militan yang mendukung mereka. Namun, ASG tetap beroperasi pada akhir tahun.

Marawi

Serangan terhadap ASG memaksa Isnilon Hapilon dan anak buahnya datang ke daratan Mindanao, di mana mereka bergabung dengan kelompok lain yang telah berbaiat kepada ISIS di bawah pimpinan Maute bersaudara yang karismatik. Pada bulan Mei, militan merebut kota Marawi, yang mereka kuasai selama lima bulan sebelum dipukup mundur oleh pasukan pemerintah. Presiden Duterte mengumumkan darurat militer untuk Mindanao.

Pengepungan Marawi menyoroti parahnya kemampuan militer Filipina, yang tidak mudah merebut kembali kota selatan tersebut. Sementara berperang di medan perkotaan merupakan hal yang baru bagi para militan, kemampuan militan mengerahkan lebih dari 1.000 orang, dan memiliki cukup senjata dan amunisi untuk pengepungan lima bulan di Marawi menunjukkan kegagalan intelijen yang mengkhawatirkan.

Militan tersebut didukung oleh beberapa ratus pejuang dari Malaysia, Indonesia, Singapura, dan bahkan dari Yaman dan Chechnya. Pengepungan itu juga menjadi subyek video yang diproduksi oleh media ISIS.

Marawi ditinggalkan dalam puing-puing. Sementara penduduknya melihat respons pemerintah sebagai tidak memadai. Hingga Desember, kurang dari setengah jumlah 200.000 populasi pengungsi yang mengungsi telah kembali.

Sementara pasukan pemerintah telah menewaskan Maute bersaudara dan Isnilon Hapilo  serta ratusan pejuang mereka, sekitar 200 orang militan melarikan diri dan membuat kelompok baru lagi. Mereka sebagian besar telah dilindungi oleh elemen garis keras Front Pembebasan Islam Moro (MILF), yang proses perdamaiannya dengan pemerintah telah terhenti sejak awal 2015, dan mereka mampu merekrut anggota yang baru dan menyerang pemerintah.

Masih ada sejumlah kelompok pro-ISIS lainnya yang terus berjuang melawan pemerintah. Ansarul Khilafa Filipina mengalami kemunduran pada awal 2017 ketika pasukan Filipina membunuh pemimpin mereka Mohammad Jaafar Maguid (alias "Tokboy"), namun kelompok tersebut sebagian besar masih utuh. Militan di bawah komandan mantan MILF, Abu Turaipe, meningkatkan serangan mereka, begitu pula pejuang dari kelompok lain yang memisahkan diri dari MILF, Pejuang Kebebasan Islam Bangsamoro.

Pengepungan Marawi menimbulkan kekhawatiran besar di seluruh wilayah, yang sekali lagi memperlihatkan wajah Mindanao sebagai wilayah yang tidak berpemerintahan, dan dengan demikian menjadi perhatian keamanan regional.

Negara-negara dengan cepat menawarkan dukungan: Malaysia dan Indonesia meningkatkan patroli maritim, dan mengawasi pada bagian Pulau Kalimantan yang menjadi bagian masing-masing. Australia dan Singapura mengirim pesawat berawak dan pesawat pengintai udara tanpa awak. AS memberi Filipina dua pesawat pengintai kecil, disamping itu juga bersama China menyediakan senjata ringan. Australia dan Singapura telah memberikan pelatihan perang perkotaan.

Terorisme terkait ISIS lainnya

Di bagian lain wilayah Asia Tenggara, ada relatif sedikit serangan teroris, namun penangkapan tersangka teror terjadi di Indonesia, Malaysia, dan Singapura.

Pada bulan Februari, anggota kelompok militan pro-ISIS, Jamaah Ansharut Daulah (JAD) meledakkan bom panci di Bandung, Jawa Barat. Pada malam menjelang bulan Ramadan pada bulan Mei, dua pembom bunuh diri menyerang terminal bus di Kampung Melayu, Jakarta Timur, menewaskan keduanya dan tiga polisi. Lima polisi lainnya dan lima warga sipil juga luka-luka. Media propaganda ISIS, Amaq, mengklaim ISIS berada di balik serangan tersebut.

Ada sejumlah serangan yang berhasil digagalkan polisi. Pada bulan Februari, pihak berwenang Malaysia menangkap tujuh orang, terdiri dari seorang Malaysia, seorang Indonesia, empat orang Yaman dan seorang Uighur - karena dicurigai merencanakan meledakkan bom mobil. Tersangka asal Indonesia adalah seorang militan terlatih ISIS yang baru saja kembali dari Suriah. Pada bulan November, polisi Malaysia menahan seorang anak berusia 19 tahun karena memiliki IED, yang ingin dia gunakan pada sebuah festival bir. Pihak berwenang Malaysia juga mengklaim telah memecah sel yang menyelundupkan senjata dari Thailand selatan.

Di Indonesia, polisi menangkap tiga anggota JAD karena merencanakan untuk menyerang sebuah kantor polisi di Jawa Timur pada bulan April. Dalam sebuah tindak lanjut operasi terhadap bom Kampung Melayu, polisi menemukan senjata dan bom panci pada bulan Juni. Secara keseluruhan, 41 orang ditangkap sehubungan dengan serangan pada bulan Mei tersebut. Pada bulan Juli, polisi menangkap empat orang di Bandung setelah bom panci mereka meledak sebelum waktunya. Dan pada bulan November, polisi menembak mati dua tersangka setelah terjadi serangan pembakaran di sebuah kantor polisi di Sumatera bagian barat.

Beberapa pemimpin ISIS terkemuka dari Asia Tenggara terbunuh di Irak dan Suriah pada 2017, termasuk Muhammad Fudhail Omar dan Mohd Nizam Ariffin. Bahrun Naim - salah satu perekrut yang paling produktif untuk IS di Asia Tenggara - terbunuh atau bersembunyi.

Seorang anggota penjinak bom meninjau lokasi ledakan bom di Jakarta Timur, 24 Mei 2017. [AP]

Undang-undang dan kebijakan kontra-terorisme

Sementara itu, pemerintah di kawasan mengambil beberapa langkah untuk mengatasi kurangnya kebijakan dalam menangani militansi. Indonesia memaksa aplikasi pesan singkat Telegram untuk memblokir sekitar 55 saluran yang digunakan oleh para militan. Filipina mencoba memaksa Facebook untuk menutup halaman yang terkait dengan militan Marawi. Tapi media sosial tetap menjadi alat penting bagi kelompok militan untuk digunakan dalam penggalangan dana, rekrutmen, dan indoktrinasi.

Indonesia mengambil langkah yang lebih ekstrem dengan melarang Hizbut Tahrir karena telah melanggar ideologi resmi Pancasila. Namun, jumlah organisasi yang membawa panji agama dan moral yang mengintimidasi agama minoritas berkembang biak. Kekalahan dalam Pilkada dan pemenjaraan Basuki “Ahok” Tjahaja Purnama, mantan gubernur Jakarta yang beragama Kristen dan keturunan Tionghoa tersebut dengan dakwaan penistaan agama, setelah adanya tekanan besar-besaran dari kelompok Muslim konservatif, di Jakarta, menjadi preseden tingginya intoleransi agama dan politik identitas.

Indonesia terus mendorong melalui RUU kontraterorisme yang kontroversial melalui parlemen. Ada tiga aspek  dalam RUU yang paling dikhawatirkan pengamat, yaitu mengabadikan peran kontra-teror bagi militer; mempidanakan  bergabung dengan kelompok militan di luar negeri; dan itu akan memberi pemerintah hak untuk melucuti kewarganegaraan seseorang.

Menuju 2018

Pada akhir 2017, situasi di seluruh Asia Tenggara terasa cukup tenang. Dan untuk memberikan penilaian yang adil, penurunan keamanan telah memicu adanya tingkat kerjasama yang baru antar negara. Namun demikian prospek untuk memperbaiki keamanan pada tahun 2018 adalah suram.

Lebih dari satu juta pengungsi Rohingya tinggal di kamp pengungsi kumuh di Bangladesh, yang kini menjadi salah satu kamp terbesar di dunia. Meskipun ada "kesepakatan" untuk memulangkan Rohingya, pemerintah Myanmar kemungkinan akan membuat bahwa pemulangan mereka akan sulit. Dan dengan serangan yang terus berlanjut, termasuk pembakaran lebih dari 40 desa pada bulan November dan Desember, Rohingya memiliki segala alasan untuk tidak mempercayai jaminan pemerintah atas keamanan mereka.

Sementara ARSA belum melakukan serangan tunggal sejak serangan Agustus 2017, mereka siap memanfaatkan keputusasaan dari pengungsi. Ketidakamanan hidup di kamp pengungsian memberi insentif tambahan untuk bergabung dengan kelompok militan. Satu-satunya sumber pengaruh pemerintah Bangladesh atas pemerintah Myanmar untuk memenuhi komitmennya mengembalikan para pengungsi tersebut memungkinkan ARSA untuk merekrut, mengorganisir, melatih, dan serangan dari Bangladesh.

Situasi keamanan di Mindanao akan terus menjadi tantangan. Presiden Duterte telah mengalihkan fokus militer ke Tentara Rakyat Baru komunis, meskipun terdapat bukti bahwa militan dari Marawi telah kembali membentuk kelompok baru, sementara kelompok pro-ISIS lainnya terus melancarkan serangan.

Duterte sudah mencoba untuk menurunkan harapan MILF tentang berlalunya Hukum Dasar Bangsamoro (BBL), undang-undang pelaksana untuk perjanjian perdamaian 2014. Ia baru-baru ini mempertanyakan konstitusionalitas BBL, yang hanya akan memperkuat legislator yang menentang kesepakatan otonomi. Dengan demikian, MILF hanya akan terus terpecah.

Sementara pemerintah Malaysia, Indonesia, dan Singapura terus-menerus merespons ancaman dengan serius, wilayah yang tidak berpemerintahan di Filipina selatan akan terus menciptakan ruang bagi militan untuk berlatih, berkumpul kembali, dan melakukan serangan. Selain itu, ada kebangkitan al-Qaeda, yang siap untuk mengambil keuntungan dari kemunduran ISIS.

Pemberontak BRN di Thailand selatan telah menunjukkan bahwa mereka dapat menghidupkan kekerasan sesuka hati. Dengan banjir yang disebabkan oleh musim hujan yang intens di awal tahun 2018, kekerasan diperkirakan akan melonjak.

Tahun ini ternyata jauh lebih banyak terjadi kekerasan dan ketidakstabilan di Asia Tenggara daripada yang pernah dibayangkan. Sayangnya, tahun 2018 harus siap untuk mengalami hal yang sama.

Zachary Abuza adalah profesor di National War College di Washington, AS, dan penulis "Forging Peace in Southeast Asia: Insurgency, Peace Processes, and Reconciliation." Opini yang diungkapkan di sini adalah pandangan pribadinya dan tidak mencerminkan posisi Departemen Pertahanan AS, National War College atau BeritaBenar.

Komentar

Silakan memberikan komentar Anda dalam bentuk teks. Komentar akan mendapat persetujuan Moderator dan mungkin akan diedit disesuaikan dengan Ketentuan Penggunaan. BeritaBenar. Komentar tidak akan terlihat langsung pada waktu yang sama. BeritaBenar tidak bertanggung jawab terhadap isi komentar Anda. Dalam menulis komentar harap menghargai pandangan orang lain dan berdasarkan pada fakta.