Mandura, Tradisi Mempererat Silaturrahmi
2016.07.20
Palu
Perayaan Hari Raya Idul Fitri telah berlalu sekitar dua pekan lalu. Tetapi bagi sebagian warga Kelurahan Baru, Kecamatan Palu Barat, Sulawesi Tengah, ada satu tradisi yang tak pernah ditinggalkan.
Tradisi itu ialah Lebaran Mandura dirayakan sepekan usai 1 Syawal. Lebaran Mandura merupakan tradisi khas kultur budaya yang telah mendarah daging di daerah itu sejak abad ke-18. Tradisi ini diwarnai dengan aksi saling berebutan mandura oleh warga.
Sebelumnya, mandura yang merupakan makanan khas lebaran Suku Kaili itu disantap bersama usai shalat Isya. Lalu, mandura lain diarak dari Masjid Jami, yang merupakan masjid pertama di Palu, menuju pertigaan Jalan H. Agus Salim dan HOS Cokroaminoto dengan tabuhan rebana dan pawai obor.
Setelah sampai di titik singgah, ratusan warga mulai dari orang tua hingga anak-anak terlibat aksi rebutan 200 mandura yang disusun rapi menyerupai tumpeng.
"Idul Fitri terasa berbeda tanpa merayakan tradisi Mandura," tutur pengurus Masjid Jami, Husein Muhammad Saleh sebelum perayaan Mandura, 12 Juli 2016. "Ini telah menjadi tradisi agar persaudaraan warga semakin akrab terjalin.”
Alasan mandura menjadi simbol peringatan adalah selain menu yang wajib disajikan sejak abad 18, juga makna kata mandura yang sesungguhnya sangat sesuai.
"Mandura terdiri dari tiga suku kata. Man artinya manusia, Du artinya dunia serta Ra artinya fitra. Jadi makna mandura merupakan manusia yang kembali ke fitrah setelah sebulan penuh berpuasa," jelas Husein.
Mandura terbuat dari beras ketan terdiri dari tiga warna yaitu putih, hitam dan merah yang dibungkus daun pisang dan dimasak. Mandura diyakini bisa tahan hingga enam bulan jika dimasak dan dibungkus dengan baik.
"Filosofi warna mandura juga punya makna tersendiri. Putih simbol kesucian, merah keberanian, dan hitam lambang keadilan," ujar Sekretaris Umum Dewan Kesenian Sulawesi Tengah, Intje Rahma Borahima.